...ACE pov...
Jemaine Emery melambaikan tangan kepadaku yang baru tiba di aula besar itu. Sebuah pesta sedang berlangsung di ballroom hotel itu. Sebuah perayaan hari jadi hotel King Hearts yang ke-30. Jemaine Emery adalah pewaris utama hotel ini dan merupakan teman dekatku di akademi dulu. Jem--nama panggilan Jemaine--menghampiriku dengan senyum cerah.
Selain pewaris utama hotel King Hearts. Dia juga seorang pemimpin perusahaan terbesar di timur. Hearts adalah simbol perusahaan mereka. Selayaknya simbol itu pula, Jem bisa dibilang sebagai pemimpin terbaik di antara empat keluarga besar yang bersaing. Aku memang pemimpin paling tinggi di antara semua keluarga, tapi dalam metode kepemimpinan, kebaikan hati Jem membuat orang-orang patuh dan segannya dengan suka-rela.
Tidak seperti aku yang memanipulasi orang dengan kekuatan, Jem menggunakan cinta dan kasih sayang untuk menjaga koneksinya tetap aman. Dia orang yang paling bisa kupercaya, jujur saja.
"Kau telat," kata Jem. Dia merangkulku dan menggelayut manja seperti panda. Sikapnya yang seperti ini kadang membuatku lupa kalau dia tua dua tahun dariku.
"Aku hanya telat sepuluh menit."
"Telat ya telat. Oh, ya..., di mana Margot?" Jem melirik kiri kananku dan hanya melihat Carcel berdiri dua langkah di belakang.
"Margot tidak ikut."
"Sayang sekali, padahal eyang ingin bertemu dengannya." Nenek Jem sangat dekat dengan Margot. Wanita itu bisa dibilang sudah seperti nenek Margot sendiri. Anehnya, nenek Jem tidak sedekat itu padaku dan memperlakukanku seperti rekan kerja saja.
"Sialan!" Jem tiba-tiba mengumpat. Matanya melebar horor ke arah pintu masuk aula.
"Kenapa?" tanyaku dan mengikuti arah pandang Jem. Seorang wanita dalam balutan dress merah menyala memasuki ruangan. Wanita itu kalau tidak salah adalah sepupu keluarga Rashid, Eleanor Finnigan. Ibunya menikah dengan seorang pegawai biasa dan membuat ia kehilangan nama besarnya.
Rumor beredar, semenjak ibu Eleanor bercerai dengan ayahnya, Eleanor kembali ke keluarga utamanya--keluarga Rashid. Eleanor sekarang kerap menjadi perbincangan di antara orang-orang lantaran kecintaannya pada Jem yang terang-terangan.
Aku tidak tau apakah itu murni cinta atau karena posisi Jem sekarang saja.
"Kekasihmu datang, tuh." Aku mengejek Jem dan mendorong ia menuju pintu.
"Kau keparat," Jem menatapku dengan kekesalan berlipat ganda. Doronganku membuat dia terekspos jelas di muka Eleanor. Mata gadis itu seketika menyala cerah. Dia kehilangan keanggunannya dan berlari menghampiri Jem.
Aku tidak mau terlibat apa pun memilih minggat meninggalkan Jem sendirian di sana. Aku memasuki ruangan yang ramai oleh pebisnis yang wajah-wajahnya cukup familiar. Mereka menyapaku dengan sedikit ketakutan di mata mereka. Kehangatan aula menjadi dingin seiring langkahku yang terbuka.
Atmosfir dingin itu cukup menghiburku. Aku suka ketika ketakutan memenuhi ruangan. Aku suka ketika keberadaanku menakuti orang-orang. Dengan begitu, orang yang sudah berani melenyapkan orang tuaku akan tau dan merasakan ketakutan yang sama. Mereka akan sadar untuk tidak mencari masalah pada keluarga Hunter.
"Ace..." Seseorang di antara kerumunan itu mendekatiku. Indira Rashid atau bisa kukatakan sebagai Indira Caspian?
Dalam balutan gaun hitam yang mendekap erat tubuh rampingnya, Indira menyapaku dengan wajah ceria. Dia adalah sedikit orang yang kutoleransi kenaifannya. Kendati dia berasal dari keluarga Rashid, Indira murni gadis baik. Dia satu-satunya orang dari keluarga besar Rashid yang mau berteman denganku. Kebaikan hatinya yang mirip-mirip Jem itulah membuatku mampu memanfaatkannya. Aku menjadi sedikit paham bagaimana kondisi di Spades berkat Indira.
Sebuah pion yang berharga.
"Hai, Indira." Aku menyapanya dengan suara normal yang biasa kutunjukkan padanya. "Sendirian?"
Tumben-tumbennya si pengantin baru berjalan sendirian di tengah aula tanpa pendampingnya.
"Evan sedang berbicara bisnis dengan Angga, jadi aku meninggalkan mereka. Bosan."
Mendengar kata bosan, aku jadi teringat seseorang..., apa yang dia lakukan sekarang demi membunuh kebosanannya? Aku penasaran.
"Tidak mengherankan, mereka adalah orang yang sangat serius." Aku menanggapi Indira sambil tersenyum. "Mau mengobrol di tempat yang agak senggang?"
"Ayo, aku juga malu menjadi bahan perhatian." Indira cekikikan. "Sepertinya berada di dekatmu sangat menguras energi ya."
"Itu adalah berkah dan kutukan orang tampan." Aku membuat lelucon.
Seperti yang Indira dan aku sepakati, kami melenggang santai menuju jendela balkon yang terbuka. Angin malam bertiup lembut menyapa kami yang berdiri berseberangan. Aku menatap Indira sebelum beralih kepada seorang pria dalam balutan jas hitam di belakangnya. Biasanya, posisi itu diisi oleh Fawn.
"Maaf aku tidak sempat menghadiri upacara pernikahanmu hari itu." Aku mengungkit topik itu demi kesopanan. Bagaimanapun, Indira sudah mengundangku.
"Aku kecewa tau. Kupikir kau akan membenciku."
Aku terkekeh. "Mana mungkin aku membencimu karena masalah sepele."
"Jadi, apa yang kau lakukan sampai tidak bisa datang ke acara pernikahanku? Apa ada urusan yang lebih penting?"
"Yah, kau tau..." Aku melirik gelas wine yang berada di tanganku dan lagi-lagi menyeringai. Andai saja Indira tau apa yang kulakukan hari itu. "Seorang perempuan menghentikan langkahku."
"Pe-perempuan?" Indira terbelalak. "Jangan bilang..., pacar?"
"Tidak mungkin." sangkalku seraya tertawa. "Kau bisa mengatakannya sebagai..., hewan peliharaan?"
"Ei, sudah berapa kali kubilang, tidak baik memperlakukan manusia seperti mereka binatang? Kau tidak akan mendapat jodoh kalau kau terus seperti ini."
"Aku tidak akan menikah," keluhku sambil menatap kepada keramaian pesta. Jujur saja, ada banyak wanita yang menarik dan jelita. Tapi, melihat mereka tidak membuatku merasakan apa-apa selain kebosanan. Aku tidak tau apa itu cinta, tapi mungkin aku tidak akan pernah merasakannya.
"Omong kosong. Suatu hari nanti kau akan menemukan orang yang mampu mengubah hati batumu itu."
"Ooh? Aku penasaran siapa orang itu."
"Tunggu dan lihat saja."
"Bagaimana kabarmu setelah menikah, Indira?" Aku mengubah topik itu ke arah Indira. Aku tidak terlalu suka menjadikan diriku objek pembicaraan. Jadi, daripada memikirkan siapa dan kapan aku akan menikah, aku lebih memilih meninggalkan topik itu sampai di sana.
"Aku baik." Indira sedikit dilema dalam suaranya.
"Sungguhan baik?"
"Apa maksudmu? Tentu saja sungguhan."
Aku menenggak wineku sampai habis. "Kalau terlihat lebih baik saat aku membelikanmu donat di Henry's."
"Yaaaah, masalahnya..." Indira menggigit bibir gelisah. "Aku tidak terbiasa dengan atmosfir setelah menikah. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, semuanya begitu baru..."
"Apa kau bingung masalah ****?"
"Idiot!" Indira menendang ujung sepatuku. "Bukan itu maksudku."
Aku tertawa melihat reaksinya. Wajah Indira memerah sampai ke telinga. Mungkin tebakanku tepat sasaran.
Apa jangan-jangan dia belum melakukan hubungan badan dengan Evan? Yah, itu tidak akan mengejutkan mengingat ia dan Evan sebelumnya hanya sahabat dekat yang dijodohkan. Akan aneh tiba-tiba melakukan **** hanya karena sekarang status mereka berubah.
Aku paham situasi Indira tapi aku tidak akan pernah menemukan diriku terjebak dalam situasi yang sama. Aku bisa melakukan **** dengan siapa saja yang kumau selama aku sedang berselera. Fawn adalah contohnya. Tunggu, kenapa gadis itu muncul di kepalaku terus menerus? Jangan bilang dia sedang mengutukku di rumah?
"Kehidupanmu sepertinya banyak berubah, bukan?" Aku menepiskan pemikiranku tentang Fawn dan menatap Indira. "Apa kau masih tinggal di rumah utama atau pindah bersama keluarga Evan?"
"Aku pindah minggu lalu."
"Kau juga mengganti pengawalmu," kataku lagi. Mengungkit pria yang sekarang berdiri di belakang Indira.
"Oh, Joseph menggantikan Fawn."
"Fawn yaa, oh, kemana dia? Tumben-tumbennya kau tidak bersama dia." Aku pura-pura heran.
"Anggara mengalih-tugaskan Fawn di divisi lain." Indira agak kecewa saat mengatakan itu. "Mungkin karena Fawn sangat berbakat, jadi Angga merasa potensi Fawn tersia-siakan bila terus bersamaku."
"Oh, apa dia seberbakat itu? Dia terlihat seperti pengawal biasa."
"Fawn sangat berbakat dalam bela diri. Dia juga hebat dalam banyak hal. Kau tau dia sering memasak untukku, dia memiliki suara bagus, pokoknya, dia itu tidak bisa diam dan selalu melakukan sesuatu."
"Oh, aku tidak tau itu." sahutku sebelum melanjutkan bicara dengan diriku sendiri. "Aku tidak ingat membaca itu dalam resume-nya."
"Apa?"
"Bukan apa-apa," sahutku.
Dalam laporan Margot, Fawn adalah gadis yang berbakat dalam bela diri, memiliki prestasi akademik yang biasa-biasa saja, terkenal berkepribadian baik dan masuk dalam daftar pengawal yang disegani di keluarga utama Rashid. Evaluasinya tidak kurang dan tidak lebih berbeda dari Carcel. Perbedaannya hanya dia wanita dengan loyalitas yang memuakkan.
"Memikirkan Fawn, aku jadi merindukannya. Aku harap dia menjalani hari yang baik di pekerjaan barunya. Aku harap dia aman." Indira melempar pandangannya ke luar jendela. Ke arah langit malam yang bertabur bintang.
Aku tidak tau tentang hari yang baik, tapi Fawn akan aman. Dia akan aman bersamaku.
"Ace..." Dua keparat yang tidak kusukai akhirnya mendekat. Evan dan Anggara, kedua pemimpin perusahaan terbesar di selatan ini sudah berjabat tangan untuk menjatuhkanku. Sulit untuk melihat mereka dan memperlakukan mereka selayaknya rekan ketika aku tau kebusukan di balik topeng ramah itu.
Aku menegapkan posturku dan menjabat tangan keduanya.
Kami berbicara singkat dengan topik dangkal yang tidak berarti, sampai akhirnya aku memutuskan pergi. Anggara menghentikanku dan penasaran apakah aku akan pulang. Aku menoleh ke arahnya dan menyunggingkan senyuman.
"Aku punya urusan penting yang tidak bisa kutinggalkan," sahutku.
"Tapi kau baru di sini satu jam-an."
"Kemunculanku sudah cukup, Jem pasti mengerti."
"Apa urusan penting yang tidak bisa kau tinggalkan memangnya?" Evan dengan nada jenaka merangkulku layak sahabat lamanya. Jika ini bukan malam istimewa keluarga Emery, aku mungkin akan mematahkan jari Evan di sini.
"Aku meninggalkan hewan peliharaanku di rumah." Aku melirik Anggara sekilas. "Aku perlu menemuinya sebelum dia mati bosan."
"Ow, aku tidak tau kau punya hewan peliharaan." Jem menyahut dari belakang.
Aku beralih ke arah Jem dan menyadari kalau Eleanor masih bergelayut manja di lengannya.
"Mengejutkan, bukan?" Aku menanggapi Jem dan menyeringai bosan.
Siapa yang menyangka menemui Fawn lebih menghiburku daripada bertemu segerombol bajingan ini?
...----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus ceria
2023-07-02
0
Vlink Bataragunadi 👑
ehem... ga sadar sudah jatug cinta ya ^o^
2023-05-26
0