...ACE pov...
.......
.......
.......
Fawn lagi-lagi marah padaku. Matanya berbinar sendu menatap keluar jendela. Seperti burung dengan sayap yang patah, keinginannya untuk bebas terlihat jelas. Tapi aku--, aku tidak akan pernah membiarkannya lepas. Aku mengerti alasan dia marah dan membenciku dan aku tidak akan menyalahkannya. Gadis dengan kebaikan hati dan kenaifan sepertinya akan membenciku setelah apa yang kulakukan.
Aku mengerti tapi bukan berarti aku aku akan melepaskannya. Aku mengerti kesedihan Fawn, kemurkaannya, dan setiap kali dia memakiku, entah mengapa aku tidak merasa terganggu. Aku tau kejujurannya adalah bagian dari kebaikan hatinya. Aku lebih baik dibenci terang-terangan olehnya daripada dicintai dengan kepalsuan.
Mungkin itu alasan aku bersenang-senang di atas penderitaannya. Fawn adalah gadis yang langka. Kejujurannya seperti hiburan bagiku. Aku merasa senang melihat setiap perubahan ekspresinya. Dari antusiasmenya tentang keluarga Rashid, kebosanan yang ia tunjukkan terang-terangan karena terkurung di rumah, sampai kemarahannya setiap kali aku memaksakan diriku padanya. Dia sangat ekspresif dan lugu.
"Permisi, Tuan." Felix masuk ke kamarku dengan membawa senampan makanan. "Aku membawa makanan untuk nona Fawn."
Felix menjadi lebih sopan di depanku. Seingatku, dia tidak pernah menyebut Fawn dengan embel-embel nona. Apakah dia merasa bersalah sudah menciptakan keributan di rumah?
"Letakkan di sofa," kataku.
Felix mengangguk. Ia melenggang tegang menuju sofa yang terletak di dekat jendela balkon yang terbuka. Fawn merasakan kedatangannya dan melempar delikan masam.
"Nona Fawn, makanan..."
"Aku tidak mau makan."
Aku yang duduk di meja kerja memutuskan melibatkan diri di obrolan mereka sebelum Fawn meledak dan melempar nampan makanan itu ke muka Felix. Aku tidak mau pria tua itu mendapat tekanan batin.
"Fawn, jangan cerewet." Aku berdiri di dekat sofa, mataku menyorot ke arah Fawn yang masih duduk sambil mendekap lututnya. Seperti tikus yang disudutkan.
"Makanlah!" kataku lagi.
"Tidak mau, aku tidak mempercayai dia."
Felix melebarkan mata saat lagi-lagi Fawn mencari masalah padanya.
"Apa maksudmu? Pelayanku tidak mungkin meracunimu. Tidak ada yang perlu kau takuti."
Kenapa makan membutuhkan kepercayaan? Apa dia merasa seperti orang penting atau dia hanya melampiaskan amarahnya padaku ke Felix? Sepertinya pilihan nomor dua adalah jawabannya.
"Dia mungkin tidak meracuni itu, tapi siapa yang tau kalau dia tidak meludah di makananku."
"Hah, itu keterlaluan!" Felix tersinggung.
"Siapa yang tau? Rumah ini dipenuhi psikopat. Aku lebih baik mati kelaparan."
Gadis ini benar-benar tau cara membuat orang marah. Setiap ucapannya yang kasar, tajam nada suaranya dan kebencian di matanya, siapa pun yang menerima semua perlakuan kasarnya tidak mungkin tidak naik darah. Tidak--terkecuali aku. Aku sudah biasa melihat polah Fawn, meskipun dia baru semingguan di sini. Setiap ledakan amarahnya dan caciannya sudah seperti nyanyian di telinga.
Aku hanya akan terpengaruh oleh ucapannya bila dia memukulku. Sebagai pemimpin keluarga Hunter, aku tidak akan membiarkan seorang tidak berarti sepertinya menyakitiku.
"Kau ingat perjanjian kita, Fawn?" Aku melewati Felix dan duduk di sofa. Keberadaanku sepertinya membuat Fawn waspada. Pundaknya bergidik ngeri ketika aku melabuhkan bokongku di sofa. Dia pasti takut aku menyerangnya. Ketakutan yang menggemaskan.
"Kalau kau mati di sini atau ketika denyut nadimu menurun, tiga orang yang--"
Aku menghentikan ucapanku ketika Fawn menarik nampan di meja dan mulai makan. Air mata kembali membendung di matanya, siap tumpah dalam satu kedipan.
"Felix, kau bisa pergi." Aku tidak mau emosi Fawn semakin memburuk dengan keberadaan Felix jadi aku mengusir pelayanku itu pergi. Setelah kepergian Felix, aku langsung mendekati Fawn dan memaksakan agar tangannya yang bergetar melepaskan sendok yang ia pegang.
"Apa kau membenciku?" Aku bertanya main-main. Jawabannya sudah jelas.
"Maafkan aku, kalau aku tidak mengancammu, kau tidak akan makan." Aku menggenggam tangannya. Memberikan ia ketenangan ketika air mata yang tumpah di pipinya semakin deras.
"Kau hanya perlu berlaku baik, Fawn. Kau tidak perlu bertengkar dengan Felix, makan ketika disuruh makan, bersenang-senang denganku. Itu saja. Kalau kau menurutiku, kau tidak perlu terluka seperti sekarang."
Aku pikir aku sudah berbicara sebaik mungkin, tapi Fawn memaksakan tangannya lepas dari genggamanku. Dia menarik diri dan menatapku geli. Ada luka di matanya dan cemoohan yang terpendam.
"Maafkan aku juga, Ace. Tapi aku manusia. Aku tidak ada niatan terkurung di sini tanpa perlawanan. Bahkan bila kau mengurungku seribu tahun, aku tidak akan pernah menjadi apa pun yang kau inginkan. Aku. Akan. Selalu. Dan. Selamanya. Membencimu!"
Ucapan Fawn penuh penekanan di setiap suku katanya. Dia berusaha menanamkan kata-kata itu di benakku seperti tato. Aku sedikit kecewa akan tanggapannya, tapi aku tidak terkejut juga. Dia adalah gadis yang jujur, ingat? Setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah murni dari hatinya. Meskipun itu kebencian yang kudapatkan, aku senang itu adalah kebenaran.
"Terima kasih." Aku mengusap rambutnya lembut. Tindakanku sepertinya lagi-lagi membuat dia terkejut, sama seperti ketika aku mengusap pipinya, Fawn seketika menarik dirinya di luar jangkauan tanganku.
"Apa sebenarnya yang salah dari otakmu? Apa kau tidak mendengar apa yang kukatakan?" Fawn keheranan. Sepasang pupil cokelatnya melebar. Menilai dari reaksi Fawn saat itu juga, kurasa membuat dia melepaskan uneg-unegnya cukup membantu. Kesedihan yang menumpuk di matanya tersapu oleh kebingungan dan keambiguan.
Dia jadi menggemaskan dengan mata sembab dan hidung merah.
Aku lagi-lagi merasa ingin menciumnya. Tapi tindakan itu akan mengejutkan tidak hanya dia tapi aku juga. Aku tidak pernah mencium wanita sepanjang hidupku, bahkan selama aku bergonta-ganti hubungan dengan orang lain, jadi keinginan ini terasa sangat asing.
"Makanlah," kataku lagi. Menepiskan keinginan absurdku untuk ingin memakan Fawn, aku memaksakannya untuk kembali makan. "Aku tidak suka memelihara tulang-belulang."
Fawn mendelik ke arahku dengan kebencian sebelum melakukan apa yang kuperintahkan. Pundaknya yang merosot lesu di balik sweater abu-abuku terlihat lucu. Dia terlihat sangat pas di dalam rangkulanku.
Oh, bicara soal pakaian Fawn, aku baru menyadari kalau aku belum menyediakan apa-apa untuk dia pakai. Dia adalah mainanku sekarang, memikirkan kalau karyawanku keluar masuk di rumah ini dan melihatnya berkeliaran hanya dengan ****** ***** dan baju kaos kebesaran membuatku sedikit kesal. Fawn adalah milikku, dan walaupun aku suka melihatnya dalam pakaianku, aku tidak mau dia menjadi konsumsi mata-mata lapar di luar sana.
"Ace," Suara Fawn menyadarkanku dari lamunan. Dia melirikku dengan heran. "Aku punya pertanyaan untukmu?"
Dia menatapku ragu-ragu. Sendok garpu yang menyentuh bibirnya membuatku menjadi dahaga. Apa dia menggodaku atau membenciku? Aku menjadi frustasi hanya dengan memikirkan rasa bibir itu di bibirku.
"Tanyakan saja." Aku berusaha tampil tenang.
"Kau..."
"Ya?"
Fawn menggelengkan kepalanya, seolah-olah ada perdebatan batin di otak kanan dan otak kirinya. Aku penasaran, apa sebenarnya yang dia pikirkan.
"Aku ingin tau..."
"Tau???"
Drrrrrtttttt..., drrrrrrrttttt.....!
Ponselku bergetar di saku. Aku mengecek layar dan melihat panggilan yang datang dari paman Jack. Aku hendak menjawabnya, tapi melihat Fawn belum melanjutkan pertanyaannya, aku menggantungkan panggilan pamanku sebentar.
"Apa yang mau kau tanyakan?" Aku menatap matanya.
"Ti-tidak jadi. Lupakan saja." Fawn menggaruk pelipisnya dan menghindari tatapanku. Dia mulai memaki dirinya sendiri dengan suara rendah yang masih bisa sampai ke telingaku.
Sungguh, apa sebenarnya yang terjadi pada gadis ini. Seharusnya ada batasan untuk menjadi imut, kan?
Drrrrttt! Drrrrtttt!
Ponselku berdering lagi. Tanpa perlu menunda seperti sebelumnya, aku langsung menjawab telepon paman Jack.
"Halo, paman?"
"Demi Tuhan, Ace. Apa yang kau lakukan sampai tidak mengangkat teleponmu!" Pamanku bicara seperti berteriak. Mendengar suaranya, aku bisa membayangkan urat lehernya mencuat di mana-mana. Apa lagi masalah orang tua ini?
"Maafkan aku, paman. Aku bekerja." Aku menjawab dengan penyesalan.
"Lupakan permintaan maafmu, segera pergi ke apartemen Margot sekarang!"
Mendengar nama Margot disebutkan dalam kepanikan paman, aku seketika mengejang. "Apa yang terjadi?"
"Margot diserang, Ace."
"..."
Air es seperti tumpah di kepalaku. Tubuhku bergetar dalam amarah dan ketakutan yang meruah.
"Margot? Apa Margot baik-baik saja?"
...----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus ceria
2023-07-02
0
Vlink Bataragunadi 👑
acie cieeee , Awas aja kl kau sampai jatuh cinta Ace ≧∇≦
2023-05-26
0