...Ace POV...
"Apa yang terjadi pada kepalamu?" Margot datang berkunjung ke mansion utama keluarga kami hari ini dan hal pertama yang Margot singgungkan adalah plester yang menempel di keningku.
"Hanya masalah kecil," sahutku.
Hari ini, masih seperti biasa, Margot masih mengenakan pakaian duka. Dari ujung kaki hingga kepala, seluruh atribut yang menempel di tubuhnya berwarna hitam. Ini tidak asing lagi bagiku karena sejak kematian orang tua kami, Margot sudah melepaskan citra ceria dan manisnya. Dia berubah 180 derajat menjadi orang yang suram dan kelam.
Margot mengatakan padaku, sampai dia menemukan pelaku yang sudah membunuh orang tua kami, dia tidak akan kembali ke dirinya semula. Seperti pakaian duka yang ia pakai setiap hari, dia akan terus berduka dan mengingat kematian orang tua kami.
Karena penampilan Margot yang sudah berubah total, orang-orang jadi kurang bergaul dengannya. Dia juga sudah kehilangan kepercayaan pada orang-orang dan membenci seluruh lingkar sosialnya.
Jujur saja, melihat penampilan Margot, aku sebagai saudaranya menjadi sangat tertekan. Mungkin, salah satu alasan mengapa aku begitu terobsesi pada pembunuh orang tuaku adalah ini. Aku ingin Margot kembali ceria. Aku ingin pamanku--Paman Jack yang benci berurusan dengan perusahaan--kembali bebas.
Karena kematian ibu dan ayahku, baik Margot dan paman Jack, dua-duanya telah kehilangan jati diri mereka sendiri. Margot menjadi anak yang suram dan paman Jack menjadi orang yang penuh obsesi.
Aku--aku di antara mereka adalah sosok yang paling berdosa.
"Aku dengar apa yang terjadi dengan Larson. Aku tidak menyangka situasinya akan seburuk ini."
Bicara soal Larson, pria itu adalah penipu bajingan. Alih-alih bertemu untuk rapat penting, dia menjebakku dan berusaha membunuhku. Si keparat itu, aku hampir mati. Lihat saja, aku akan menemukan siapa yang mendalangi si bajingan pengecut itu.
"Semenjak Spades dan Clubs beraliansi, musuh-musuh kita menjadi semakin liar. Kau harus berhati-hati, Marg. Mereka mungkin akan menargetkanmu juga."
"Jangan mencemaskanku," tukas Margot. "Anyway, mengenai orang yang ingin kau selidiki kemarin. Aku sudah membawakan informasi pribadi tentangnya di sini."
Sebuah amplop cokelat diserahkan Margot kepadaku.
"Kau seharusnya tidak perlu repot-repot mengantar ini," kataku. Toh informasi ini sangat tidak urgen sama sekali.
"Aku datang bukan hanya untuk itu saja, tau." Margot menyeringai manja. "Aku juga sekalian ingin melihatnya."
"Huh?"
"Aku dengar semuanya dari Carcel. Kau mengurung seorang rapunzel di kamarmu. Aku ingin melihatnya, please, please, please!"
Mataku menyipit jengah. "Tidak ada yang menarik dari dia."
"Tsk! Kalau dia tidak menarik, mana mungkin kau memerangkapnya di kamarmu. Apa kau pikir aku tolol? Ditambah lagi, kau juga menggali informasi pribadinya. Uuh, stalking behavior. Apa kau jatuh cinta, adikku?" Margot mengalungkan lengannya di leherku, mengguncangku dengan heboh seperti mengguncang batang pohon.
"Tidak ada hal semacam itu. Aku hanya menyimpannya sebagai mainan."
"Kalau begitu biarkan aku melihatnya. Aku ingin tau rambut emas ajaib macam apa yang dia punya sampai kau tidak jadi membunuhnya?"
"Rambut ajaib my ***." Aku lagi-lagi memutar mata.
Daripada rambut ajaib, yang membuatku tidak jadi membunuh Fawn malam itu adalah karena matanya. Mata cokelat gelapnya yang terbakar oleh amarah membuatku bergairah.
Fawn, jujur saja, mempunyai paras yang indah. Aku selalu menyadari keindahannya sejak aku biasa bertemu Indira dulu. Tapi, adapun alasan aku masih bermain-main dengannya, meliriknya, bukan karena dia cantik dan menarik. Aku tidak akan membuang-buang waktuku demi kecantikan dan ketertarikan yang tidak berarti apa-apa selain kesenangan yang semu. Seperti yang kukatakan sebelumnya, mata penuh kebencian itu adalah alasannya.
Aku penasaran, sampai kapan dia akan bertahan dalam loyalitas butanya?
"Lihat, kau merenung tiba-tiba!" Margot menusuk pipiku. "Jangan bilang kau sedang memikirkan si nona Rusa yang terperangkap di dalam kamarmu. Hmmm, hmmm, hmmm..."
"Jangan mengada-ada." tukasku. Daripada menanggapi Margot, aku memilih mengambil berkas Fawn yang masih tersegel rapi di dalam amplop.
Saatnya menggantikan borgol di tangan wanita itu dengan jangkar tak kasat mata yang membuatnya tidak bisa kemana-mana. Sesuatu yang lebih efektif untuk mengendalikan kegilaannya. Sebuah kelemahan yang akan menundukkan kepalanya.
...----...
Pada akhirnya, sore itu Margot kembali pulang ke apartemennya dalam keadaan kecewa. Aku sama sekali tidak membolehkannya bertemu Fawn. Karena larangan kerasku, Margot menjadi sangat marah dan memakiku. Mengataiku posesif dan pelit.
Menyebalkan. Apa dia pikir mansion ini adalah kebun binatang? Dia tidak bisa seenaknya mencampuri urusanku. Terlebih lagi, apa sih yang mau dia lihat dari Fawn? Gadis itu tidak memiliki apa pun yang perlu diperhatikan.
Oke, kesampingan fisik Fawn yang menawan, kepribadian gadis itu sangat tidak menyenangkan. Dia tidak manis sama sekali dan loyalitasnya pada keluarga Rashid membuatku semakin jemu pada ocehannya.
"Tuan, aku sudah membawa pesananmu." Felix menghampiriku yang hendak menuju kamar. Sebuah paperbag dengan kotak di dalamnya membuatku mengingat kembali apa yang kupesan pada asisten rumahku itu. Senyumku mekar tipis saat mengambil benda itu dari tangan Felix.
"Apa kau sudah men-setting semuanya?" tanyaku kembali, menyangkut hal-hal yang juga kupesan padanya tadi pagi.
"Semuanya seperti yang tuan katakan. Aku sudah mengatur orang-orang kita di tempat yang tuan inginkan."
"Bagus. Aku tidak mau ada kesalahan lagi semacam ini," aku menunjuk plester yang menempel di keningku.
Walau luka di dahiku tidak meninggalkan rasa sakit sama sekali, luka tetaplah luka. Luka di tubuhku adalah tanda bahwa para pengawalku tidak melaksanakan tugas melindungiku dengan baik. Mereka akan mendapat hukuman bila sewaktu-waktu kelalaian semacam ini terjadi lagi.
"Maafkan aku, Tuan. Aku sudah memperingatinya."
"Aku tidak mau tau alasanmu, Felix." Aku memutar mata. "Kembali pada pekerjaanmu."
Setelah bertukar kata pada Felix, aku kembali melangkah menuju kamar. Mungkin karena lemparan Fawn tadi pagi, aku jadi agak was-was masuk ke kamarku sendiri. Sangat tolol.
"Aku haus." suara itu menyapaku tepat ketika aku masuk. Aku menoleh dan melihat wajah murung Fawn yang menolak menatapku. Gadis itu duduk meringkuk di atas tempat tidur, mata menerawang entah ke mana.
Mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin yang terletak di dekat lemari kerjaku, aku lalu mendekati Fawn. Ia sedikit berjengit ketika merasakan keberadaanku. Seolah-olah aku adalah monster yang keluar dari bawah tempat tidur dan akan memakan kepalanya.
Sialan, andai saja kau tidak arogan dan memicu amarahku, aku tidak akan membiarkanmu berada di sini!
"Minum ini," perintahku. Tangannya yang bergetar menyambut botol air mineral itu. Mata kami bertemu sekilas dan ia seketika mengernyit jijik.
"Jangan banyak tingkah, atau aku akan memukulmu!"
"Sampai kapan kau akan mengikatku di sini?" Fawn menanggapiku dengan suara yang layu. Air mata kembali berlinang di pipinya.
"Sampai aku bosan padamu, mungkin?" Aku menanggapinya dengan suara yang kubuat-buat jenaka. Wajahnya seketika berpaling padaku, kening mengerut bingung.
"Kau psikopat, Ace."
"Ini bukan pertama kalinya aku mendengar kesan itu darimu, tapi terima kasih."
Semakin jelek dan buruk kesan orang-orang padaku semakin baik. Seorang yang tidak menakutkan tidak bisa menjadi pemimpin. Hanya dengan keburukanku lah aku bisa berada di rantai makanan teratas sekarang.
"Kau tau itu bukan pujian, bukan?"
"Aku tau." kataku lalu kembali teringat pada paperbag yang kubawa sebelumnya. "Omong-omong, bangunlah. Aku punya hadiah untukmu."
Aku duduk di bibir ranjang, membongkar paperbag yang kubawa dan mengeluarkan isinya. Fawn yang duduk meringkuk sambil memeluk lututnya memperhatikanku dalam diam.
"Kakimu," kataku lagi, lalu tanpa menunggu reaksinya, aku menarik kaki kanannya ke pangkuanku.
"LEPASKAN!" Dia kembali berteriak. "Ace keparat! Lepaskan aku!"
Sebuah gelang kukeluarkan dari kotak. Gelang digital dengan lampu merah berkedip di layarnya. Mengabaikan Fawn yang meronta ketakutan, aku memasangkan gelang tersebut di kakinya.
"Perfect," gumamku setelah memasang gelang itu. "Mulai sekarang, ini akan menjadi borgol barumu."
"Hah?" Fawn meraba gelang di kakinya dengan ketidaknyamanan. Ia lalu menatapku dengan kebingungan yang kentara di bola matanya. Seakan menanyakan kegilaan macam apa lagi yang kulakukan padanya.
"Ini gelang sensorik," jelasku lembut. "Setelah aku memakaikan gelang ini padamu, sensornya akan menyala. Setiap detak jantungmu, lebar dan panjang langkahmu akan termonitor dengan ketat."
"Untuk apa?" suara Fawn rendah dan jengah. "Untuk apa semua kegilaan ini?"
"Bukankah sudah kubilang aku akan menyimpanmu sebagai mainanku?" Aku tertawa kecil sebelum kembali menatap wajah Fawn yang berekspresi masam.
"Penjelasanku belum selesai. Anyway, tentang jam ini, kau tidak boleh melepaskannya. Lebih tepatnya, jika kau melepaskan jam ini, alarm peringatan akan berbunyi. Jika detak jantungmu melemah dan lokasimu berada di luar area yang kubatasi, alarm juga akan berbunyi."
"Jika kau tetap ngotot melarikan diri atau berusaha melukai dirimu sendiri, alarm akan berbunyi. Ketika alarm itu berbunyi, tiga orang yang kau kenali akan menerima hukuman atas ulahmu. Bagaimana? Apa kau mengerti?"
"Apa kau sinting? Apa maksudmu tiga orang? Apa mengurungku di sini tidak cukup? Siapa tiga orang itu?" Mata Fawn melebar.
"Aku dengar kau sangat dekat dengan tiga orang ini. Lilian Alder, Vita, dan--oh, Joseph?"
Warna memudar dari wajah Fawn. Ia memucat dalam ketakutan. Saat itu, aku tau aku sudah menang.
"Anggap ini jaminan, Fawn. Aku tidak akan menyakiti mereka selama kau tidak berulah. Sekarang, kau benar-benar paham, kan?"
...--------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus semangat
2023-07-02
0
Anonymous
seeru ceritanya niy...
2022-11-11
1
Nicky
seruuuuu cerita nya
2022-09-05
0