...ACE pov...
..........
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam ketika aku kembali ke kamar. Aku masuk dan melihat ruangan yang sunyi, Fawn tidak nampak di mana pun. Biasanya, di jam sepuluh malam, demi menghindariku menyentuhnya, dia sudah tidur lebih awal. Aku menuju kamar mandi dan sekali lagi, tidak menemukannya di sana. Aku melihat ke arah balkon yang lampunya tidak menyala. Bertanya-tanya, apakah mungkin Fawn di sana atau...
...apa dia melarikan diri?
Aku menuju balkon dengan jantung yang berdegup kencang.
Suara decitan pintu yang bergeser mengisi keheningan. Mataku beradaptasi di kegelapan dan mencari-cari tanda keberadaan seseorang. Napasku tersangkut di kerongkongan ketika aku tidak melihat siapa pun, sampai...
"BAAAAAA!!!" Fawn melompat ke hadapanku dengan suara nyaring yang memekikkan telinga.
Aku terperanjat dengan jantung yang nyaris melompat keluar dari rongganya.
"Haaaahahahahahaha, lihat. Kau terkejut!" Dia tertawa sangat puas. "Rasakan!"
Gadis gila ini, apa dia bermain-main denganku? Aku dari semua orang?
"Apa kau gila?" Aku menekan keterkejutanku yang mulai bercampur dengan kekesalan. Aku mengira dia benar-benar menghilang barusan. Tapi di sini dia, berdiri dengan ekspresi penuh kemenangan.
"Kenapa? Tidak pernah bermain petak umpet saat kecil, tuan muda? Oh, aku lupa kau psikopat, mainan seperti ini tidak akan pernah kau alami. Kasihan sekali. Bersyukurlah, ini permainan pertamamu."
"Kau sepertinya cukup ceria hari ini," aku tidak begitu peduli akan hinaan Fawn. Sebaliknya, aku lebih tertarik pada sepasang bola mata hazelnya yang berbinar jenaka.
Aku pikir Fawn masih marah padaku mengingat apa yang terjadi menyangkut Jem tadi siang.
Indira adalah tuan Fawn, dan sedikit niat negatif terpancar ke arah tuannya itu akan membuat Fawn murka. Seperti anjing yang loyal, Fawn akan menggigit siapa pun yang mengusik tuannya.
"Tempat ini membuatku stres, jadi aku butuh hiburan." Cengirannya memudar seiring dia menyadari tatapanku.
"Apa mengejutkanku hiburan bagimu?" Aku melangkah mendekatinya.
Kalau dihitung-hitung, sudah berapa hari aku tidak bermain dengan Fawn? Aku sedikit merindukan suara desahannya.
Fawn menarik satu langkah mundur, kedua tangannya terangkat di depan dada, menahanku agar tidak begitu dekat dengannya. Sayangnya, itu tindakan yang malah mempermudahku menyekal kedua pergelangan tangannya. Dia tersudutkan di pagar dengan aku yang memerangkapnya.
"A-Ace...keparat, apa maumu?"
"Seharusnya kau tidur seperti biasa, ini semua salahmu karena sudah bermain-main denganku!"
"Hei, sial! Lepaskan aku!"
"Tidak mau," jawabku jenaka. Sengaja memancing emosinya. "Aku baru mulai bermain denganmu."
"Sial, bajingan ini bukan permainan..." Dia menggeliat panik saat aku merapat ke dadanya, merekatkan tubuh kami sementara bibirku menyapu pipinya. "Faaawn~"
"Ace kau keparat, berhenti--"
"Lihat aku," perintahanku selalu berhasil padanya belakangan ini. Entah itu karena ketakutan atau karena aku sudah berhasil mengontrolnya sedikit,ketika Fawn dengan berat hati menatapku, aku merasakan kemenangan lagi dan lagi.
Matanya menyorotku dengan kegugupan, mata yang sama yang membuatku tertarik ke arahnya. Tanpa kata, aku meraup bibirnya di bibirku. Mencecap sensasi manis yang kembali menggelenyar di dadaku layaknya candu. Tanganku merayap naik ke tengkuknya, menahan kepalanya agar tidak menghindariku. Menekannya lebih dekat dan lebih dalam.
Ketika pagutan itu berlangsung cukup lama, Fawn mengambil kesempatan untuk menarik napas dengan mulutnya, dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk keuntunganku dan menyelipkan lidahku masuk. Mengeksplorasi bibirnya yang terasa seperti peppermint dan gula.
Tangannya meremas kemeja yang kukenakan, dan itu membuatku semakin menggebu. Aku mendekapnya lebih rapat di pinggangku dan melahapnya dengan penuh nafsu.
"Hmmmmhh..." Suara lenguhan Fawn keluar di sela-sela pagutan itu.
"Ace...berhenhhh--" suaranya semakin tidak jelas di telingaku. Aku tidak menaruh fokus di sana sama sekali dan lebih tertarik menggigit bibir bawahnya kuat. Sementara dia menggeliat dalam ketidaknyamanan, aku menyapu turun kecupanku dari bibirnya menuju lehernya yang putih.
Jejak kecupanku sudah hilang dari sana, aku tidak suka. Jadi, aku menambahkan jejak-jejak baru yang menandakan dia milikku. Aku menyapu basah lehernya, menjilat dan menggigit kulit porselennya dengan penuh damba.
Hanya ketika aku merasakan kalau gairahku sudah mencapai puncaknya, aku berhenti berlama-lama dan menggendong Fawn di dadaku. Dia sedikit terkejut ketika aku melingkarkan kakinya di pinggangku.
"Ace keparat, apa kau mau menjatuhkanku dari lantai dua rumahmu?" Dia panik.
"Apa kau meremehkan kekuatanku?" Aku menggigit daun telinganya jenaka. "Berpeganganlah, kalau tidak aku akan benar-benar menjatuhkanmu."
Dia menciptakan erangan marah tapi tetap mengikuti permintaanku.
Aku membawa Fawn ke sofa, duduk di sana dengan dia yang berada di pangkuanku. Matanya menghindari tatapanku dan itu terlihat lucu dan lugu. Aku mengecup dagunya dan membawa kembali dia pada permainan kami yang sempat terjeda.
"Tolong jangan lakukan ini," dia menatapku penuh permohonan. Tapi itu tidak akan terjadi. Tidak peduli betapa aku memahami ketakutan dan keengganannya, di hubungan ini kehendakku adalah yang utama. Aku memang bajingan seperti yang dia katakan, jadi aku tidak akan menyerah oleh permohonannya.
Senyumku merekah melihat ketakutan dan kepanikan membaur di ekspresinya. Ia bertopang di pundakku, mendorong dirinya menjauh ketika aku hendak menciumnya kembali.
"Apa melakukan ini denganku sangat menakutkan?" Aku menyibak surai hitam yang jatuh di pundaknya. "Aku pikir aku sangat baik dalam hal ini."
"Apa yang kau lakukan adalah kejahatan, aku membenci setiap hal yang kau lakukan padaku, Ace Hunter."
kebencian dalam suaranya, tajam hina pandangannya membuatku sedikit tertegun. Ada cubitan kecil timbul di hatiku ketika Fawn menyuarakan kejujurannya. Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Ketidaknyamanan dan kepahitan asing ini.
Selama ini, aku menikmati setiap penolakan yang Fawn berikan. Menganggapnya sebagai tantangan. Aku tidak pernah mengira akan datang ketika penolakannya akan membuat jantungku berdegup ngilu.
"Apa aku sangat menjijikkan di matamu?"
"Itu bukan pertanyaan lagi, kan?" Fawn membuang muka.
"Fawnia Alder," aku memanggilnya sekali lagi, meminta ia agar menatapku.
"Apa lagi?" Dia kembali menghadapku, tapi pandangannya menyorot ke area mana pun selain mataku. "Lakukan apa yang ingin kau lakukan, kau pasti akan mengancamku menggunakan keselamatan ibuku lagi. Jadi lakukan saja, selesaikan semuanya."
"Tidak..." aku berubah pikiran. Mana mungkin aku masih bergairah ketika hatiku terasa sakit. Perasan tidak nyaman ini memudarkan segala nafsuku. Membuat milikku yang sempat bersemangat, kembali lesu. "Aku lapar."
"Huh?"
"Aku ingin memakan sesuatu..." Ucapanku membuat alis Fawn mengerut ambigu.
Aku mengusap kening Fawn yang membuat ekspresinya semakin lucu. "Aku dengar dari Indira kau pandai memasak, buatkan aku sesuatu."
"Kau bisa memanggil Felix?" Dia menolak seketika, kebingungan tersirat dalam nada suaranya.
"Felix sudah beristirahat di jam seperti ini. Apa kau tidak kasihan padanya?"
"Keparat." Fawn terlihat sangat keberatan. Pipinya menggembung seiring kepalanya membuat pertimbangan. Reaksinya yang seperti itu memancing tanganku untuk mencubit pipinya.
Halus kulit itu sangat bertolak belakang dengan kehidupan keras yang selama ini dia jalani. Bagaimana bisa keluarga Rashid memanfaatkan gadis seimut ini sebagai seorang bodyguard?
"Baiklah, aku akan memasak." Fawn berusaha bangkit dari atas pangkuanku, dan pergerakan kecil itu sepertinya membuat ia tersipu. Rona merah menyebar di sepanjang tulang pipinya, sangat manis dan menghibur mata. Aku melepaskannya dengan sedikit tidak rela.
"Apa aku benar-benar boleh keluar? Apa alarm tidak akan berbunyi kalau aku menapak keluar?"
"Aku akan meminta Carcel mematikan alarmnya, kau tidak perlu mencemaskan apa-apa." Aku berdiri, mengulurkan tanganku kepadanya yang masih duduk di sofa. "Ayo."
"Uh..."
"Atau kau lebih memilih aku melanjutkan apa yang kita lakukan sebelumnya?"
"Jangan tolol, mana mungkin..." Fawn seketika bangkit dan melewati uluran tanganku. Dia melangkah di depan dengan berani, tapi berhenti sejenak ketika ia mencapai pintu. Ketakutannya untuk keluar seperti trauma. Orang-orang yang menjadi kelemahannya sudah pasti orang yang sangat berharga baginya. Sialan, aku jadi sedikit cemburu.
Akan bagaimana rasanya memiliki orang yang mampu mencintaiku sebesar Fawn mencintai keluarga dan teman-temannya?
Aku bertanya-tanya dalam kemirisan.
Itu pasti terasa seperti keajaiban.
...----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus semangAt
2023-07-02
0
Vlink Bataragunadi 👑
dah lah, kamu dah bucin Ace, fix no debat ^o^
2023-05-26
0
Kadek Pinkponk
lama'aku terpesona pdmu ece
2022-06-26
0