Pov dalari
"Kirain orang kaya tidak suka ikan asin" ujar Heru sambil terkekeh.
Tak lama berselang bapak Nawir pun pulang dari sawah, terlihat peluh membasahi wajahnya, dengan Sigap Nawir pun menuangkan air, lalu didekatkan ke orang tuanya yang duduk di pintu, bapak nawir tidak masuk karena kakonya yang kotor oleh Lumpur.
"Eh ada tamu" ujarnya ramah sambil menatap kita bertiga, kami pun bangkit lalu mencium punggung tangannya.
"Kenapa kamu ajak ngobrol di dapur Wir, malu-maluin aja" ujar Bapak Nawir sambil menyeka keringat yang bercucuran di wajahnya dengan baju yang iya pakai.
"Tanggung lagi menanak nasi pak, Kasihan Ibu nanti repot kalau tidak masak sekarang" ujar Nawir.
"Aduh, maaf yah gak dsuguhin apa-apa" ujar Bapak Nawir merasa tidak enak karena ada tamu mereka tidak bisa menjamu.
"Ini juga ada pisang Pak, Nggak usah repot-repot, diaku aja kita udah senang" ujarku sambil tersenyum, membuat kita semua tertawa.
"Oh ya pak Nanti siang, Habis jumatan, aku mau lewat sama mereka" ucap Nawir meminta izin sama orang tuanya.
"Yang lewat aja, kan beras banyak, cuman lauknya kita nggak punya apa-apa Wir" jawab Bapak Nawir terlihat raut wajah yang sedih, karena mungkin saat ini mereka tidak punya uang, sama seperti kedua orang tuaku, mereka memegang uang adalah hal yang paling jarang, karena sebagai petani pasif, biasanya mereka hanya mempunyai makanan, karena akses ke kota sangat sulit jadi hasil buminya tidak bisa jadi uang, mereka bercocok tanam hanya untuk konsumsi sendiri.
"Nggak apa-apa Pak, nanti kita beli lauknya ujar" Nasrul menepis kebimbangan bapak Nawir.
"Ya sudah kalau begitu, bapak mau ke air dulu, mau membersihkan badan, kalian yang betah ya di sini" ujarnya sambil mengambil handuk yang tergantung di samping rumah, biasanya para petani melakukan seperti itu, karena sepulang dari sawah badan mereka akan sangat kotor, sehingga tidak memungkinkan untuk masuk rumah.
"Kalian mau mandi juga nggak, atau ntar sekalian renang di sungai" tawar Nawir.
"Wah asik tuh, Ya udah mandinya nanti saja, sambil masak sambil renang juag" timpal Heru dengan semangat.
"Aku boleh Pinjam sarung nggak Wir, soalnya Celanaku kotor kalau dipakai buat jumatan" pintaku sambil menatap ke arahnya.
"Nanti aku ambilin, kalaian mau pakai juga nggak" jawab Nawir sambil bertanya menatap ke arah Nasrul dan Heru.
Yang ditanya, mereka hanya menggelengkan kepala, karena merasa bahwa celananya masih baru dicuci, jadi tidak ada najis yang akan terkena ke celananya. padahal walaupun merasa bahwa celana itu beresih, namun ketika kita pakai, kita tidak tahu najis apa yang bakal menempel di celana itu ulama Fiqih menganjurkan kehati-hatian dalam beribadah itu yang lebih utama.
"Kapan kita berangkat ke masjid" Tanyaku sama Nawir.
"Bentar nunggu ibu datang, biar apinya ada yang menjaga" ucap Nawir sambil membenarkan posisi kayu bakar.
Tak lama menunggu akhirnya Ibu Nawir pun datang, sambil menenteng ember berisi air, begitulah orang-orang di kampung ketika mereka mandi, maka mereka akan sekalian sambil mengambil air buat minum.
Setelah berkenalan Kami berempat menuju masjid, untuk menunaikan salat Jumat, sebagai mana kewajiban seorang pria muslim. Setelah selesai salat Jumat, sebelum pulang Kami mampir dulu ke warung, untuk membeli lauk pauk buat ngeliwet.
"Mau ikan asin apa" tanya Fitri sebagai penjaga warung.
"Wah, wah, kalian berdua sangat cocok, orang tua kalian sama-sama bergerak di bisnis perwarungan" ledek Heru sambil tersenyum, membuat pipi Fitri memerah merona. namun berbeda dengan Nasrul, dia malah cengengesan seolah senang ketika Heru meledeknya seperti itu.
"Sikat Mang" ujar Nawir menimpali ledekan Heru.
"Kok kamu jaga warung sendiri, emang kedua orang tuamu ke mana" tanya Nasrul sambil memilih-milih asin, padahal itu sangat bau, namun seolah tidak sadar terpesona oleh kecantikan seorang Fitri.
"Ibu lagi salat, Bapak belum pulang dari masjid, jadi aku yang nunggu" ujar suara lembut Fitri.
"Udah jangan dipilih terus, asin tetap sama seperti itu, nggak akan berubah menjadi tawar" ledek Heru lagi.
"Ya udah ikan asin peda seperempat, ikan terinya seperempat, sama sambeleunnya seribu" pinta Nasrul sama Fitri.
"Nggak kebanyakan tuh Rul, Padahal seons aja cukup" ucap Nawir yang merasa keberatan.
"Nggak apa-apa, aku suka kok ikan asin" jawab Nasrul seolah menunjukkan bahwa dia bukan orang yang luar biasa, dia suka ikan asin.
"Lihat tuh Fitri, cekatan banget melayani pelanggan, kalau kamu jodoh cocok banget, chemistry-nya udah ada" ledeku sambil melihat fitri.
"Udah bayar tuh! jangan cungar-cengir melulu, seperti orang yang kurang aja" ledek Heru membuyarkan Lamunan Nasrul, heru memberikan uang yang dia punya dan aku pun sama memberikan uang sebagai patungan.
"Udah kantongin aja uang kalian, pakai uang aku saja" jawab Nasrul seolah lagi menunjukkan taringnya di hadapan Fitri.
Dia tetap menolak, meski kita berdua memaksa, akhirnya aku dan Heru pun mengalah, mengembalikan uang ke kantong masing-masing.
Nasrul mengeluarkan uang lembaran Rp10.000 lalu memberikannya sama Fitri sebagai pembayaran belanjaanya.
"Totalnya jadi 7.000 kembaliannya 3000" ucap Fitri.
"Tuh masih ada tiga ribu, kalian mau jajan nggak" tanya Nasrul sambil mengambil beberapa snack jagung.
"Udah itu aja enak kok" saran Nawir.
Akhirnya Nasrul pun mengikuti saran Nawir, dia mengambil beberapa snack sesuai Nominal uang kembalian.
"Nih buat kamu" ujar Nasrul sambil Memberikan sebagian snack sama fitri.
"Cie, cie" ledek Kami bertiga membuat pipi Fitri kembali memerah, dengan malu-malu dia mengambil pemberian dari Nasrul.
Setelah semua selesai, akhirnya Kami berempat pulang menuju rumah Nawir, sambil berjalan kita menikmati sisa snack yang dibeli Nasrul.
"Rul, maaf ya sebelumnya, kok kamu punya uang banyak, kita bukan apa-apa takutnya uang itu" aku menghentikan pembicaraanku merasa takut menyinggung perasaan Nasrul.
"Hahaha kamu kira Uangnya dapat nyolong dari orang orang tuaku ya, tenang aja uang itu halal kok, aku sehari dikasih uang jajan Rp10.000, dan kalau aku bantu mereka aku suka dikasih bonus, jadi Tenang aja aku bukan pemeras harta orang tua" jawab Nasrul yang mengetahui arah pembicaraanku dia Berkata sambil tertawa.
"Syukurlah kalau begitu, yang aku takutkan, jangan gara-gara pertemanan atau persahabatan, sampai merugikan orang lain, kita sebisanya aja" jawabku merasa tenang ketika mendengar penjelasannya.
"Oh iya kamu beli ikan asin banyak amat buat apa" tanya Nawir karena menurutnya asin setengah kilo itu bukan ikan asin yang sedikit.
"Kita ngeliwet pakai pada aja, itupun Jangan semuanya 4 ekor aja rasanya cukup, sisanya buat orang tua kamu, kasihan mereka, masa kita makan sama lauk sedangkan orang tua kita hanya melihat" jelas Nasrul membuat Kami bertiga berhenti seketika terharu mendengar penuturannya, apalagi Nawir sampai terperanjat memeluk tubuh Nasrul.
"Terima kasih banyak Rul, Terima kasih atas semua kebaikanmu, semoga usaha orang tua kamu terus lancar dan kamu tetap menjadi orang yang baik" ujar Nawir terdengar suaranya sangat parau mungkin menahan gejolak kebahagiaan yang tetrahan ditenggorokan.
"Ih apaan sih, lebay banget kamu wir" jawab Nasrul sambil mendorong tubuh Nawir agar terlepas dari pelukannya.
"Amin" Aku dan Heru kompak mengaminkan doa nawir, dan Kami berempat pun melanjutkan perjalanan pulang.
Sampainya di rumah, kedua orang tua Nawir sangat berterima kasih atas kebaikan Nasrul, karena telah memberikan lauk buat makan, setelah berpamitan kita berempat pergi meninggalkan rumah Nawir dengan membawa kasstrol yang sudah diisi dengan beras, dan membawa peralatan-peralatan yang dibutuhkan untuk ngeliwet, kami berempat berjalan menuju sungai yang ceritakan oleh Nawir.
Sepuluh menit perjalanan, akhirnya kita sampai di pinggir sungai, terlihat airnya mengalir sangat bening, dihiasi batu-batu besar menghiasi area sungai, tanpa pikir panjang Kami berempat membagi tugas, Nawir menyalakan api, aku mencuci beras, sedangkan Nasrul dan Heru karena mereka tidak memiliki basic melakukan itu, jadi hanya menonton.
Setelah beras dicuci, Nawir pun menyimpan kastrol itu di atas tungku batu yang baru dia buat, dengan cekatan Dia memasukkan bumbu-bumbu supaya nasi liwet itu terasa nikmat, mulai dari sereh, daun salam, garam, minyak goreng dan bumbu-bumbu lainnya. Nawir sangat cekatan melakukan hal itu bak chef kuliner ternama.
Setelah semua bumbu masuk dia menutup kastrol itu dengan tutupnya, dan dia terus menjaga apinya supaya tetap menyala, lima belas menit sudah, akhirnya air dalam kastrol itu mulai mengering, Nawir pun mematikan apinya, supaya nasi liwet itu tidak gosong, karena ketika Airnya sudah mengering untuk mematangkan nasi liwet cukup dengan Bara apinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments