...Fawn POV...
.......
.......
.......
.......
Di lantai balkon yang terbuka, bermandikan cahaya pagi yang hangatnya memberikanku energi, aku berdiri dengan bibir terkatup keki. Kebebasan sudah di depan mataku. Hanya melompati balkon ini dan berlari kencang menuju gerbang yang berada sekitar 300 meter di depan sana, aku akan menemukan kebebasanku.
Tapi...
"Aku harap kau tidak membuat keputusan yang gegabah, Fawn." Felix menasihatiku.
Si kepala pelayan itu, kendati aku sudah bebas berkeliaran, masih mengekori setiap pergerakanku. Dua pengawal Ace yang salah satunya kuingat bernama Carcel berdiri di halaman depan balkon, mata menatap kami terang-terangan.
"Keparat, aku tidak akan melompat!" Aku meneriaki Carcel dengan emosi yang meluap-luap. Para bodyguard yang berdiri di setiap sudut rumah seketika menoleh ke arahku. Aku mendecak kesal dan kembali ke dalam kamar Ace.
"Bagaimana jika gelang ini rusak? Apa kalian akan menembak keluargaku?" Aku bertanya tepat ketika Ace keluar dari kamar mandi. Aroma sabun menguar tajam dari tubuhnya, aku mundur beberapa langkah setelah merasa begitu dekat dengannya.
"Gelang itu tidak akan rusak." jawabnya sambil melangkah menuju lemari.
"Bagaimana kalau rusak?"
Aku sangat cemas. Tiga orang yang sangat penting bagiku, Ibu yang sangat kucintai, Vita--teman yang sudah kuanggap saudara dan Joseph. Joseph adalah temanku sesama pengawal di rumah keluarga Rashid. Dia adalah pria baik hati. Kami mungkin tidak dekat layaknya keluarga, tapi bila dia mati karenaku, aku tidak akan bisa hidup dengan rasa bersalah yang menumpuk.
"Kalau rusak, itu hanya berarti kau merusaknya. Alarm akan berbunyi dan bang!" Ace membuat lelucon di akhir ucapannya membuatku ingin melubangi kepala pria itu dengan peluru.
"Kau psikopat gila, kau tidak boleh bermain-main dengan nyawa orang lain, sialan. Mereka punya orang yang menyayangi mereka! Hanya karena kau tidak dicintai, bukan berarti semua orang berada di posisi yang sama denganmu!"
Aku kembali terbenam dalam rasa iritasi. Aku ingin memukulnya, membantingnya ke lantai dan membunuhnya. Aku pasti bisa melakukan semua itu, terlebih sekarang. Ketika dia tidak punya seorang pengawal di dekatnya selain Felix yang tua.
Aku pasti bisa membunuh Ace sekarang andai saja...,
Andai saja nyawa keluargaku tidak berada di tangannya.
Ah, biadab!
"Cinta itu kelemahan, Fawn. Lihat kemana cinta itu membawamu." Ace mengeluarkan jas biru navy dari lemari dan melemparnya ke arahku. Seolah aku adalah gantungan baju. Dia memakai kemeja putih sebelum mengambil jasnya dari kepalaku.
"Aku mohon..." aku menelan emosiku dan menatap si biadab itu dengan kesabaran yang sudah di ubun-ubun.
"Berikan keluargaku waktu..., setidaknya, pastikan apakah aku memang melarikan diri atau gelangnya hanya rusak. Tolong..."
Aku sudah seperti pengemis di sini. Kalau Ace memintaku menjilat tumitnya, mungkin aku akan menerima permintaannya. Nyawa ibuku sangat berarti dari nyawaku. Aku tidak akan memberikan peluang untuk Ace menyakiti ibuku.
"Lima menit," sahut Ace.
"Aku hanya akan memberikanmu waktu lima menit. Jika setelah lima menit itu kau menghilang tanpa jejak, semua orang akan menemukan kematian. Tapi, jika sebelum lima menit itu kau kembali padaku atau gelangmu hanya rusak. Aku akan menarik kembali perintahku."
Aaaaaah, akhirnya.
Napasku berembus lega. Walau hanya lima menit, itu cukup.
"Sekarang," dia berbalik menatapku. "Jadilah anak baik di rumah dan jangan menyusahkan siapa pun, paham?"
Aku tidak menanggapinya sama sekali. Tidak peduli bahkan ketika dia menepuk kepalaku seperti menepuk hewan peliharaannya. Oh, mungkin aku memang seperti itu di matanya? Sebuah hewan sirkus yang menyenangkan matanya. Tcih!
Lihat saja, aku akan mencari cara agar kau segera bosan dan membunuhku!
...----...
Tidak banyak hal yang mampu kulakukan kendati sudah tidak diborgol di kaki ranjang. Aku masih tidak boleh keluar dari kamar Ace. Masih terkurung seperti burung di dalam sangkar. Aku berusaha mengisi kejemuanku dengan berkeliling di dalam kamar yang luas itu. Mencari-cari sesuatu yang mampu menghiburku seperti buku atau internet, mungkin.
Sayangnya, ketika aku menyalakan komputer Ace, komputernya tidak terhubung ke internet. Buku-buku di dalam lemari kerja Ace juga adalah sederet buku tentang bisnis dan politik. Sekumpulan buku-buku yang belum dibaca saja sudah membuatku mengantuk luar biasa.
Aku tidak menemukan apa-apa yang mampu menghiburku. Aku kembali ke tempat tidur, berbaring sambil memikirkan situasi yang sedang terjadi di keluarga Rashid.
Aku penasaran tentang nona Indira. Apa yang akan dia lakukan setelah menikah? Apakah dia akan tinggal di kediaman Rashid atau mengikuti tuan Evan pindah ke kediaman utama keluarga Caspian?
Apa nona Indira bertanya-tanya tentang keberadaanku? Aku penasaran.
Karena nona Indira adalah gadis baik hati dan sangat menyayangi kami para asistennya, tuan Anggara memutuskan melaksanakan misi pengalihan itu tanpa sepengetahuan nona Indira. Tuan Anggara tidak mau nona Indira merasa bersalah dan tidak fokus kepada pernikahannya. Aku yang sudah mendampingi nona Indira selama tiga tahun belakangan mengerti kecemasan tuan Anggara.
Aku tau kalau nona Indira pasti tidak akan rela kehilangan orang-orangnya. Dia adalah gadis yang baik. Aku senang dia menikah dengan tuan Evan. Setidaknya--Ace si keparat itu tidak memiliki peluang lagi untuk mendekatinya.
Cklek!
Pintu kamar terbuka. Ace masuk bersama Felix yang membawa senampan makanan.
Aku bangun dan duduk bersila di atas ranjang, mata memandang ke arah dua bajingan itu dengan helaan napas jemu.
"Apa kau menyentuh barang-barangku?" Ace bertanya. Dia menatapku dengan alis terangkat sebelah.
Sheeessh.
Andai saja aku tidak tau dia psikopat, aku mungkin akan melihatnya sebagai laki-laki tampan sekarang. Terlebih ketika dia berpose dengan ekspresi penasaran yang uhukkk--agak menawan. Sayangnya tidak! Tidak ada andai saja, Fawn. Cowok itu adalah psikopat! Dia tidak tampan sama sekali. Dia menjijikkan, monster!
"Aku bosan." sahutku terang-terangan.
"Aku membawakanmu makanan," Felix menyerahkan senampan makanan di atas nakas. Aku melirik makanan itu dengan kejemuan. Ini sebenarnya salah untuk membuang makanan, tapi aku sangat kesal jadi aku membalik nampan itu ke lantai.
Klankkk!
Bunyi nampan besi, mangkuk dan sendok yang menyapa lantai memenuhi ruangan. Felix terkesiap dan Ace berhenti melakukan apa pun itu yang sedang ia lakukan di mejanya. Aku menyilangkan kaki dan bersandar di kepala ranjang.
"Aku bosan," keluhku sekali lagi.
Ace melempar tatapan dingin ke arah Felix. "Bersihkan itu. Jika dia memang tidak mau makan, jangan berikan dia makanan."
"Aku di sini," selaku. "Aku bosan."
Aku sudah memikirkan ini. Jika aku tidak bisa menyentuh atau melukai Ace secara fisik, maka aku akan mengganggu mental pria itu ke tahap ia jemu padaku. Aku akan membuatnya merasa sangat muak dan ingin membunuhku. Itu solusi terbaik saat ini karena tidak ada hal yang lebih membuatmu iritasi selain sosok yang cerewet.
"Aku punya banyak kerjaan sekarang, aku tidak punya waktu untuk bermain denganmu," sahutan Ace membuatku mengerutkan kening. Aku juga tidak mau bermain denganmu keparat!
"Aku mau menonton TV."
Satu hal yang mengiritasiku, bagaimana bisa pengusaha terkaya di utara, mafia yang menjalankan bisnis ilegal di pasar gelap--bisa-bisanya tidak punya televisi di kamarnya sendiri??? Motel murah saja memiliki satu buah televisi!
Permintaanku membuat Ace sedikit keheranan. Aku tidak tau apa yang salah tapi dia mengerutkan alisnya dan menatap Felix dengan kejanggalan yang tak terdefinisikan.
"Apa kita punya televisi di rumah ini?" Ace menyuarakan kebingungannya dan rahangku spontan jatuh ternganga.
"Apa?" aku yang menyahut. "Kalian tidak punya TV di rumah ini?"
"Kita mempunyai televisi di ruang tamu, tuan." Felix menyahut sambil mengulum bibir. Sepertinya si keparat tua itu menahan senyumnya. Ya, lihat itu. Bosmu yang primitif pasti sangat lucu bagimu, kan?
"Kau tidak boleh keluar," Ace kembali menatapku, rautnya datar. "Lakukan apa yang bisa kau lakukan di kamar ini."
"Masalahnya tidak ada yang bisa kulakukan di kamar ini, sialan!" Aku nyaris berteriak saking kesalnya. "Kau bahkan tidak punya satu game pun di komputermu!"
Setidaknya, setiap komputer pasti mempunyai game bawaan, kan? Entah itu Zuma, mahjong atau catur. Tapi komputer Ace kosong melompong. Hanya ada ratusan file pekerjaan yang terenkripsi. Pria itu bahkan tidak mengoleksi video p*rno sama sekali.
"Kalau begitu bersantai saja." Dia menjawabku seolah kebosananku bukan salahnya, bukan urusannya. Laki-laki bajingan! Argh, aku mau membunuhnya!
Aku mengambil bantal dan seketika melemparnya. Tapi--terima kasih kepada ruang ini yang seluas lapangan bola, bantal itu tidak mencapainya sama sekali.
"Aku membencimu!" Teriakku, kali ini sangat nyaring sampai Felix melebarkan matanya penuh kekesalan tertahan.
"Fawn!" tegur Felix.
"Biarkan dia seperti itu," Ace menyeringai, menyela Felix yang hendak memarahiku. Dia menatapku dengan seulas cengiran iblis yang membuatku semakin keki. "Kamar ini menjadi lebih hidup berkatnya."
"Maafkan aku, tuan." Felix meminta maaf seolah-olah dia bertanggung jawab dalam melatihku saja. Tidak, apa jangan-jangan dia ditempatkan di sini untuk melatihku seperti monyet sirkus?
Ace tidak menanggapi Felix. Dia hanya melenggang menuju bantal yang kulemparkan dan memungut bantal itu. Dia menepuk-tepuk sarung bantal itu sebelum melemparnya ke arahku.
"Aku akan membelikanmu mainan nanti." kata Ace, cengiran kembali mekar di parasnya. Ia mendekat dan memberikan cubitan di pipiku.
Sialan, kalau bukan karena peringatan keras yang Ace buat tentang tidak boleh menyakitinya, aku mungkin akan membanting Ace ke lantai ketika dia menyentuhku.
"Jangan tidur sebelum aku pulang." perintahnya.
Aku membuang muka.
Apa lagi maunya? Keparat, aku pastikan akan tidur lebih awal hari ini.
...---...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
Vlink Bataragunadi 👑
hihihi lucu, lama2 kau akan terbiasa Ace
2023-05-26
0