...FAWN pov...
.......
.......
.......
Keriuhan di rumah keluarga Hunter mereda ketika waktu sudah menunjukkan pukul empat sore hari. Mobil-mobil yang terparkir besar di halaman depan sudah pulang, aku memantau kepergian mereka dengan perasaan iri. Aku juga ingin pergi dari sini tapi berkat si keparat yang sudah tidur selama lima jam-an itu, aku tidak bisa pergi kemana-mana. Aku ingin menekan bantal ke wajahnya, membuat dia mati lemas. Situasinya pasti lebih baik kalau dia mati.
Pemikiran untuk membunuh Ace menggodaku mendekat ke arah pria itu yang sedang tidur seperti orang mati. Aku memungut bantal yang tidak dia pakai dan mengangkat benda itu dekat dengan wajahnya. Tanganku sedikit bergetar, haruskah aku melakukannya? Ini baik, bukan? Dia akan mati, aku akan bebas. Aku tidak perlu sengsara dalam sangkar ini.
Aku...
"Sialan!" Aku melempar bantal itu ke kepala ranjang. Tekadku untuk membunuh Ace terkalahkan oleh ketakutanku. Pemikiran tentang ibu, Joseph dan Vita menanggung konsekuensi dari tindakanku membuatku bergidik ngeri. Aku tidak ingin kehilangan mereka.
"Aku harap kau mati tersedak liurmu sendiri!" Aku hanya bisa menyumpahi Ace dari tempatku berdiri. Tanganku terkepal erat, frustasi dan marah membaur mengisi hatiku. Aku kembali kesal hanya melihatnya tidur dengan nyaman.
Dia seharusnya tidak bisa tidur! Dia seharusnya menderita dan mengalami insomnia..., dia seharusnya...
"Bagus." Ace tiba-tiba berbicara membuatku melompat dua langkah menjauhinya. Sialan, kapan dia bangun?
"Kau membuat keputusan yang tepat," lanjutnya. Dia membuka mata dan langsung menatapku. Binar di matanya jenaka, mengejekku yang tidak mempunyai nyali untuk membunuhnya. Keparat, bajingan.
"Aku hampir mengikatmu kembali kalau kau melukaiku."
"Kau punya masalah mental." makiku.
Ace tertawa. Dia beranjak dari tempat tidur dan mengulurkan tangannya ke arahku. Sesaat, tingkahnya membingungkanku, tapi dia memperjelas maksudnya dengan bicara. "Kemari," katanya.
Aku menatap tangannya dengan enggan. Apa dia mengharapkanku menyambut uluran tangannya atau mematahkan semua jari-jarinya? Laki-laki ini sakit jiwa, aku ingin meneriakinya.
Segera setelah dia mempelototiku, aku mau tidak mau menyambut uluran tangannya. Telapak tangannya terasa besar dan hangat di tanganku, sangat asing dan membuatku merinding.
"Aku pikir kita punya persetujuan untuk tidak menyakiti satu sama lain." Ace menarikku ringan ke hadapannya. Situasi itu sangat canggung dan ruangan yang sunyi membuatku semakin tidak nyaman. Aku bisa mendengarkan deru napasnya dan suaranya yang berbicara sangat jelas di telingaku.
"Itu perjanjian satu arah. Kau masih melukaiku, asal tau saja." Aku tidak akan melupakan bagaimana dia memaksakan dirinya padaku.
Apa dia pikir, hanya karena aku tidak sekarat secara fisik, dia tidak melukaiku? Bajingan. Harga diriku terinjak-injak. Aku lebih baik dilukai sampai mati daripada menanggung perasaan hina ini.
"Oh, benar juga. Tapi setidaknya kita punya perjanjian." Ace mendongak menatapku. Sepasang matanya yang kelabu menyorotku indah. Mengingatkanku kepada warna kelam langit malam yang--sialan, kenapa bajingan sepertinya memiliki paras yang menawan?!
Aku hampir jatuh di kakinya karena terpana. Ditatap seperti ini, kalau aku tidak ingat dia adalah psikopat, aku mungkin akan meleleh ke lantai.
"Apa maumu?" Aku membuang muka. Menghindari matanya yang seperti jebakan untuk hati-hati lemah.
"Aku mau mandi."
"Kalau begitu mandilah."
Aku menarik tanganku dari genggaman ringannya. Untung dia tidak mencengkramku kasar lagi. Oh, aku baru menyadari ini. Ace memang agak berubah belakangan. Dia menjadi lebih rileks dan tidak pernah memukulku. Seingatku, pada hari pertama kami bertemu, dia menamparku sekali dan terus memaksakan kekuatannya untuk menahanku.
Apa yang merasuki dia?
"Mandi bersamaku, oke?"
"Hah?" Lupakan, dia tidak berubah. Dia masih si mesum bajingan. "Aku sudah mandi." tolakku.
"Aku tidak peduli kau sudah mandi atau belum, mandi bersamaku." Ace berdiri. Perbedaan tinggi kami dalam jarak yang sedekat ini menjadi begitu kentara. Aku hanya mencapai dadanya. Sial, kenapa dia sangat besar?
Seperti posisi kami bertukar, aku yang sekarang mendongak menatapnya. Melihat rahang tajamnya dengan kegugupan. Tidak heran mengapa Ace menjadi pria yang banyak digandrungi oleh wanita. Ace tidak seperti Anggara yang sopan dan seperti pangeran, tapi dia seperti iblis. Iblis yang pandai memikat manusia ke dalam perangkap beracunnya.
"Bisa kau berhenti menjadi pria mesum sekali saja?" Aku memberanikan diri menghinanya. "Aku pikir kau sibuk dengan nona Margot."
"Untuk tetap waras, Fawn. Aku butuh hiburan di tengah kesibukan. Sekarang kau paham, kan?" Ace menyentuh pipiku, memberikan cengkraman yang cukup kuat di sana sebelum memindai tubuhku dari ujung kaki hingga kepala. Sepasang matanya menyiratkan dahaga. "Kau adalah hiburanku sekarang."
"Kau menjijikkan."
"Hah, aku tau." Ace mendekatiku sekali lagi dan tanpa aku sempat bereaksi, dia langsung mengangkatku di dadanya. Aku hendak meronta lepas tapi membeku ketika dia menyentak tubuhku kasar di dadanya.
"Jangan bergerak!" Peringatan itu mematikan. Aku membeku ketakutan.
"Aku tidak akan pernah mandi kalau terus berdebat denganmu." Ace berbicara sambil menggendongku memasuki kamar mandi. Setelah melabuhkanku di dalam bak besar, dia berdiri dan menanggalkan pakaiannya satu-persatu. Pemandangan tubuhnya yang polos seketika mengisi mataku, membuatku membeku.
"Ada apa?" tanyanya dengan seringai menggoda. "Suka dengan apa yang kau lihat?"
"Aku lebih baik makan sayur basi."
Dia menyalakan keran air dan bergabung bersamaku di dalam bak. Tempat yang sebelumnya muat untuk satu orang saja menjadi sempit karena keberadaannya. Dia mendekat ke arahku sekali lagi dan tersenyum geli.
"Angkat tanganmu," titahnya seperti raja.
"Tidak mau. Aku bilang aku sudah mandi. Bisa kau berhenti melakukan ini?"
Apa pelacur sangat mahal di luar sana? Mengapa dia mencari hiburan dari aku yang tidak sedikit pun memiliki figur yang mempesona? Kenapa aku yang hanya gadis kampung biasa, dengan jejak luka akibat sparing, menjadi mainan si psikopat sinting ini?
Oh, Tuhan!!!
"Aku sangat stress seharian kemarin, bisa kau berhenti merengek?"
"Kenapa aku yang harus menjadi objek pelepas stressmu? Apa kau tidak punya pacar yang bisa kau manfaatkan? Hell, kau punya banyak uang untuk membeli wanita mana pun yang tidak akan merengek padamu, apa kau tau itu?"
"Aku tidak mau wanita mana pun." Ace terkekeh. "Aku mau kau."
Ucapan Ace seperti aliran listrik yang menyetrum otakku. Aku terpana dengan jantung yang tololnya menggebu-gebu. Apa-apaan reaksi ini? Apa aku gadis murahan yang lemah dengan ucapan manis seorang bajingan?
"Sekarang...." Ace menarik lenganku naik ke lehernya, menarik lepas kemeja yang kupakai sebelum memutuskan jarak di antara kami. Dia mendekat dan menatapku lekat-lekat.
Separuh tubuh kami sudah terendam di dalam air. Setiap gerakannya menciptakan riak di permukaan air yang hangatnya tidak membuatku nyaman. Aku merasakan panas luar biasa di bawah tatapan matanya, dan sementara dia terus mengunci tatapannya di mataku. Aku tidak menyadari sama sekali ketika bibir kami bertemu.
"..."
"..."
Mataku menggelap akan jarak wajahnya yang mendekat. Lembut bibirnya menyapu bibirku. Itu adalah sentuhan yang baru bagiku. Ace tidak pernah menyentuhku seperti ini sebelumnya. Tidak, dia tidak pernah memperlakukanku seperti ini. Apa yang terjadi?
Perlu beberapa waktu bagiku untuk mampu memahami kalau apa yang terjadi saat ini adalah Ace menciumku. Si psikopat itu..., menciumku?
Tangannya yang basah merangkak naik ke tengkukku, mendorong wajahku lebih merekat di parasnya. Melahapku dalam pagutan yang lama-lama membuatku gelap mata. Aku terlarut dalam kuat pagutannya. Otot dan tulangku seperti melunak seketika.
Saat itu pula, sebuah sensasi aneh merayap di tubuhku. Sesuatu yang seharusnya tidak kurasakan sama sekali. Sesuatu yang membawa kenikmatan dan euforia. Aku terpedaya.
SIALAN! SIALAN!
Dalam kewarasan yang hampir hilang, aku seketika memberontak kepanikan. Apa yang otakku pikirkan? Aku mendorong Ace dari hadapanku dan mundur menabrak punggung bak. Mataku menatapnya horor.
Siapa pria bajingan ini? Bagaimana bisa dia membuatku luluh dalam sentuhannya? Ini bukan aku lagi. Sesuatu memang salah dalam udara rumah ini. Aku..., aku sama sekali tidak menikmati ini. Keparat!
Fawn, waraslah! Dia adalah bajingan yang sudah merusak hidupmu! Jangan sampai terbawa arus permainannya! Dia adalah pria gila!
"Ada apa?" Ace menatapku dengan ekspresi datarnya yang biasa. Seolah-olah dia tidak sedang melakukan dosa. Si keparat tanpa perasaan itu!
"Apa ini ciuman pertamamu?" Dia menggodaku dengan nada suara jenaka. Ibu jarinya menyapu bibirnya sendiri, mengingatkanku pada bagaimana rasa bibir itu di bibirku.
Keparat! Keparat! Keparat!
Aku perlu membentur kepalaku ke dinding setelah ini. Matilah kau, Fawnia Alder! Kau tidak pantas hidup! Ah, aku membenci diriku sendiri.
"Kau benar-benar polos, bukan?" Ace mundur dari hadapanku dan mulai mengusap tubuhnya sendiri. "Aku tidak tau sudah berapa banyak momen pertamamu yang kucuri."
"Ini tidak lucu sama sekali," aku menggapai kemejaku yang sudah separuh basah di lantai dan memakainya kembali. Aku beranjak meninggalkan Ace dari bak mandi itu, dan sebuah keajaiban, dia tidak marah sama sekali. Aku merasa lega, tapi di satu waktu, aku mulai mencemaskan kewarasanku.
"Sampai kapan aku harus bertahan di sini?"
Aku bisa gila sebelum bisa bertemu udara segar di luar sana.
...----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
truscetia
2023-07-02
0
Vlink Bataragunadi 👑
aaaaa tidaaaak.... Acr udah kalaah, kalah telak ini mah ≧∇≦
2023-05-26
0
Vlink Bataragunadi 👑
masa sih Faaawn? hihihi
2023-05-26
0