Pov dalari
"Kamu mau nginep dal?" tanya Pak Chandra, sambil menoleh ke arahku, setelah merasa cukup menyampaikan permintaan maafnya.
"Enggak, Pak." jawabku, sambil menggelengkan kepala.
"Iya, sudah dipaksa dia juga nggak mau Pak, katanya punya tanggung jawab di sekolah, bahkan tadinya dia mau pulang sendiri, sehabis salat zuhur. namun, saya larang karena kasihan harus jalan sejauh itu, paling habis ashar, nanti ada orang rumah yang mengantarkan nasi ke sini. Jadi pulangnya biar ikut sama tukang ojek," jelas Ibu Nasrul, panjang kali lebar.
"Ya sudah pulang bareng Bapak aja, tadi bapak juga ke pondok, mencari kamu. Tadinya mau diajak ke sini, tapi menurut para santri kamu belum pulang, bapak kira kamu pulang ke rumah orang tuamu" jelas Pak Candra.
"Terima kasih banyak Pak," matku berbinar-binar.
"Ya sudah saya pamit duluan ya, Bu." ujar Pak Chandra sambil menatap kembali ke arah Ibu Nasrul.
"Ya, Bu. aku juga izin pulang dulu, terima kasih atas semua kebaikannya," kataku yang ikut berpamitan, sambil menyalami Ibu Nasrul.
"Eh tunggu dulu, dal." tahan Ibu Nasrul, sambil mengeluarkan dompet yang ada di tasnya. kemudian ia mengambil selembar uang Rp10.000. "Nih buat kamu" lanjutnya, sambil memberikan uang itu ke tanganku.
"Buat apa, Bu. harusnya saya yang memberi uang, soalnya Nasrul kan yang lagi kena musibah" tolaku halus.
"Udah ambil aja, lumayan buat jajan, nanti. mereka juga Ibu kasih" paksa ibu Nasrul.
"Udah ambil aja!" ucap Nasrul menimpali.
Dengan rasa malu, aku ambil uang itu. lalu aku masukkan ke dalam kantong, setelah menyalami mereka. aku pun pergi mengikuti Pak Chandra, yang sudah keluar duluan.
"Emang kamu tadi nggak bawa apa-apa," tanya Pak Chandra, sambil menatap heran ke arahku.
"Nggak Pak, tadi langsung kesini, tas disimpan digudang sekolah, lagiam cuma mau nengok sebentar," jelasku, sambil menundukkan kepala.
"Takut aja, ada yang ketingalan. Kalau begit Ayo naik!" Pinta Pak Candra, setelah motornya dihidupkan.
Dengan perlahan aku pun naik ke motor. setelah dirasa sudah duduk dengan benar, pak Candra mulai menarik tuas gas, dengan pelan. pergi meninggalkan area Puskesmas.
"Kamu tahu, kenapa si Nasrul bisa kecelakaan seperti itu" tanya Pak Chandra, suaranyya tidak terdengar terlalu jelas, karena angin yang menerpa.
"Kurang tahu Pak, semalam mata kita ditutup, jadi kurang tahu kejadian yang sebenarnya, tau tau pagi dia sudah dibawa kepuskesmas." aku menjelaskan, dengan mendekatkan kepala, ke arah telinga Pak Candra, supaya suaraku bisa terdengar jelas.
"Semoga Nasrul yang terakhir, yang tetkena musibah di acara penerimaan siswa baru" gumam Pak Chandra, sambil terus menarik tuas motor, melewati jalan yang masih Merah. untung sekarang musim kemarau, jadi tidak selip, hanya mata saja yang pedih kena debu.
Dua jam berlalu, aku dan Pak Chandra menaklukkan ular yang tidak Berujung, dengan Medan yang cukup berat. akhirnya motor itu terparkir di halaman rumahnya.
"Mau makan dulu dal" tanya Pak Chandra, sambil melepaskan helm yang ada di kepalanya.
"Nggak, Pak. Terima kasih, Bapak mau ngopi?" aku balik bertanya.
"Boleh, tuh. kayaknya mantap" jawab Pak Chandra sambil terus memperhatikan motornya mengecek apa yang kurang.
Tanpa perkataan lagi aku berlalu pergi ke dapur, untu membuatkan kopi, setelah jadi kopi itu diantar ke teras, dimana pak chandra lagi menunggu.
Aku kembali lagi ke dapur, untuk mencuci piring, walau mereka tidak menyuruh, namun aku cukup tahu diri, karena cuma ini, yang bisa kulakukan. untuk membalas kebaikannya, walaupun tidak sesuai.
Cuciann piring itu terlihat menumpuk, padahal baru ditinggal sehari, bukan karena istrinya pak chandra, males, tapi beliau sedang hamil tua, jadi dianjurkan lebih banyak istirahat.
Selesai mencuci piring, aku berpamitan sama Pak Chandra, untuk pulang ke pondok, tak lupa sebelum pulang aku mengambil Tas dulu, yang masih tersimpan di gudang sekolah.
Sesampainya di pondok. aku membersihkan badan, lalu melaksanakan salat ashar, setelah selesai, aku bergabung dengan beberapa Santri di jeramah, atau lorong pondok, mirip sejenis Gang kos-kosan. Menikmati senja, sambil menunggu kedatangan para santri lain, yang hari kemarin pulang ke rumah untuk mengambil bekal. Dan biasanya mereka kalau kembali ke pondok, selalu membawa ghonimah. ghonimah adalah oleh-oleh yang dibawa dari rumah, walaupun arti sebenarnya ghonimah itu, adalah rampasan perang. namun Entah mengapa kata itu diplesetkan seperti itu.
setiap daerah biasanya punya sebutan masing-masing, dengan ghonimah ini, ada yang nyebut adrahi, kuluhum, dan banyak lagi yang lainnya, intinya Setiap perkara yang dibawa dari rumah, untuk oleh-oleh para santri.
Sebenarnya libur pengajian itu, dari dzuhur hari Sabtu sampai Zuhur hari Minggu, namun kebanyakan para santri memilih pulang kepondok, sehabis Ashar. supaya tidak terlalu panas di perjalanan, ada juga yang berangkat senin pagi, dan pulang setelah jumatan.
Seperti sekarang, para santri berkumpul, sambil menyantap enye. Oleh oleh yang dibawa oleh Kang Arif.
"Orang tua sehat Rif," tanya Kang Agus, terdengar kriuk dari mulutnya yang sedang mengunyah enye.
Enye adalah makanan khas, yang dibuat dari singkong yang dipipihkan, lebih mirip kerupuk. nama populernya kecimpring. atau opak. Bentuknya sama, cuman yang membedakan adalah bahan pokoknya.
"Alhamdulillah, sehat Kang" jawab Kang Arif, yang terduduk sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok.
"Syukurlah, kalau sehat" ujar Kang Agus.
"Tapi warga di kampung, lagi Geger Kang, soalnya ada pocong jadi-jadian, banyak orang yang kehilangan uang. Aku mau tidak percaya, tapi banyak buktinya." cerita Kang Arif yang menimpa kampungnya, sambil meluruskan punggunya.
"Kayak zaman dulu aja, zaman ta* kotok di Lebuan (kotoran ayam yang ditaburi abu gosok ) masa di abad komputer seperti sekarang, masih ada yang seperti itu" tanggapan Kang Agus sambil tersenyum, seolah tidak percaya, bukan tidak percaya sama cerita kang arif, mungkin tidak percaya dengan kejadian yang aneh seperti itu.
"Iya Kang, tadi aja pagi pagi sudah geger, karena uang tukang warung buat belanjanya Raib, tak tersisa." Kang Arif menambahkan ceritanya, sambil menatap ke arah Kang Agus menujukan bahwa, ceritanya benar benar terjadi.
"Kok, uangnya hilang, bisa menuduh pocong jadi-jadian yang mengambilnya" Tanyaku, yang mulai penasaran.
"Ada beberapa ronda, yang memereogokinya, tadi malam. pocong itu mengelilingi rumah tukang warung itu, dan yang lebih menyakinkan, uang yang hilang, tidak merusak tempat penyimpanannya" jawab Kang Arif.
"Kok, bisa seperi itu ya" tanyaku, sambil menggaruk-garuk kepala, karena akal logisku tidak mampu mencernanya.
"Makanya itu, mistis banget kan," yakin kang arif, sambil menajamkan tatapannya.
"Kalau bener adanya, itu yang dinamakan sihir, suatu hal yang keluar dari kebiasaan, atau khawarikul adat, yang Allah berikan kepada para kahanah atau dukun, atau orang-orang yang mendalami ilmu itu" jelas Kang Agus dengan muka datar.
"Terus emang bisa, ilmu sihir seperti itu dipelajari, kang." tanya aku dengan muka penuh keingintahuan, menatap kang agus.
"Bisa, semuanya bisa dipelajari, yang penting ada kemauan, cuman bagi kita, harus bisa memilah dan memilih, ilmu yang mana yang bermanfaat. karena ilmu yang baik itu adalah ilmu yang bisa diamalkan, terutama buat diri sendiri, syukur-syukur kalau bisa dimanfaatkan untuk orang lain," jawab Kang Agus, yang ilmunya sudah mumpuni, membuat kami yang mendengarkan mengerti apa yang ia sampaikan.
"Terus ilmu seperti itu, bisa dikalahkan, atau kita bisa menangkap pocong jadi-jadian itu gak, kang." tanya Kang Arif.
"Bisa-bisa aja, cuma buat apa. orang yang berilmu akan menghindari permusuhan, namun ketika ada musuh datang, yang membahayakan aqidah, atau keselamatan. kita tidak boleh lari" ucap pria berbadan kurus dengan peci yang selalu menempel di kepalanya. "Terus sudah berapa orang, yang sudah kehilangan uang" lanjut kanh Agus bertanya sama Kang Arif.
"Banyak kang, hampir setiap malam selalu saja ada warga yang kehilangan uangnya" jawab Kang Arif, menjelaskan.
"Terus para warga sudah ngapain aja, maksudnya Usaha apa yang udah mereka lakukan, untuk mencegah kejadian itu suapaya tidak terus-menerus." tanya ke Agus penuh rasa keingin tahuan.
"Banyak kang, mulai dari menanam pohon kelor, bambu kuning, jaring, di depan rumah. bahkan ada sebagian warga yang menyimpan uangnya, dalam Alquran" jawab Kang Arif bercerita dengan mengebu gebu.
"Udah gawat juga ya, kalau begitu ceritanya" ujar Kang Agus sambil mengetuk-ngetuk dagunya.
"Iya, emang gawat Kenapa, Kang." tanya Kang Arif penasaran.
"Ya gawat, kalau alquran sudah dijadikan dompet," jelas kang Agus.
"Nggak gawat Kang, soalnya Kalau disimpan dalam Alquran, katanya uang itu tidak hilang" jelas Kang Arif, menyanggah pendapat kang agus.
"Bukan gawat itunya Rif, tapi Alquran tidak boleh dijadikan seperti itu. Jangankan uang, tasbih aja yang suci, tidak boleh disimpan di atas Alquran, karena kemuliaannya Alquran itu harus dijaga. kita juga tahu kan, kitab-kitab kuning harus tetap disimpan di bawah Alquran, ketika di susun."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments