...Fawn POV...
.......
.......
.......
Sementara aku masih terborgol di kediaman keluarga Hunter, terkunci di kamar si sulung Hunter yang luas dan dingin, dua hari telah berlalu. Aku berterima kasih kepada Tuhan karena selama dua hari kemarin, Ace tidak ada pulang ke rumah. Aku tinggal sendirian di kamar itu.
Sesekali Felix--pelayan Ace--berkunjung dan mengantarkan makanan. Awalnya, aku merasa enggan menyantap apa pun yang mereka berikan. Aku tidak nafsu makan dan hanya mendambakan kematian yang cepat dan tidak menyakitkan. Aku pikir, mungkin kelaparan adalah cara yang bagus untuk mencapai keinginanku untuk mati.
Aku enggan makan tapi sepiring nasi dengan lauk-pauk sedap itu perlahan-lahan menarik perhatianku. Nafsu makanku yang sempat hilang menyeruak ke permukaan, datang dengan bunyi nyaring dari perutku yang meraung. Ini menggelikan.
Ketika aku ingin mati, kenapa perutku tidak bisa diajak berkompromi?
Pada akhirnya, aku dikalahkan oleh nafsu makanku yang memuncak. Aku menyantap makan siang dan makan malamku dengan lahap. Hanya ketika aku sudah kekenyangan, barulah rasa bersalah muncul di benakku. Aku seharusnya tidak memakan apa pun pemberian keluarga ini.
Cklek!
Pintu kamar terbuka lagi. Felix masuk dan menatapku yang sedang menyantap sarapan. Pria itu, dia tidak pernah menggubris ucapanku. Dia keluar masuk ruangan ini hanya untuk mengawasiku ke toilet, memborgolku dan memberiku makan.
"Tuan Ace akan pulang sebentar lagi," kata Felix. Dia menatapku dengan serius, seolah-olah informasi itu berguna untukku. Aku tidak peduli si bajingan itu akan pulang atau tidak!
"Terserah," tanggapku. Aku lebih menaruh minat kepada semangkuk sup ayam yang disajikan di hadapanku sekarang.
"Aku tau kau membenci tuan Ace. Karena itu, aku akan menyampaikan ini demi kebaikanmu, tuan Ace sedang dalam mood buruk hari ini. Aku harap kau tidak memprovokasinya."
"Oooh, betapa pengertiannya. Apa kau mengatakan ini demi kebaikanku atau demi kebaikan tuanmu, huh? Jangan bicara omong kosong!" Aku mendengus.
"Kalian keparat cuma tidak ingin mood tuan kalian semakin parah, kan? Situasinya mungkin akan buruk untuk kalian kalau dia mengamuk. Tenang saja, aku tau, aku tau. Aku adalah pengawal juga sebelumnya."
Felix sepertinya tidak menyukai tanggapanku. Kenapa? Apa aku bicara tepat sasaran? Hahahaha. Aku ini tidak bodoh, ya. Dasar orang-orang tolol.
"Kalau kau mengerti, baguslah." Felix berbalik dan meninggalkanku di ruangan sunyi itu.
Memikirkan kalau Ace akan pulang hari ini, mood-ku jadi tertular buruk juga. Aku menatap mangkuk supku dan termenung. Apa yang akan terjadi padaku ke depannya? Aku tidak bisa terjebak di sini dan menjadi mainan pria sinting itu. Jika ada hal yang bisa kulakukan sebagai perlawanan walau hanya dalam keadaan tangan terborgol ini, aku ingin berjuang.
'Aku harap kau tidak memprovokasinya,' kata-kata Felix bergema di kepalaku sekali lagi. Memancing keluar ide gila yang baru saja terpikirkan. Si pelayan tolol itu, oh Tuhan, dia baru saja memberikanku ide untuk membalas si keparat mesum Ace.
Lihat apa yang akan kulakukan padamu, Ace Hunter.
Aku tersenyum penuh keantusiasan. Membayangkan kalau laki-laki bajingan itu terbakar dalam api emosi membuat jantungku berdesir penuh antisipasi. Aku ingin segera menyambut Ace datang. Aku ingin melihat suasana hatinya berantakan.
Cklek!
Bunyi pintu yang lagi-lagi dibuka membuat mataku melebar ceria. Aku berdiri secepat kilat dan dengan ayunan tangan yang kuat...
BRAKKKK!
Mangkuk sup dari keramik itu melayang dan menghantam kepala Ace Hunter yang baru melangkah masuk. Keterkejutan tergambar jelas di wajahnya, diikuti mata yang berkilat penuh amarah. Oh, sungguh pemandangan yang luar biasa. Aku tertawa.
"Rasakan!" Teriakku penuh kemenangan.
Hari ini setidaknya--aku merasa lega. Emosiku meluap tergantikan satu poin kemenangan yang membanggakan. Aku bangga pada tanganku yang mampu melempar mangkuk itu tepat ke kepala Ace. Terima kasih pada pengalamanku yang sempat menjadi pitcher di SMA, guru olahragaku pasti meneteskan mata haru pada upayaku hari ini.
"Sangat bagus..." Ace yang membeku di pintu menyibak poni panjangnya ke belakang. Darah mengalir dari dahinya dan membasahi alis tebalnya. Darah itu pula membuat keantusiasanku terjeda. Entah mengapa, atmosfir di ruangan itu terasa lebih mencekam daripada sebelum dia datang.
Aku menatap Ace dengan kegugupan, dan sekilas aku melihat Felix dan Carcel menggelengkan kepalanya tidak habis pikir di belakang sana.
Hei, apa yang salah? Kenapa dia menatapku seperti itu?
"Tinggalkan kami sendirian," suara Ace memerintah kedua anak buahnya dengan tenang. Secepat Ace bersuara pula, Felix dan Carcel segera mundur dari belakang tuannya.
Setelah kepergian dua orang tidak penting itu, Ace menyeka darah di keningnya. Ia menatap warna merah di tangannya dengan helaan napas gerah. Saat itu, aku tidak tau apa yang Ace pikirkan. Tapi melihat dari air mukanya yang kelam, pria itu menguarkan aura yang menakutkan.
Seharusnya ini baik, kan? Aku memprovokasinya, membuat dia murka. Dia mungkin akan mengeluarkan pistolnya dan menembak kepalaku sekarang juga.
Ayo, lakukan itu segera. Tembak aku!
"Fawnia," Ace melangkah mendekatiku. Matanya menatap menembus jiwaku, sangat mengerikan dan menakutkan.
"Be-berhenti di situ!" Bibirku bergetar panik. Karena borgol sialan yang masih menahan sebelah tanganku di bibir ranjang, aku tidak bisa melarikan diri kemana-mana. Aku terkurung di sana sementara pria dengan aroma darah dan sup ayam itu mendekat. Tangannya menangkap pergelangan tanganku.
"Ace keparat--menjauh! Kubilang menjauh!" Aku tidak bisa bernapas, aku sangat takut dengan jarak kami yang dekat. Bayangan apa yang pernah terjadi di antara kami kembali membayangi pikiranku. Menakutiku.
"Kau tau, Fawnia. Aku sangat marah sekarang." Si bajingan itu berbisik di dekat wajahku. Tangannya membelenggu sebelah tanganku yang bebas di atas kepala sementara berat bobotnya mulai jatuh di dadaku seperti jangkar yang menahan setiap pergerakanku.
"Terima kasih padamu, sekarang aku tidak perlu ke gym untuk melepaskan amukanku."
"..."
"Aku punya kau," lanjutnya lagi.
"Kumohon, jangan lakukan ini..." Ketakutan sudah mengambil alih tubuhku. Mataku tergenang oleh air mata sementara Ace merayapkan tangannya yang bebas masuk ke dalam kaos hitam yang kukenakan.
"Kumohon..., berhenti...,"
Aku membuang muka, menolak menatap mata Ace yang gelap oleh gairah. Dia kembali melakukan hal yang paling kubenci. Tangannya yang menyentuhku, bibirnya yang menyapu permukaan kulitku, semua tindakannya membuatku mengutuk hidupku saat itu. Aku menggigit bibirku kuat hingga darah mengalir dari sana.
Aku menahan segala efek dari sentuhannya, berusaha tetap waras kendati tubuhku merasakan reaksi asing dari perlakuan kasarnya.
"Aku membencimu!" Aku memakinya ketika dia menjeda tindakannya, menatapku di muka dengan seringai iblis merekah di sana. Dadanya yang tak terbungkus pakaian menunjukkan memar di mana-mana. Aku tidak tau apa yang terjadi pada pria ini sebelumnya, tapi aku tidak akan bersimpati sama sekali. Tidak ketika dia memperlakukanku seperti ini.
"Rilex, Fawn. Kau bukan satu-satunya orang yang membenciku." Ace menyatukan kening kami dan aku bisa merasakan darah dan keringatnya menyentuh kepalaku.
"Aku juga membenci diriku."
Seringai tipis yang biasa bermain di wajahnya memudar tergantikan oleh seulas senyuman getir. Aku tidak mempercayai kalau sosok yang kupandangi saat itu adalah Ace. Tidak karena senyuman getir itu hanya bertahan sepersekian detik saja. Cengiran iblisnya kembali mengambil alih rupa rupawan itu.
Dia menatapku dan kembali berpacu.
Desahannya memenuhi ruangan, berpadu padan dengan erangan napasnya yang tak beraturan. Sementara dia menghujamku dalam rasa asing yang menjijikkan, aku menatapnya dengan kebencian. Kutukan kurapalkan di dalam hatiku sepanjang kejadian itu.
Berharap segala hal buruk akan menimpa pria bajingan ini.
Demi Tuhan, tolong..., seseorang, tolong buat Ace Hunter menghilang dari bumi ini!
...---...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus ceria
2023-07-02
0
Vlink Bataragunadi 👑
waaaw bab Ini luar biasaa
2023-05-26
0