...FAWN pov...
.......
.......
.......
Sesuatu yang besar sedang terjadi di keluarga Hunter. Aku tidak tau apa itu, tapi setelah menerima telepon dari pamannya, Ace meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Dia juga membawa setidaknya dua senjata dari brankas. Melihat keseriusan wajah Ace saat itu, aku yang biasa menyumpahinya melarat sedikit cemas. Jantungku berdegup panik saat melihat amarah menguar dari paras tegasnya.
Margot--nama itu adalah penyebab utama kemarahan Ace. Ketika Margot disebutkan oleh si penelpon, aura Ace berubah kelam sepenuhnya. Seperti api menguar dari tubuhnya, membakar siapa saja yang berada dalam jarak dekat. Melihat reaksi Ace, aku bahkan tidak berani berkedip sampai dia menjauh dariku.
Mengenai Margot, seingatku dia adalah saudara sulung Ace. Satu-satunya keluarga dekat yang pria itu punya. Dia adalah wanita yang selalu muncul dalam pakaian serba hitam layaknya penggemar musik metal rock. Nona Indira pernah menceritakan sesuatu tentang Margot dan cerita itu menempel di kepalaku sampai sekarang. Bahwa :
"Margot mungkin terlihat menyeramkan dan agak kasar di luar, tapi dia sebenarnya wanita yang sangat baik. Dia sangat mencintai Ace dan menjaga saudaranya tersebut. Mengingat mereka hanya berdua saja sekarang, aku merasa Margot tidak ingin kehilangan keluarganya lagi."
Mengingat ucapan nona Indira, wajah Margareth Hunter muncul di benakku. Wanita cantik dengan bodi ala-ala model majalah fashion. Rahangnya tegas, mata tajam, dan kepercayaan diri yang membuncah. Dia seperti wanita impian. Versi wanita yang dirimu inginkan tapi hanya angan-angan buta karena menjadi cantik sepertinya butuh keberuntungan sejak lahir.
"Aku harap tidak ada hal buruk yang terjadi padanya," aku berdoa sambil menatap keluar jendela. Langit malam itu sangat kelam. Aku keluar menuju balkon dan melihat banyak pengawal berkumpul di depan, berdiskusi dengan kecemasan. Aku penasaran tapi aku masih tidak dibolehkan keluar dari kamar.
...----...
Keesokan harinya, aku bangun dengan sarapan yang mendingin di atas meja. Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pagi menjelang siang. Saat itu, tidak ada tanda-tanda kalau Ace sudah pulang. Ada kemungkinan dia masih menangani masalah semalam. Aku tidak begitu ambil pusing atas keberadaannya dan merasa agak bersyukur, setidaknya aku tidak perlu berurusan dengan kepribadian anehnya.
1 jam kemudian, setelah menyelesaikan urusanku di kamar mandi, aku keluar dan disambut oleh tatapan malu-malu seorang pengawal yang dari tampangnya cukup muda.
"Kau siapa?" kataku sedikit tidak nyaman.
Sekedar mengingatkan, aku masih terjebak memakai pakaian Ace. Hari ini aku memutuskan memakai kemeja putihnya yang mencakup sampai pahaku. Di bagian bawah, aku hanya mengenakan ****** *****. Aku tidak punya celana dan demi Tuhan, Ace tidak mempunyai celana yang bisa dipinjam. Selain ukurannya yang besar, aku juga tidak mau memakai celana bekas pria itu.
"O-oh, maaf. Aku Haru. Bos Carcel menugaskanku untuk mengawasimu."
"Di mana Felix?"
"Felix sedang sibuk mempersiapkan kepindahan nona Margot, jadi dia tidak akan bisa mengurusmu untuk sementara waktu."
"Oh, oke." Aku melenggang sambil mengelap rambutku. Aku menuju meja dan melihat sepiring makanan yang tersaji dingin di atas meja. Penampilannya sama sekali tidak mengunggah selera.
"Jadi, Haru..."
Hanya sedikit ucapan keluar dari bibirku, mata Haru langsung melebar siaga. Seperti murid yang sangat patuh. Aku jadi teringat kali pertama Joseph menjadi pengawal nona Indira. Dia juga sama lugunya dengan Haru. Seperti seluruh tubuhnya dalam mode siaga.
"Apa yang bisa dimakan di dapur?" Aku kemudian melanjutkan tanya. Haru agak bingung tapi menjawab dengan cengiran.
"Roti panggang."
"Kedengarannya enak." Aku duduk bersila di sofa, sambil membayangkan menu makanan yang biasa kusantap di rumah keluarga Rashid. Biasanya, aku sarapan roti panggang dengan selai alpukat dan telur orak-arik. Memikirkan itu, aku jadi lapar.
"Aku bisa membuatkanmu roti panggang, kalau kau mau." Haru mengusulkan ide itu ke kepalaku. Senyumku seketika melebar antusias.
"Boleh, boleh!" Aku menjawab terlalu cepat.
Hei, kemana saja anak ini? Seharusnya, kalau mereka ingin memberikanku pengawal, mereka sebaiknya memberikanku Haru dari awal.
"Baiklah, kalau begitu..., aku akan menyiapkannya untukmu."
Cengiran Haru benar-benar mengingatkanku pada Joseph. Sial, kenapa anak semenggemaskan dia menjadi pengawal di rumah keluarga psikopat ini? Dia seharusnya dilindungi dan dihujani dengan cinta. Aku harus menanyakan itu nanti.
Beberapa menit berlalu setelah kepergian Haru. Aku mengisi awal hari itu dengan berbaring di sofa dan memutar musik favorite-ku di kepala. Sesekali, aku mendengar suara berisik dari luar. Pengawal yang bicara dengan suara besar dan suara kendaraan ramai. Aku tidak mau repot-repot menengok ke jendela. Aku sudah bisa menarik kesimpulan sendiri hanya dari sekelebat penjelasan Haru tadi. Kalau Margot akan pindah ke sini.
Aku tidak tau apa penyebabnya nona Margot pindah, tapi itu lebih masuk akal dari dia yang tinggal di luar. Toh, rumah ini adalah rumah keluarga utama Hunter.
Jika Margot pulang dan melihatku dalam situasi seperti ini, aku bertanya-tanya apa yang akan wanita itu lakukan? Apakah dia akan menyelamatkanku, melepaskanku, atau membunuhku? Akankah dia membenci kegilaan adiknya? Apakah dia tau kalau adik yang dia cintai mengurung seorang wanita tanpa alasan yang jelas, menyiksa dan melecehkanku setiap dia mau, apa dia tau adiknya adalah bajingan?
Akan sangat baik kalau Margot melepaskanku, tapi itu kemungkinan yang tipis. Dia mungkin membunuhku karena risiko aku lepas dan membocorkan kegilaan keluarganya akan menjadi bahaya. Di bunuh juga tidak apa-apa, sebenarnya.
Tunggu, apa aku memang benar-benar siap mati? Aku kembali merenungi keputusan ini ketika aku sendirian. Semakin lama aku dibiarkan hidup di sini, semakin aku memikirkan keinginan untuk bertahan hidup.
Sesuatu yang salah pasti sudah meracuni udara kamar ini, otakku jadi penuh hal-hal omong kosong.
"Permisi," sapa Haru kembali. Dia muncul di pintu dengan dua roti panggang dengan irisan tomat dan bacon. Satu gelas jus kiwi berada di samping roti panggang tersebut.
"Wah, apa kau mencuri ini di dapur?" Aku membuat lelucon. Biasanya, makanan yang dibawa Felix sangat enak, tapi makanan yang dibawa Haru terkesan seperti makanan para pengawal sebelum bekerja. Aku senang atas kesederhanaan ini. Aku jadi teringat kembali pada jati diriku yang sebenarnya.
"Aku sebenarnya membuat ini sendiri." Haru bicara dengan agak bangga. Sedikit rona merah mekar tipis mewarnai pipinya.
"Bagus untukmu." kataku lalu mulai mengambil seiris roti dari piring. "Jadi, Haru..., apa yang sebenarnya terjadi di luar?"
"Nona Margot akan pindah ke sini," jawab Haru. Ucapannya singkat.
"Kenapa?"
"Nona Margot diserang semalam. Bos Ace pun sangat marah jadi dia ingin nona Margot kembali tinggal bersamanya, seperti itu."
"Oh," Ternyata itu yang terjadi.
Malang sekali orang-orang kaya ini. Hanya karena mereka unggul dari yang lain, mereka terlihat seperti ancaman hingga melenyapkan nyawa mereka terkesan sebagai kewajaran. Mereka terpaksa membangun lingkungan baru ketika mereka mampu merasa aman dengan mempekerjakan puluhan orang yang mampu melindungi mereka dari dendam, kebencian atau kedengkian semata.
Untung saja, dengan nona Indira, aku tidak pernah terjebak dengan situasi buruk seperti itu. Tentu saja, beda hal dengan tuan Anggara yang perlu berurusan dengan musuh-musuhnya sepanjang waktu, nona Indira tidak sering beraktivitas di luar. Kalau dia keluar pun, dia akan didampingi aku atau keluarga Caspian.
"Apa nona Margot baik-baik saja?" Aku bertanya setelah berhasil menelan makananku.
"Aku dengar dia dalam kondisi yang baik."
Itu jawaban yang cukup. Setidaknya, dengan kondisi Margot yang baik, Ace tidak akan kehilangan kewarasannya. Aku tidak bisa membayangkan harus bagaimana menghadapi Ace yang tidak waras. Dia yang terlihat 'normal' saja sudah melelahkan mentalku, apalagi kalau dia dalam keadaan berantakan. Aku mungkin akan menembak kepalaku sendiri.
"Nona Fawn, apa kau menyukai makanannya? Apa kau mau kubuatkan lagi?" Haru memperhatikan piringku yang sudah bersih. Ini memalukan, dia mungkin menganggapku wanita yang rakus.
"Ini enak..., ehehehe. Terima kasih. Aku sangat suka." Aku memaksakan cengiran lolos dari pipiku yang masih terisi roti. Tanggapanku membuat mata Haru berkilat antusias. Apa dia calon chef masa depan? Ini hanya sandwich, tau? Kau tidak seharusnya bertingkah seperti anak kucing.
"Apa itu yang kau sukai?" sebuah suara mengusik sarapanku. Seseorang muncul dari belakang Haru dengan wajah kusut. Dia adalah Ace, siapa lagi yang punya nada suara menjengkelkan itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku mengerutkan dahi.
"Ini kamarku." ingatnya kembali. Keparat, aku juga tau ini kamarnya. Tcih. Lupakan saja, berada di ruang yang sama dengan Ace membuyarkan segala mood baikku.
"Jadi, apa itu yang kau sukai?"
"Apa?"
"Kau tidak sedang menggoda bodyguard-ku agar membantumu melarikan diri, kan?" Ace masih mengungkit topik tidak penting itu. Apa dia pikir aku tolol?
"Apa ada jalan keluar dari gelang keparat ini?" Aku mengangkat kakiku tinggi, membuat kaki polosku terekspos. Wajah Ace menegang dan dia melirik Haru dengan mata menajam. Suasana hati pria itu benar-benar berantakan. Apa yang terjadi sampai tampangnya sekusut itu.
"Haru, keluar!" Ace memberikan komando. Si bocah manis yang membuat hatiku damai pun berlalu. Ah, sial. Aku kembali terjebak dengan makhluk terkutuk ini. Apalagi maunya?
"Apa yang kau perhatikan?" Aku menatap Ace sekali lagi ketika pandangannya tidak berpaling dariku sama sekali. Seperti dia sedang memikirkan sesuatu, tapi hanya Tuhan yang tau apa isi dari otak berlumpur itu.
"Aku memperhatikanmu," yah, itu jawaban yang sangat jelas. Lalu?
"Kau adalah punyaku, Fawn. Aku harap kau mengingat itu."
Hah? Kenapa tiba-tiba? Apa sih masalahnya?
...----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sehat
2023-07-02
0
Vlink Bataragunadi 👑
acie cieeeee, hihihi Ace lucu amaaat (♥ω♥*)
2023-05-26
0
Yumei Thomas
cembukurrrr 😂
2022-06-25
0