...**WARNING : ...
...[Untuk ke depannya, sudut pandang cerita/POV akan berpindah-pindah dan terbagi bukan hanya untuk Fawn/Ace aja. POV akan berubah tergantung kebutuhan cerita. Sekian**.]...
...NORMAL pov...
.......
.......
.......
Di kediaman utama keluarga Caspian, Indira yang sekarang menyandang nama Caspian di belakang namanya sedang berdiri di depan sebuah bingkai foto keluarga Caspian yang besarnya hampir mengambil alih seluruh dinding. Di dalam potret besar itu, Evan Caspian berdiri dengan seulas senyum tipis yang menunjukkan kepercayaan diri. Di sisi kiri dan kanan Evan, ayah dan ibunya berdiri dengan sangat elegan. Mereka adalah Maximillian Caspian dan Erin Caspian.
Melihat potret keluarga Evan, Indira diam-diam merasa iri. Tidak seperti Max dan Erin yang sangat mencintai putera tunggal mereka, keluarga Indira--keluarga Rashid bisa dibilang cukup keras dengan anak-anaknya. Kehidupan yang bermandikan kasih sayang hanya nampak ketika mereka berada di depan umum, selebih itu, Anggara dan Indira akan kembali menjadi anak yang wajib melakukan apa yang Callum Rashid dan Layla Rashid tekankan.
Untungnya bagi Indira, karena dia adalah si bungsu dan seorang perempuan, ia tidak mendapat tekanan sebesar yang Anggara dapatkan. Ia ditolerir bila tidak cukup baik dan segala kekurangannya akan dimaafkan selama ia bertingkah baik. Anggara di sisi lain, harus menderita dan menerima amukan dari Callum setiap kali dia gagal dan dikalahkan oleh Ace.
Indira pikir, dengan menikahi Evan, setidaknya ia akan mengurangi beban mental Anggara. Tapi, setelah berada di rumah yang sunyi dan dingin ini, Indira merasa kehilangan hangat tubuhnya sendiri.
Ini semua demi kebaikan Anggara, Anggara juga mengatakan pernikahan ini untuk kebaikan Indira sendiri. Tapi, mengapa Indira merasa tidak baik sama sekali?
"Nona Indira," Joseph datang menghampiri Indira yang lagi-lagi merenung di depan potret keluarga Caspian. Ini bukan pertama kalinya dia mendapati nona mudanya itu merenung di sana. Apakah dia sangat mengagumi wajah tampan Evan Caspian, Joseph jadi bertanya-tanya.
"Sekarang sudah jam 11 malam, sebaiknya nona beristirahat."
"Joe, apa kau sudah mendengar kabar tentang Fawn?"
Awalnya Indira berpikir kalau Fawn memang hanya dipindah-tugaskan oleh Anggara. Tapi setelah dia berusaha menghubungi Fawn dan tidak mendapatkan respon sama sekali sampai beberapa minggu telah berlalu, Indira mulai cemas. Dia menelepon rumah Fawn dan tidak ada jawaban. Ia bahkan menanyai Anggara langsung tapi saudaranya itu tetap bungkam.
Ini mulai mencurigakan.
"Aku belum menemukan petunjuk apa pun," jawab Joseph lalu menunduk dalam.
Jujur saja, Joseph juga mencemaskan keberadaan mentornya itu. Apakah Fawn benar-benar dipindah-tugaskan, tapi tidak adanya pemberitahuan dan tidak ada satu pun penjelasan mengenai kepindahannya sangat-sangat janggal.
"Aku ingin kau terus mencari informasi tentang Fawn, Joe. Bagaimanapun, Fawn sudah seperti saudara bagiku, aku ingin tau apa yang terjadi padanya."
"Baik, nona."
"Kalau begitu," Indira hendak berbalik menuju kamarnya ketika dia mendengar suara pintu depan terbuka.
Evan Caspian, didampingi oleh lima bodyguard dan seorang asisten pribadinya, memasuki rumah. Meskipun dia memakai setelan pakaian dengan warna senada dengan para bodyguard-nya, warna hitam, Evan tetap tampil mencolok. Terima kasih kepada fisiknya yang seperti pahatan dewa dan auranya yang sangat dominan, hanya dalam sekali lihat--Evan dan rambut cokelat ikalnya, mata cokelat keemasan dan kulit yang sepucat salju--membuatmu tau siapa pemimpin di antara kerumunan itu.
"Selamat malam," Indira menyapa Evan yang melangkah ke arahnya.
"Malam," jawab Evan tenang. "Kau belum beristirahat?"
"Aku bosan, jadi aku melihat-lihat."
"Huh, kau seharusnya mengatakan kalau kau bosan kepada Mira." Maksud Evan adalah kepala pelayan di rumahnya. "Dia bisa mengantarmu pulang kalau kau mau."
"A-ah, tidak seperti itu." Indira tergagap. "Aku sudah pulang minggu lalu, akan canggung kalau aku sering pulang."
"Kalau begitu temukan hal yang membuatmu tidak bosan." Evan berujar tanpa benar-benar menaruh perhatiannya pada Indira. Ia lebih tertarik membolak-balikkan berkas yang berada di tangannya sekarang. Indira yang menatap perilaku Evan lagi-lagi menelan kepahitan.
Hubungan mereka sudah seperti ini sejak hari pertama mereka menikah. Evan memperlakukannya dengan baik, tentunya. Dia sopan dan selalu ramah kepada Indira, tapi..., tapi hubungan mereka sekaku ini. Tidak ada intimasi dan upaya pendekatan sama sekali. Evan tidak pernah berusaha mendekatinya, tidak pernah menyentuhnya. Hubungan suami istri seharusnya tidak seperti ini!
Mereka seharusnya tidak tidur di kamar yang berbeda dan bersua sekali dalam seminggu, itu pun kalau-kalau mereka beruntung bertemu.
Indira merasa tidak nyaman dalam hubungan ini. Setidaknya, bila ada sesuatu yang salah atau ada alasan dari sikap Evan yang terbilang terlalu apatis, Indira ingin mendapatkan kejelasan. Dia tidak ingin terkurung di istana besar ini, menyandang nama pria yang bahkan tidak perlu repot-repot menatapnya ketika bicara.
"Evan, aku..." Aku ingin bicara.
"Aku akan kembali ke kamarku, Indira. Kalau kau membutuhkan sesuatu, kau bisa menghubungi Mira."
"Eh...," Indira menelan ludah.
"Rish, siapkan laporan menyangkut kasino di xxx ke ruang kerjaku. Aku akan ke sana setelah mandi." Evan beralih kepada Rishan dan memberikan perintah. Asistennya itu pun mengangguk patuh.
"Evan,"
Indira berusaha mencuri kesempatan di tengah kesibukan suaminya tersebut. Tapi, ketika sepasang manik keemasan itu menyorotnya dengan ketajaman dan ketenangan yang membekukan, lidah Indira kelu. Keberaniannya memudar di udara, hilang tergantikan oleh keseganan dan ketakutan. Evan--tidak peduli sudah berapa lama ia bergaul sebagai teman pria itu, masih sosok misterius yang isi hatinya tidak Indira ketahui sama sekali.
"Ada apa?" tanya Evan dengan sedikit ketidaksukaan dalam suaranya.
"Uh--umm, apa kau mau aku menyiapkan teh untukmu?" Indira memaksakan senyum.
"Jangan melakukan yang tidak perlu, Mira bisa melakukannya untukku." Setelah menepis mentah-mentah tawaran Indira, Evan segera melangkah menuju kamarnya yang berada di koridor yang sama dengan kamar Indira.
Pria dengan surai ikal itu memasuki kamarnya sementara dahinya berkedut nyeri. Ia menuju kabinet yang menampilkan bingkai-bingkai foto pertemanannya dengan Indira, Ace dan Anggara saat masih di Akademi. Ia menatap seluruh foto itu dengan seksama sebelum mengayunkan tangannya penuh amarah. Bingkai foto beserta vas bunga yang terpajang di sana tersapu ke lantai, menimbulkan keriuhan di kamarnya yang sunyi.
"Keparat!" Evan mengutuk dirinya sendiri. Segala stress yang berusaha ia tepiskan, muncul kepermukaan hanya dengan sekali menatap Indira. Jantungnya seperti di remas kuat oleh tangan tak kasat mata. Membuat tulangnya merasakan ngilu luar biasa. Segala hal hitam yang tersembunyi di hatinya, hal-hal hitam yang berusaha ia redam--seketika mengotori akal sehatnya. Membuat ia teringat mengapa hidupnya menjadi sekacau sekarang.
"Fvck, fvck, fvck!" Evan kembali memaki. Penat di kepalanya membuat napasnya terasa sesak. Ia seperti dicekik.
Dengan dada yang terasa penuh, ia melangkah menuju balkon dan membuka pintu balkon lebar-lebar. Dingin angin malam seketika menyapa kulitnya, membuat surai ikalnya terayun lembut mengikuti tiupan angin. Sementara dingin udara mulai merayap di kulitnya pula, sesak yang ia rasakan perlahan-lahan mereda.
Evan berdiri di sana untuk beberapa waktu. Menatap kepada kegelapan dengan tangan terkepal erat di pagar besi.
"Semuanya akan baik-baik saja, semuanya akan baik-baik saja." Evan menyugesti dirinya sendiri. Mengingatkan ia untuk kembali fokus pada tujuan utamanya.
"Aku adalah pemimpin utama keluarga Caspian, aku tidak boleh lemah. Ingat ini, Evan!"
Setelah menenangkan diri dan mengumpulkan kewarasannya kembali ke mode semula, Evan merogoh saku dan mengambil ponselnya dari sana. Ia menghubungi sebuah nomor yang tertera di layarnya dengan nama Anggara.
"Halo?" sapaan dari seberang terdengar tak lama kemudian. "Apa kau tau jam berapa sekarang? Kau menggangguku!"
"Berhenti merengek," tukas Evan. Kendati ekspresinya menajam, suaranya yang tenang menutupi semua kegelapan di hatinya. "Aku punya hal penting yang perlu kubicarakan denganmu."
"Hal penting itu, apa?"
"Aku tidak bisa membicarkannya di telepon sekarang."
"Aku perlu ke xxx minggu depan, apa bisa kita tunda perte--"
"Tidak ada tapi-tapian, Angga!" Evan memotong ucapan Anggara dengan penuh penekanan. Anggara seketika bungkam. "Jika kau peduli pada keselamatan adikmu, aku sarankan kau meninggalkan pekerjaanmu."
"Evan, apa yang kau katakan? Aku akan membunuhmu kalau kau sampai-sampai melukai Indira--"
"Aku serius." ucap Evan lagi.
Evan mendongak menatap langit malam. Cahaya bulan menyinari wajahnya, menerangi ia yang berdiri di kegelapan. "Jika kau tidak datang, aku akan menutup mata bila Ace Hunter membasmi kalian semua seperti serangga di bawah ranjangnya."
...----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trusceria
2023-07-02
0
Vlink Bataragunadi 👑
ih ternyata... evan juga ga bener, mending Ace kemana2 atuh lah kl gini mah, Aceah ga munafik
2023-05-26
0
Anonymous
ceritanya rada horror..beda ddg novel lainnya
2022-11-12
1