...FAWN pov...
.......
.......
.......
Aku terbangun ketika mencium aroma sedap dari sepiring dumpling panas yang dibawa Felix masuk ke kamar. Dengan mata yang masih merah, rambut acak-acakan dan kesadaran yang belum terkumpul penuh, aku duduk dan menarik napas dalam-dalam. Sedap aroma dumpling itu membuat senyumanku mekar teramat lebar. Seperti menemukan kebebasan, makanan nikmat hanyalah satu-satunya hal yang membuatku mampu bertahan dalam sangkar ini.
"Kalau kau sudah bangun, cuci mukamu terlebih dulu dan makan. Kau terlihat seperti mie dingin." Felix menghinaku dengan wajah jijik.
Apa maksudnya wajahku membengkak seperti mie yang tidak di makan? Si keparat tua bangka itu, kalau saja makanan yang dia bawa bukan makanan kesukaanku, aku mungkin akan menamparnya dengan piring kaca itu.
"Kau harus berhati-hati dengan ucapanmu, Felix!" Aku menyibak rambutku ke belakang dan seketika--aku tersadar pada kejadian yang menimpaku sebelumnya. Aku--aku, Fawnia Alder tidur nyenyak dalam dekapan Ace Hunter?
Huh? Apa aku sinting? Apa otakku konslet?
Aku seketika menoleh ke sisi tempat tidur yang sekarang kosong. Ace sudah tidak ada di sana, tapi jejak keberadaannya seperti bantal yang terpakai mengingatkanku kalau situasi yang terjadi tadi siang memang nyata. Bahwa, aku memang gadis tolol yang sudah kehilangan kemampuanku sebagai pengawal.
Aku--aku adalah kepala pengawal nona Indira, gadis dengan ranking tinggi dalam bela diri, bisa-bisanya aku tidur nyaman dalam dekapan musuhku?
Apa aku sudah kehilangan insting bertahan hidupku?
"Tuan Ace memberikan ini untukmu." Felix menunjukkan lima tumpuk baju training dengan warna-warna cerah di atas meja. Baju itu sepertinya adalah baju training untuk wanita. "Mulai sekarang, kau sebaiknya tidak berkeliaran seperti manusia gua."
Aku tidak menanggapi si keparat itu. Aku masih syok mengenai situasi yang terjadi padaku tadi siang, dan oh, ya..., aku lapar. Alih-alih mendebat Felix, aku melenggang menuju sofa. Dumpling ayam yang tersaji di sana membuat liur berkumpul di mulutku.
Oh, sudah berapa lama aku tidak jajan dumpling? Biasanya, kalau hari off bekerja, aku akan membeli dumpling di taman kota dan membawakan sekotak dumpling keju favorite ibu.
Mengingat ibu, aku jadi rindu. Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apa dia berduka pada berita kematianku yang tiba-tiba? Aku harap dia tidak menabung uang tunjanganku. Dia sebaiknya memakai uang itu untuk bersenang-senang. Menabung ketika dia sudah tua tidak akan membawanya kemana-mana.
Ibu, aku merindukanmu.
Aku menyantap satu dumpling itu dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Nyeri di hatiku membuatku bertanya-tanya, apakah akan ada akhir dari kesialan ini? Apakah aku akan keluar dalam keadaan selamat atau aku akan menemukan kematian?
"Nona Margot, kau tidak boleh--nona--" suara kebisingan dari luar membuatku mengerutkan dahi.
Momen emosional antara aku dan si dumpling buyar tergantikan keheranan. Aku beranjak dari sofa dan menatap kepada pintu yang perlahan-lahan di terobos oleh Margot. Margot Hunter--saudara sulung Ace Hunter, wanita yang kukenal sangat mengintimidasi, melangkah masuk ke dalam kamar Ace. Dia memindaiku dari ujung kaki hingga kepala sebelum menyeringai lebar.
"Nona Margot?" Felix bergetar panik. "Tuan Ace akan membunuhku kalau tau kau masuk ke sini."
"Jangan bawel, Felix. Apa kau berpikir kau boleh menentang perintahku?" Margot mengintimidasi Felix kembali. "Aku adalah tuanmu di rumah ini!"
"Tapi, nona..."
"Tinggalkan aku. Aku ingin mengobrol ringan dengan hewan peliharaan adikku."
Hewan? Dia menyebutku hewan? Oh. Ternyata dia tidak jauh berbeda dari saudara busuknya. Tidak mengherankan. Seharusnya aku tidak mengharapkan apa-apa dari keluarga psikopat ini.
"Fawnia Alder, apa aku mengganggu makan malammu?" Margot melenggang mendekat dan aku mengambil satu langkah mundur.
"Aku sangat ingin bertemu denganmu, kau tau."
Huh, aku penasaran kenapa.
"Di antara banyaknya perempuan yang pernah dibawa Ace ke dalam kamar ini, kau bisa dibilang berada di urutan terakhir jika menyangkut kecantikan." Margot tiba-tiba me-review-ku seperti me-review makanan di aplikasi kuliner. Aku cukup kaget mendengar ucapannya, alisku hampir membuat jembatan karena nyaris bersatu.
"Body-mu sebagai bodyguard sebelumnya cukup bagus. Tapi kau agak berisi sekarang."
Hei, jangan meremehkanku!!!
Aku jadi begini karena pekerjaanku hanya makan dan tidur. Keparat. Aku ingin memukulnya. "Ace biasanya menyukai perempuan dengan body model."
Apa aku peduli?
"Secara keseluruhan, aku tidak melihat ada yang menarik darimu sampai-sampai Ace tidak membunuhmu. Lantas, apa rahasianya sampai kau masih bisa bernapas hingga sekarang?" Margot mengangkat daguku dengan telunjuk lentiknya. Sikapnya yang seperti ini pula mengingatkanku kepada Ace. Mereka sangat mirip menyangkut hal tidak beradab dan kurang ajar.
"Kalau kau begitu penasaran, sebaiknya kau menanyai hal itu pada adik psikopatmu, bukan?" Aku membuka mulut. "Aku rela menjadi babi di sini kalau itu berarti dia kehilangan minat padaku."
Apa dia pikir aku menjadi tahanan di rumah ini karena aku punya trik rahasia untuk membuat Ace tidak mau membunuhku? Tcih. Satu-satunya jawaban sudah pasti karena saudara sintingnya itu sinting, kan?
"Hmmm, bermulut tajam, itu jarang."
"Apa?" Aku meninggikan alisku. Kami berbicara dalam bahasa yang sama tapi mengapa aku tidak memahami satu pun maksud ucapannya?
"Bukan apa-apa." Margot menyeringai tipis. Sungguh mengerikan. Aku menjadi tidak nyaman.
"Kalau kau sudah selesai me-review wanita tahanan saudaramu, aku akan kembali makan." Tidak ada gunanya meladeni Margot yang misterius senyumnya semisterius wajah Monalisa. Aku kelaparan sekarang jadi lebih baik aku makan.
Meninggalkan Margot yang masih berdiri di dekat sofa, aku pun menuju sepiring dumpling ayam yang mulai menghangat. Tidak, tolong jangan dingin sebelum aku melahap kalian habis. Takut kalau makanan itu mendingin, aku pun menjejal dua dumpling sekalian ke dalam mulutku. Pipi kiri dan kananku penuh. Tapi ini lebih baik daripada memakan makanan dingin.
"Fawnia?" Margot bergabung denganku di sofa. Dia duduk di sebelahku sambil memainkan HP-nya. "Apa kau tau kalau Fawn berarti anak rusa?"
Tentu saja, bodoh. Apa kau pikir aku bodoh? Ibu menamaiku Fawn karena sepasang mataku mengingatkannya dengan sepasang mata anak rusa. Sangat indah, lugu dan penuh harapan. Setidaknya itulah kata ibuku. Aku tidak pernah melihat rusa dengan seteliti itu sebelumnya, jadi aku hanya mendengar apa yang ibu katakan dan percaya.
"Aku tau," jawabku kemudian. Masih berusaha mengunyah makanan yang menyumpal mulutku sekarang.
"Namamu berarti anak rusa, tapi sekarang kau terlihat seperti seekor tupai."
Aku melirik Margot dan mengangkat bahu. Terserahlah. Mungkin memang kebiasaan keluarga Hunter melihat manusia sebagai binatang.
"Fawn," panggil Margot lagi.
"Hmmm?"
"Apa pendapatmu tentang Ace?"
"Dia bajingan."
"Hahahahahaha..." Tawa Margot membahana. "Aaaaah, benar-benar, kau serius mengatakan itu?"
"Aku tidak humoris, jadi aku sudah pasti serius."
"Kau tidak perlu berusaha menghumorku, kejujuranmu saja sudah sangat lucu." Margot lagi-lagi mengatakan sesuatu yang tidak kupahami.
"Huh, ya?" Terserah.
Aku tidak peduli dengan selera humor kalian yang aneh juga. Aku lebih baik makan, makan dan makan.
"Apa kau sangat suka makanannya?"
"Kenapa?" Aku menoleh ke Margot. Makanan saat ini adalah pencegah depresi bagiku. Jika makanan di sini tidak enak, aku mungkin akan kurus kerontang akibat stress yang menumpuk.
"Kau sangat bersemangat saat makan."
"Aku lapar," jawabku jujur.
"Ah..." Margot lagi-lagi tersenyum.
Sementara aku menyantap dumpling yang tersaji di piring, Margot yang sudah tidak mengatakan apa-apa duduk diam di sebelahku sambil menatapku. Aku yang menyadari tatapannya hanya berpura-pura tidak peduli. Yah, walau sebenarnya ditatap saat makan membuat otot-ototku mulai menegang gugup. Apa ini siaran mukbang? Kenapa dia menatapku terus-menerus?
"Apa kau mau?" tanyaku menawarkan. Aku sedikit tidak rela membagi makananku padanya. Dia adalah bos rumah ini, dia bisa mendapat makanan lezat hanya dalam sekali perintah.
"Aku tidak lapar."
"Lalu, kenapa kau menatapku?" Kalau kau tidak lapar, kau seharusnya tidak mengganggu orang yang sedang kelaparan.
"Apa aku tidak boleh menatap mainan favorite saudaraku?"
"Begini, nona Margot..." Aku menahan diri untuk tidak memakinya di tempat, dan memiringkan kepalaku demi menatap mukanya yang sangat arogan. "Aku tidak tau apa masalah kalian bersaudara, tapi aku ini adalah manusia. Maksudku, bahkan bila otak kalian bermasalah, itu tidak mengubah fakta kalau aku manusia. Aku bukan mainan atau binatang siapa pun."
"Tapi kau adalah peliharaan saudaraku, Fawn. Belumkah kau menyadari itu?"
"Aku tidak akan pernah menyadari itu." kataku tegas. "Karena, jika aku merasa diriku adalah peliharaan Ace, maka itu berarti aku sudah kehilangan harkat dan martabatku sebagai manusia. Aku lebih baik mati."
Aku tidak akan pernah tunduk secara suka-rela kepada para bajingan seperti kalian.
"Suatu saat nanti aku akan bebas dari sini." Lanjutku.
Aku kembali menghadap piring dumpling yang tersisa satu potong. Sementara aku hendak menyantap potongan terakhir itu, Ace masuk dengan langkah terburu-buru. Dia menatapku dan Margot bergantian.
"Baik itu dalam keadaan hidup ataupun mati, aku akan bebas. Ketika aku bebas, aku ingin bebas sebagai manusia. Bukan alat ataupun peliharaan siapa pun."
Margot kembali tertawa, kali ini lebih nyaring dari sebelumnya. Tawanya sangat keras sampai Felix yang mengekori Ace menampakkan wajah horor.
"Ahahahahahahahahahahahaa...." Dia memukul-pukul lututnya.
"Aduh, sekarang aku mengerti alasanmu menyimpannya, Ace..." Margot bicara ke adiknya yang masih bungkam.
"Dia memang..., mainan yang menggemaskan."
Orang-orang ini sakit jiwa.
...------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trussukses
2023-07-02
0
Vlink Bataragunadi 👑
fawn memaang semenggemaskan ituuu (♥ω♥*)
2023-05-26
0
Vlink Bataragunadi 👑
laaah kan salah bos mu sendiri yg lebih suka Fawn ga pake baji... #ups ≧∇≦
2023-05-26
0