NovelToon NovelToon

JALAN SANTRIKU

bimbang

Pov dalari

"Dan kamu Heru. Tolong kontrol emosimu! jangan sampai meledak meledak, karena itu bisa membuat semua rencana kita berantakan" ujarku sambil menatap ke arah Heru.

"Ya, jangan khawatir. Aku bisa mengontrol emosiku, tapi kadang aku tidak kuat juga sih, kalau mereka udah kelewatan mengerjai kita" jawab Heru sambil mengulum senyum di bibirnya.

"Bagaimanapun kita harus berusaha sesuai rencana, aku rasa penerimaan siswa baru ini tidak akan lama, kita hanya pura-pura cukup seminggu, dan sekarang tinggal beberapa hari lagi, setelah itu maka kita akan tenang menuntut ilmu di sekolah, dan perinatan ini bukan hanya buat Heru, namun peringatan ini berlaku buat kita semua, supaya tetap tenang sesuai rencana dalam menghadapi setiap perlakuan mereka" ucapku sambil menghela nafas panjang

Ketika mengingat kejadian seperti sekarang ,rasanya enggan untuk bersekolah, karena semua ini tidak sesuai dengan khayalan yang aku inginkan, melanjutkan sekolah adalah yang paling ku impikan. Namun semua itu Kandas ketika mendapat perlakuan bully, di bayanganku sekolah hanyalah menuntut ilmu dengan tenang tanpa memikirkan tekanan-tekanan dari para senior, aku mengingat sekolah adalah jalan Terbaik untuk mengasah kemampuanku, karena aku memiliki potensi di dalamnya. namun Allah tidak memudahkan jalannya, mungkin Allah mempunyai rencana supaya aku merasa nikmat ketika ada perjuangan.

"Ya aku paham" jawab Nawir menimpali.

Setelah selesai mengobrol dan menghabiskan air es di kantong yang dibeli Nasrul, kami semua berdiri untuk berpisah dan berjanji besok akan memulai sesuai dengan apa yang kita rencanakan.

"Ya udah kita pulang ke rumah masing-masing, supaya kita punya tenaga buat menghadapi hari esok "ujarku sambil mengulurkan tangan.

Disusul oleh tangan-tangan sahabatku, seperti orang yang high five berabarengan dan mengakat keatas, sebagai bukti perjanjian kita.

Setelah berpisah dengan mereka, aku melangkahkan kakiku menuju ke arah Pondok pesantran, karena itulah rumah tinggalku sekarang, angin bertiup dengan pelan, namun itu Cukup membuatku merasa nyaman di tengah teriknya matahari.

Seouluh menit berlalu, meninggalkan pohon yang menjadi naungan untuk kami mengobrol sama para sahabatku, akhirnya aku sampai di bangunan yang berbentuk kosan, langkahku terhenti sesaat setelah melihat para santri yang baru keluar dari masjid, mereka selesai melaksanakan pengajian habis zuhur, hatiku mulai Bimbang antara melanjutkan sekolah atau tetap fokus di pondok karena ternyata mondok lebih terasa nyaman dibanding sekolah.

Aku Masih Berdiri menunggu semua Santri masuk, rasanya sangat malu ketika harus bertemu dengan mereka, dengan keadaanku yang kalau seperti sekarang, Aku tak mau sahabat-sahabatku di pondok mengetahui apa yang sekarang terjadi terhadapku, jangan sampai mereka tahu bahwa aku sedang mengeluh tentang sekolah dan lagi bimbang antara meneruskan atau tidak.

Setelah merasa yakin bahwa semua Santri sudah masuk ke dalam pondok, aku mulai menyeret langkahku untuk masuk ke dalam pondok.

"Assalamualaikum" ujarku sambil mendorong pintu kamarku.

"Waalaikumsalam" jawab Arif teman sekamarku di pondok.

Dia lagi membuka kitab-kitab yang baru dipelajarinya di masjid, dengan cara membacanya berulang-ulang supaya apa yang dipelajari itu tidak mudah lupa.

"Maaf mengganggu" ujarku sambil mengaitkan tas di Paku yang sudah aku siapkan sebelumnya.

Lalu kau buka seragamku untuk diganti dengan kaos lengan pendek, supaya seragam itu tidak kotor dan bisa dipakai kembali Keesokan paginya.

"Nggak apa-apa, baru pulang ya?" tanya Arif yang terus memperhatikan ke arah kitab seolah tidak memperdulikanku.

Setelah selesai mengganti baju aku duduk di sampingnya, seperti yang dilakukan Bang Fahmi Aku meminta lugot kitab yang di dikaji seusai salat zuhur biar tidak ketinggalan.

"Bismillahirohmanirohim walhaidu lan utawi haid, iku Damun getih, yakhruju kang metu" ujar Arif memulai membaca Lughah kitab Safinah.

Sementara Arif membaca kitab, Aku menulis artinya di bawah kata demi kata tulisan Arab itu supaya aku mudah saat menghafalnya.

"Terima kasih ya Maaf merepotkan" ucapku setelah selesai meluguh kitab-kitab yang dipelajari sehabis Dhuhur.

"Sama-sama, sekalian aku juga sambil menghafal, jadi aku tidak merasa direpotkan" jawab Arif sambil menutup kitabnya, lalu dirapihkan di rak sesuai jadwalnya.

"Bagaimana sekolahnya seru nggak?" Lanjut Arif bertanya yang sudah duduk kembali.

Aku hanya menggelengkan kepala bingung harus menjawab seperti apa, karena yang kuketahui sekarang sekolah itu tidak ada seru-serunya, yang ada hanya penindasan-penindasan yang dilakukan oleh para senior.

"Kok bisa, kan Kalau sekolah bisa lihat cewek-cewek cantik" ledek Arif sambil tersenyum.

"Nggak tahu lah kang" jawabku singkat mungkin belum terbiasa, jadi rasanya capek banget ,belum lagi pulang sekolah harus mengaji, tenaga dan pikiranku sangat terkuras, karena harus memikirkan dua pelajaran sekaligus, ditambah lagi banyak masalah-masalah yang sedang kuhadapi.

"Kok nggak tahu nampaknya kamu kelihatan capek banget" ujar Arif seolah tahu apa yang sedang aku alami sekarang.

"Lumayan sih menguras tenaga juga harus duduk di bangku seharian, berbeda Kalau di pondok kita bebas melakukan apapun, Asal jangan lagi pas pengajian" jawabku menjelaskan kegelisahan yang sedang kualami.

Arif hanya mengukir senyuman dibibirnya, seolah dia Mengerti apa yang aku rasakan "semangat tidak semua orang memiliki kesempatan sepertimu, bisa mondok sambil bersekolah"

"Terima kasih atas supportnya kang" ucapan Arif seolah menjadi Mood Booster bagi kehidupanku, memang tidak semua orang bisa kita beruntung sepertiku, Bahkan mereka tidak bisa melanjutkan pendidikannya, baik di pondok maupun di sekolah,karena keterbatasan biaya namun berbeda denganku yang bisa mondok sambil sekolah dan itu pun aku dapatkan secara gratis.

"Ya sudah, ayo kita masak, kamu juga lapar kan?" tanya Arif. sambil berdiri menaikkan sarungnya agar tidak kotor saat memasak.

"Ayo mumpung waktu Ashar masih lama" jawabku yang mengikuti Arif, bangun dari tempat dudukku.

Begitulah kehidupan di pondok, kalau kita tidak diajakin masak oleh teman teman, maka kita sendiri yang harus mengajak mereka, itu adalah satu bentuk kepedulian sesama teman.

Treng

Treng

Treng

Kastrol itu aku pukul, mengajak santri-santri lain untuk memasak bersama, supaya santri-santri lain ikut memasak, karena dengan kebersamaan kita akan tahu teman mana Yang sedang membutuhkan pertolongan, dengan cara ini kita akan tahu siapa saja yang tidak ikut masak, lalu kita akan tanyakan apa sebabnya dia tidak ikut jangan sampai kita makan sedangkan ada sahabat kita yang kelaparan.

Setelah beras terkumpul semua Santri berbagi tugas, ada yang menyalahkan perapian, ada yang mencuci beras, dan ada juga yang pergi ke warung untuk membeli lauk nasinya.

Sejam berlalu, nasi itu sudah matang, lalu seorang santri menuangkan ke nampan untuk kita nikmati bersama, seusai makan aku mengambil perlengkapan mandiku, untuk membersihkan badan menyambut waktu Ashar tiba.

Begitulah rutinitas pondok yang selalu diisi dengan pelajaran keagamaan dan kebersamaan, saling menyayangi dan saling membantu sesuai prinsip pondok, yang kecil menjadi adik yang besar menjadi kakak, yang kecil harus menghormati yang besar tidak gila hormat, tidak ada kata senioritas di sini, semuanya sama diikat dengan satu ikatan yang bernama Santri.

Setelah menghafal kitab yang kita kaji di waktu Ashar, seperti biasa kita Mengisi waktu itu dengan bermain bola di sawah, karena menurut Abah santri itu harus sehat, Jadi tidak boleh waktu Ashar digunakan untuk berdiam diri, harus menikmati waktu senja itu dengan gembira, agar rasa kangen terhadap rumah sedikit terlupakan.

Hiburan itu, akan Kami hentikan sesaat sebelum adzan maghrib berkumandang, supaya kita bisa membersihkan diri dulu, sebelum menghadap sang pencipta dan tidak ketinggalan untuk salat berjamaah.

Walau para santru sangat hobi untuk bermain, mengingat rata-rata umur para santri masih tergolong usia anak-anak yang suka bermain, namun kami belajar mendewasakan diri, walau belum waktunya. Kedewasaan akan hadir ketika kita mempelajarinya, sama seperti saat ini Kang Agus yang dianggap sebagai ketua pondok. Dia memberi isyarat bahwa waktu bermain kita sudah habis.

"Ayo kita pulang! nanti kita ketinggalan salat berjamaah" ucapkan Agus yang selalu mengingatkan 15 menit lebih awal sebelum, datangnya azan maghrib berkumandang.

Semua santri yang lagi asik bermain bola menghentikan aktivitasnya, lalu dengan kesadarannya mereka pulang ke pondok, untuk membersihkan badan dan bersiap lagi menerima pelajaran-pelajaran baru.

******

Pukul 03:00 aku terbangun dari tidur, karena bangun jam segini sudah menjadi kebiasaan, walaupun tidak semua Santri, namun sebagian besar mereka bangun lebih awal dari yang ditentukan, mereka belajar terbiasa melaksanakan salat malam,

"Alhamdulillahil adzi ahyana ba’da ma amatana wa iliahin nusyur. Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami kembali setelah mematikan kami dan kepada Allah kami akan dibangkitkan.”  gumamku setelah duduk sempurna sambil menarik sendi-sendi ku yang terasa menegang.

Setelah semua roh mimpiku berkumpul, aku segera bangkit lalu menuju ke air untuk mengambil wudhu, dilanjutkan dengan dua rakaat salat tahajud dan dua rakaat salat hajat, kata Abah tidak harus banyak, yang penting kita istiqomah melakukannya, seperti sawah yang dialiri air, tidak butuh air besar namun cuma sekali, sawah cukup dengan air sedikit tapi mengalir terus menerus.

Selesai salat aku bergegas menuju sekolah  untuk menjalankan Tugasku sebagai tukang kebersihan, ku kerjakan tugas sepagi ini, agar siangnya aku bisa fokus bersekolah, tanpa harus memikirkan pekerjaan-pekerjaan yang jadi penopang hidupku ini.

part 2 jangan pacaran disekolah

Pov dalari

Empat puluh lima menit berlalu pekerjaanku selesai, karena beberapa hari terakhir, hujan tidak kunjung turun sehingga meringankan pekerjaan untuk merapikannya, hanya kotoran Debu dan sedikit sampah yang berserakan soalnya ketika musim kemarau, Angin tidak begitu kencang, jadi tidak banyak daun-daun yang berguguran.

"Alhamdulillah" gumamku sesaat setelah merapikan perkakas kerjaku ke gudang sekolah.

Lalu kulangkahkan kakiku menuju pondok dengan sedikit berlari, agar tidak ketinggalan melaksanakan salat berjamaah, apalagi suara toa toa dimasjid memberitahu bahwa lima belas menit lagi adzan subuh akan berkumandang.

Sesampainya di pondok, aku bergegas mengambil air wudhu lalu, masuk kembali ke kamar, untuk mengambil kitab-kitab yang mau dikaji setelah selesai salat subuh.

******

Pukul 06:30 aku sudah berada di rumah Pak Chandra, seperti biasa aku menumpang sarapan di rumahnya, yang berbeda kali ini biasanya aku sarapan pukul pukul 07:00 setelah pekerjaanku selesai, namun kali ini aku sarapan tiga puluh menit lebih awal, soalnya pekerjaanku sudah dikerjakan sebelum waktu subuh.

"Nanti kalau berangkat ke sekolah, tolong bawa berkas-berkas bapak yang ada di atas meja!" seru Pak Chandra yang baru menghampiriku dari ruang tengah.

"Iya Pak" jawabku setelah mengunyah nasi yang ada di mulut tertelan dengan sempurna.

Pak Chandra kembali memasuki ruang depan untuk menikmati secangkir kopi yang telah Ia buat, sebelum aku datang ke rumahnya melanjutkan pekerjaanya.

Selesai makan Seperti biasa aku merapihkan piring-piring kotor, lalu mencucinya dengan bersih, ini adalah bentuk Terima Kasihku kepada keluarga Pak Chandra, yang telah memberikan sarapan secara gratis. Kalau memasak di pondok, sangat membutuhkan waktu, apalagi selesai pengajian pukul 06.15 sehingga waktu itu tidak cukup untuk memasak nasi, apalagi kalau sepagi itu  para santri belum pada mau masak, mereka disibukan dengan menghafal kitab-kitab yang baru mereka pelajari.

Para santri biasanya meraka memasak buat sarapan pagi  sekitar pukul 08:00, jadi dengan adanya sarapan gratis di rumah Pak Chandra, ini sangat membantu sehingga ketika aku bersekolah tidak merasa keroncongan.

Selesai mencuci piring, aku masuk ke ruang Pak Chandra lalu mengambil berkas yang diperintakannya untuk membawa ke sekolah.

"Cuma ini saja yang dibawa yang haru aku bawa?" tanya aku memastikan setelah berada di ruang tamu.

"Ya cuma itu saja, nanti kamu simpan di meja kepala sekolah!" perintah apa Candra yang masih sibuk dengan berkas-berkas di mejanya.

"Ya sudah, saya pamit duluan pak, Assalamualaikum" pintaku sambil mencium punggung tangannya seperti anak sekolah pada umumnya ketika hendak berangkat pergi ke sekolah.

"Waalaikumsalam" jawab pak Candra menerima uluran tanganku untuk dicium, lalu Pak Candra menundukkan kembali pandangannya ke kertas-kertas yang masih berserakan.

Kubalikan badan untuk pergi meninggalkan rumah Pak Chandra, namun namun langkahku terhenti sesaat sebelum membuka pintu rumah.

"Dalari" panggil Pak Chandra

"Yah, Ada apa Pak" Ada yang bisa saya bantu?" tanya aku sambil membalikkan badan kembali ke arah Pak Chandra. seperti kebiasaan para pembantu lainnya ketika dipanggil pasti dia akan disuruh.

"Nih" ujar Pak Candra sambil mengulurkan tangan yang memegang uang Entah berapa karena uang itu terlipat, hanya terlihat sedikit uang yang ada ditangannya dari pecahan uang seribu.

Aku menghampiri dengan wajah sumringah mengambil pemberiannya, Pak Chandra sangat baik, Dia selalu memberi tip seperti sekarang, bahkan kalau beliau lagi ada uang lebih beliau, beliau tidak akan pelit untuk membaginya sehingga uang gaji bulananku bisa aku tabung.

Dengan tabungan itu, aku bisa melengkapi kitab-kitab yang dipelajari di pondok, bahkan kebutuhan alat tulisku untuk di sekolah dan buku-buku pelajaran, aku beli dengan uang tabungan yang didapatkan dari bekerja membersihkan sekolah.

"Terima kasih Pak" sesaat setelah uang itu pindah ke tanganku lalu ku masukkan ke dalam saku celana.

"Sama-sama, ya sudah berangkat sekolah sekarang, nanti kesiangan!" Pintanya sambil tersenyum menatap ke arahku.

Padahal Pak Chandra sebagai kepala sekolahnya belum siap-siap, namun dia sudah menyuruhku untuk pergi ke sekolah dengan alasan takut kesiangan. Aku tidak terlalu memikirkannya, itu bukan tugasku  yang penting Sekarang aku sangat bahagia setelah mendapat uang darinya, karena uang tabunganku sudah habis dipakai untuk membeli kebutuhan sekolah, hanya kau Sisakan beberapa ribu untuk mencukupi kebutuhan ku dipondok selama sebulan.

Sesampainya di sekolah aku membuka ruangan guru dengan kunci yang selalu kubawa, lalu aku menaruh semua berkas yang tadi aku bawa dari rumah Pak Chandra di meja kepala sekolah sesuai yang beliau minta.

Setelah menaruh berkas, aku segera menuju ruang kelas yang dijadikan Aula penerimaan siswa baru, untuk menunggu para siswa lainnya datang.

Merasa jenuh menunggu, karena mungkin aku datang terlalu pagi sehingga baru beberpa saja yang hadir. Aku memutuskan keluar dari Aula menuju tempat penyimpanan perkakas kerjaku, berniat memotong rumput, hanya untuk mengisi waktu sebelum waktu sekolah dimulai.

Setelah mengambil sabit aku berjongkok untuk memotong rumput-rumput yang mulai bertunas, karena setiap hari Minggu aku memotongnya jadi rumput itu jarang berkembang sampai besar

"Hai! assalamualaikum" ujar seorang wanita yang menyapaku dari belakang

"Waalaikumsalam, eh Nayla" jawabku setelah melihat siapa yang menyapa.

Fatimah Nayla adalah murid yang sangat rajin, dia selalu datang lebih awal, makanya kita sering bertemu walaupun tidak pernah mengobrol lama, hanya saling menyapa satu sama lain, namun kita sering berbalas surat sehingga kita sangat dekat ditulisan. Sekarang jantungku mulai jedak jeduk ketika betutur sapa denganya, berbeda dengan waktu pas awal ketemu.

"Kok kamu nggak bilang, kamu mau sekolah disini" tanya Fatimah yang membawa sekop berisi sampah dari ruang kelasnya. karena ruang kelas adalah tanggung jawab para siswa jadi aku hanya membersihkan terasnya saja.

"Hehehe aku juga nggak tahu? aku bisa bersekolah seperti ini" jawabku sambil tersenyum.

"Kok bisa begitu?" tanya Fatimah dengan penasaran

"Iya, kemarin Pak Chandra yang menyuruhku untuk sekolah, mungkin kamu juga sudah tahu aku sekolah di sini gara-gara Pak Candra" aku menjelaskan keadaan yang sebenarnya, sambil terus memotong rumput.

"Wah syukurlah kalau begitu ceritanya, sekarang cita-cita kamu tercapai, semangat!!" ujarnya sambil tersenyum, senyum yang tidak bisa aku lupakan Karena itu adalah senyum terindah yang pernah aku lihat.

"Terima kasih" ujarku sambil membalas senyumnya.

"Hey kalian ini sekolah, bukan tempat pacaran" bentak seseorang yang suaranya tidak asing ditelungku.

Arfan mendekati kita dengan tas di punggungnya, menandakan dia baru nyampe ke sekolah sehingga belum sempat menaruhnya. Karena kebaisan di sekolah kami, tas itu selalu di taruh di meja, hanya mau pulang atau datang saja tas itu digendong.

"Ih apaan sih, Siapa juga yang pacaran?" sanggah Fatimah dengan menekuk mukanya.

"Terus ngapain kalian berdua di sini?, kalau bukan pacaran" selidik Arfan dia tidak mau menerima penjelasan itu dengan mudah.

"Aku mau buang sampah, aka kamu gak lihat benda ditanganku?" balas Fatimah dengan Ketus lalu dia pergi menuju ke tempat sampah tanpa memperdulikan arfan lagi.

Melihat Fatimah pergi Arfan hanya melongok, menatap kepergiannya

"Galak banget, tapi itu yang membuat aku suka" gumam Arfan sangat pelan namun itu Cukup jelas di telingaku karane jarak kita yang bedekatan.

"Ngapain kamu lihat-lihat?" Bentak Arfan yang mengetahui aku memperhatikannya.

"Enggak kak" belaku membantah tuduhannya.

Arfan berjongkok , mungkin supaya dia sejajar denganku yang lagi berjongkok untuk memotong rumput, Arfan menatap tajam ke arahku terlihat tatapan kebencian Terukir di matanya.

"Jangan deket-deket kak! nanti baju kakak kotor kecipratan tanah" pintaku memperingatkannya. Agar bekas potongan rumput tidak mengotori bajunya.

"Eh denger tukang sampah, kamu jangan dekat-dekat sama Fatimah, dia itu calon pacarku, bahkan yang kamu harus tahu nanti setelah dia keluar sekolah, aku akan melamarnya" ancam Arfan yang menatap tajam ke arahku.

"Enggak kak, lagian tadi kakak juga dengar sendiri kan dia cuma membuang sampah, Mana mungkin dia mau sama tukang sampah sepertiku" jawabku sarkas.

"Ya aku cuma memperingatkan saja, supaya kamu tahu diri, jangan sampai kejadian kepada temanmu, itu terjadi kepadamu juga" ancamnya lagi.

"Siap Kak, terima kasih atas peringatannya" jawabku sambil senyum.

"Jangan senyum-senyum seperti itu, kayak embek lagi pengen kawin saja, sekali lagi awas kalau aku melihatmu berduaan sama Fatimah, aku tidak segan segan membuatmu susah, Ya sudah lanjut lagi kerjaanmu, nih yang ini dipotong!" ujarnya yang sudah berdiri sambil menunjukkan rumput yang harus kupotong dengan kakinya.

"Iya Kak" jawabku yang tetap tersenyum ramah walaupun dihati sangat kesal karena perlakuan tidak sopannya.

"Dasar gak punya etika, masa menunjukkan pakai kaki, Gimana kalau kakinya kena Tebas Sabit ku?" gumamku dalam hati. Yang tidak kuucapakan.

"Hahaha dasar kang sampah" ujarnya sambil melangkahkan kakinya pergi meninggalkanku.

Setelah Arfan pergi, tak lama muncullah ketiga sahabatku, lalu mereka bertiga berjongkok mengikuti Posisiku yang sedang memotong rumput.

"Ngomong apaan dia?" tanya Heru Yang penasaran.

"Nggak dia cuma menyuruhku memotong rumput yang sebelah sana, tadi dia tunjukan dengan kakinya" jawabku dengan antusias menangapi kedatangan mereka.

"Kenapa nggak sekalian kamu tebas aja kakinya, itu sangat tidak sopan, ngakunya kakak kelas, tapi kelakuannya Barbar seperti itu" gerutu Nawir terlihat kekesalan di wajahnya.

"Nggak apa-apa lagian Kalian kan semua atasanku, jadi berhak menyuruhku apa saja. Ya udah tunggu di kelas sebentar lagi ini beres kok, nanti kita ngobrol lagi" pintaku sambil bangkit mengambil sapu untuk membersihkan rumput-rumput yang sudah aku potong.

Merasa tidak enak, Mereka tiga membantuku memrapihkan semuanya, meski aku sudah melarangnya, namun mereka tetap ngeyel dan terus membantuku, Katanya biar cepat selesai dan bisa mengobrol.

part 3 coklat

Pov dalari

Setelah merapikan rumput yang baru dipotong, aku bersama ketiga sahabatku berjalan menuju kelas, untuk mengikuti agenda selanjutnya yang dibuat oleh para penerima siswa baru.

B"agaimana yang kemarin udah siap" Tanyaku menanyakan kelengkapan sajen yang sudah disepakati di mana kesepakatan itu Nasrullah yang menyiapkan.

"Tenang udah siap" jawab Nasrul yang mengeluarkan beberapa plastik dari dalam tasnya.

"Ini sudah lengkap" Tanyaku penasaran sambil membuka ikatan kantong untuk melihat isinya.

"Yakinlah, ini aku dapat dari orang yang terpercaya, jadi kalian tidak usah ragu lagi, dan aku juga membawa beberapa makanan untuk kita nikmati pas waktu istirahat, supaya kita tidak harus pergi ke kantin, dan bertemu pengganggu seperti mereka" jelas Nasrul sambil mengeluarkan kantong plastik yang agak besar.

"Bagus- syukurlah kalau begitu, semoga saja dengan ini kita bisa menghindari keusilan mereka" ujarku sambil merapikan lagi kantongnya.

"Oh iya aku hampir lupa, ini ada titipan makanan spesial buat kamu dal" ujar nasrul sambil mengeluarkan coklat

"Coklat dari siapa?" Tanyaku sambil mengerinyitkan dahi.

"Tau kan Di situ ada suratnya" jelas Nasrul sambil menunjuk kearah coklat, memang benar coklat itu diikat dengan pita lalu ada kertas kecil terselip dipita itu.

"Kok jadi ngeri ya, jangan-jangan kamu ini yang ngirim Rul, Sorry deh rul aku lurus-lurus aja, Lagian kalau aku mau belok pasti aku milih-milih dulu yang gantengan dikit lah" jawab aku sambil bergidik.

"Kurang asem kamu, Ambil aja dulu, baru kamu boleh berpikiran macam-macam" jawab Nasrul sangat kesal.

"Hehehe Maaf canda" jawabku sambil mengambil coklat yang diberikan.

"Terima kasih ya" ucapku sambil tersenyum sambil memasukan coklat ketas

"Itu coklat sebenarnya dari siapa sih?" tanya Nawir kepada Nasrul.

"Saya cuma mengantarkan pesanan, jadi itu bukan wewenang saya, untuk memberitahu siapa pengirimnya" jawab Nasrul meniru Pak Pos.

"Hebat kamu dal, punya banyak penggemarnya" Celetuk Heru yang dari tadi hanya memperhatikan.

"Yang hebat itu kelelawar, mereka bisa tidur sambil bergelantung" jawabku sambil terkehkeh.

"Oh iya emang bapak kamu nggak marah Rul, bawa makanan sebanyak ini? Tanyaku sambil menatap penasaran ke arah Nasrul.

"Enggak lah kan aku beli, bukan minta, tapi ujung-ujungnya tetap aja nggak boleh dibayar, Masa orang tua mau berbisnis sama anaknya" jawab Nasrul sambil tersenyum polos.

"Takutnya saja kamu nyolong?" tambah Nawir

"Kalau pun nyolong, Emang ada hukumnya nyolong di rumah orang tua" jawab Nasrul dengan mengerijitkan dahi.

"Gak tau juga sih, coba kang Santri Jelaskan Gimana hukumnya, mencuri barang orang tua" tanya Nawir sambil melirik ke arahku

"Ya kalau mencuri itu, hukumnya tetap haram, baik mencuri harta orang-lain, maupun mencuri harta orang tua. Namun menurut Imam Syafi'i beliau berpendapat bahwa kalau mengambil hak kita itu tidak apa-apa, seperti makan, minum walaupun kita tidak meminta izin dulu, itu tidak disebut mencuri, karena masih ada dalam kewajiban orang tua untuk menafkahi kita" aku menjekakan apa yang aku ketahui.

"Terus kalau bukan untuk makan dan minum, itu hukumnya gimana, seperti jajan?" tanya Nasrul yang masih penasaran.

"Kita minta izin dulu, lagian kita masih ada dalam tanggung jawab mereka, jangan biasakan mencuri walaupun itu harta orang tua, menurut ibu saya awalnya mencuri punya orang, tua, lama-lama punya orang tua habis, pindah ke orang lain itu lebih berbahaya, jadi kita minta saja kalau ada yang kita mau, kalau mereka tidak memberikannya maka kita bersabar" aku memberikan nasehat yang aku ketahui.

"Lagian ngapain Kita mencuri ya, kalau orang tua kitanya baik?" tambah Heru sambil menarik napas.

"Betul itu" aku membenarkan pendapatnya.

"Oh begitu, tenang saja semua ini semua bukan dapat mencuri kok, lagian kan kalian kemarin ngasih uang"  ujar Nasrul memperkuat perkataannya supaya sahabatnya tidak ragu.

"Syukurlah kalau begitu terima kasih ya Rul" ungkap Nawir

"Sama-sama" jawab Nasrul sambil tersenyum.

Bell pun berbunyi tanda dimulainya kegiatan penerimaan siswa baru, seperti biasa kegiatan ini diisi dengan perkenalan para guru diselingi dengan game-game yang seru, tibalah ke penyerahan sajen, untuk kali ini berbeda dengan hari kemarin di mana kita menyerahkan hanya bungkus makanan itu, akhirnya kita pun terbebas dari hukuman dan melalui acara. tanpa ada rintangan apapun karena kita mengikutinya dengan khidmat dan dengan penuh kehati-hatian, sehingga tidak ada celah untuk para senior untuk menghukum kita.

Bel waktu istirahat pun berbunyi menandakan acara sesi pertama sudah usai, memberikan waktu untuk para siswa beristirahat, walaupun ini menyenangkan namun semuanya membutuhkan tenaga.

"Ke kantin nggak?" tanya Heru sambil merapikan bukunya kertas.

"Enggak lah, males rasanya kalau ketemu para senior itu" bales Nasrul menunjukkan ketidaksukaannya.

"Tapi aku pengen gorengan, kayaknya enak siang-siang begini makan gorengan" kata Heru

"Bener tuh kayaknya tukang gorengan itu pakai pengasihan, sehari tidak mau makannya kangennya sampai sekarang" tambah Nawir.

"Ya sudah aku aja sendiri yang keluar, kalian tunggu di sini, mau beli apa aja" tawarku kepada mereka.

"Ide bagus tuh emang kamu nggak apa-apa kalau keluar sendirian" tanya Heru sambil menatap ke arahku.

"Enggak lah, Lagian aku sama mereka seumuran. Jadi mungkin akan merasa senggan" jawabku menepis keraguan mereka.

"Ya sudah Maaf aku nitip ya" pinta Heru sambil mengeluarkan uang ribuan dua lembar.

"Nggak apa-apa santai aja"  jawabku sambil mengambil uangnya.

Akhirnya Nawir dan Nasrul mengikuti Heru menitipkan uangnya untuk jajan, setelah mengetahui kemauan mereka aku beranjak dari tempat dudukku, menuju ke kantin seperti office boy yang sedang menjalankan tugas para karyawan

Sesampainya di kantin aku fokus memasukkan makanan titipan para sahabatku, Ke kantong Yang aku minta dari penjualnya.

"Wah ternyata kamu rakus juga ya makannya" ledek seorang wanita yang baru sampai ke kantin.

Aku melirik ke arah datangnya suara sambil memasukkan makanan ke kantong plastik ternyata itu adalah Fatimah sama gengnya.

"Enggak ini cuma titipan kok" Elakku sambil tersenyum sama mereka yang baru datang.

"Nggak apa-apa kok, walaupun kamu makannya banyak, kamu tetap cool" ujar seseorang dia berdiri di samping Fatimah Membuat Rona wajahku memerah menahan rasa malu dibuat.

"Hush, gak boleh gitu" cibir Fatimah sambil mencubit lengan temannya, sehingga teman yang dicubitnya meringis menahan rasa sakit.

"Aw jangan cubit apa, sakit tahu!"  ujarnya sambil mengusap-usap bekas Cubitan Fatimah yang memerah.

"Mau jajan ya? silakan aku udah beres kok" kataku mencairkan suasana sambil bergeser ke arah samping.

Fatimah pun maju mendekat sehingga posisi kami bersebelahan, tak lama dia juga meminta kertas untuk membungkus makanannya agar mudah dibawa.

"Titipan Aku sudah sampai?" tanya Fatimah yang masih memilih gorengan.

mungkin itulah calon emak-emak, Kalau tidak memilih rasanya tidak afdol, padahal bentuk gorengan itu semuanya sama, lagian yang jual juga tidak mau rugi jadi pasti mereka membuat gorengan itu dengan takaran yang sama.

"Maaf titipan apa ya"  tanyaku mengerinyitkan dahi menatap penasaran ke arah Fatimah.

"Emang beneran belum nyampe? Kurang ajar tuh si Nasrul, masa iya dia dimakan sendiri" tanyanya memastikan sambil mencembungkan pipinya yang terlihat memerah.

"Oh Titipan dari Nasrul ya  aku udah menerimanya kok, tadi sempat bingung kirain dari siapa? soalnya Nasrul tidak memberitahukan siapa pengirimnya, katanya ada di surat itu ternyata itu dari kamu yah Nay, Terima kasih ya" ujarku sambil senyum.

"Jadi kamu belum membukanya" tanya Fatimah sambil membulatkan mata menatap ke arahku seolah tidak percaya apa yang aku ucapkan.

"Belum" jawabku sambil garuk-garuk kepala yang tidak terasa gatal.

"Kamu kok gitu?" ujar Nayla sambil menumpahkan kembali jajanannya lalu dia pergi meninggalkan teman-temannya yang melongok menatap kepergiannya.

"Kamu ngomong apa sama temanku" bentak teman Fatimah.

"aku nggak tahu, aku cuma bilang aku belum membuka titipannya" jawabku yang masih merasa tidak enak.

"Payah kamu, dia itu mau ngasih surprise buat kamu ya! kalau udah dibilang itu nggak surprise lagi, Makanya dia kecewa" jelas temannya sambil menatap tajam ke arah.

"Ya belum lagian tadi keburu masuk" belaku menjelaskan.

Mereka hanya mendengus kesal menatap kerahku setelah membayar jajanannya, meraka terus mengikuti Fatimah yang telah lebih dulu meninggalkan mereka, melihat kelakuan mereka aku hanya menggeleng-geleng kepala karena tidak mengerti apa kemauannya para wanita.

Setelah mereka pergi aku juga membayar semua jajananku.  Namun ketika hendak pergi meninggalkan kantin ternyata ada dua orang yang menghalangi langkahku.

"Kayaknya lagi banyak duit nih Boleh dong bagi kita?" tanya Epul sambil bertolak pinggang.

"Nggak Kak, ini cuma titipan, lagian Mana mungkin tukang sampah sepertiku, punya banyak duit" jawabku sarkas sambil menyunggingkan senyum sinis ke arah mereka berdua.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!