...ACE pov...
..........
Jemaine Emery muncul di depan rumahku hari ini, seperti anak kucing yang habis diguyur hujan. Ketiga bodyguard-nya pun tampil dalam kondisi yang sama, sama-sama basah kuyup. Aku yang menyambut kedatangannya di pintu, menggeleng-gelengkan kepala tanpa suara. Aku tidak mengkritiknya yang sangat absurd, toh ini bukan kali pertama dia bertingkah sangat tolol.
"Masuklah dan ganti pakaianmu." Aku membiarkan Jem masuk. Air menetes dari tubuhnya, meninggalkan jejak sepanjang ia melangkah. Felix datang dan menyerahkan handuk kepada Jem.
"Carcel, bawa Louis dan rekannya berganti." Aku mengacu kepada bodyguard Jem yang berdiri di luar. Setia menjaga tuannya tanpa memedulikan kesehatan mereka sendiri.
"Baik, Bos." Carcel mengangguk lalu mengajak Louis cs masuk melewati pintu samping. Pintu yang terhubung ke markas tempat bodyguard keluarga Hunter beristirahat dan menyimpan segala peralatan dan atribut mereka. Dapur khusus bodyguard juga ada di sana.
20 menit kemudian, setelah aku memberikan waktu untuk Jem mengganti pakaian dan membersihkan dirinya di kamar tamu, Jem akhirnya keluar dengan satu set pakaian training berwarna merah dengan strip putih di area lengan dan celananya. Handuk masih menggantung di leher Jem, dipakainya untuk mengeringkan rambutnya yang sekarang mencuat seperti duri landak.
"Duduklah," perintahku, mempersilakan Jem agar duduk di bangku anyam yang menghadap gerbang utama. Hujan sudah mereda siang itu, tapi langit masih suram.
"Apa ini untukku?" Jem mengangkat secangkir teh panas di atas meja. Itu tehku, tapi aku mengangguk dan membiarkan dia memiliki minumanku.
"Jadi, apa alasan dari kebodohanmu hari ini?" Aku menyilang kaki, berpangku dagu sementara mata tertuju kepada Jem yang kembali tersenyum bodoh.
"Aku kehujanan."
"Apa aku buta?"
Jem seketika tertawa. "Ah, bukan seperti itu maksudku. Kau tau, aku sangat cemas ketika mendengar berita tentang penyerangan Margot. Aku terus kepikiran pada kondisinya, jadi setelah dari bandara aku memutuskan untuk langsung ke sini. Sayangnya, jalanan sangat macet jadi aku memutuskan ke sini naik motor yang kutemui di jalan."
Aku mengerutkan dahi, kebingunganku semakin meninggi mendengar deskripsi Jem saat ini. Aku paham dia memedulikan Margot, aku hanya tidak paham dia akan bertingkah sebodoh itu.
"Kau tau kau bisa menunggu jalanan senggang untuk sampai ke sini, kan? Lihat ulahmu sekarang, kau menjadi sangat berantakan. Kalau kau sampai sakit, aku yang akan disalahkan oleh nenekmu."
"Nenekku tidak akan marah, lagipula..., semua ini salahmu!" Jem balik menudingku. "Kenapa kau tidak mempunyai Helipad di sini? Kalau kau punya Helipad di rumahmu, aku tidak perlu repot-repot naik mobil lagi. Aku bisa pulang dari xxx dan langsung ke sini."
"Apa kau pikir aku peduli pada hal semacam itu. Kalau kau mau me-request sebuah helipad, mintalah pada Margot. Dia yang bertanggung jawab dalam mengorganisir rumah ini."
"Oh, bicara soal Margot, di mana Princess-ku?" Jem menatapku serius. "Apa dia baik-baik saja?"
"Dia sangat baik ke tahap menjengkelkan," kataku.
Margot yang Jem cemaskan sekarang sedang berada di kamarku, mengambil alih fokus peliharaanku dengan memaksanya melakukan ini itu. Kamarku yang sebelumnya privat dan hanya untukku, sekarang di akses oleh bodyguard dan Margot setiap hari. Mereka bahkan memutar drama di kamar menggunakan proyektor LED, mengurai karpet bulu di sofa dan menyediakan setumpuk bantal dan cemilan di mana-mana.
Setiap kali aku menegur Margot dan mengecamnya untuk berhenti mengganggu Fawn, Margot akan memelas sedih. Beralasankan dia tidak nyaman tinggal sendirian di kamarnya, tidak suka berada di rumah dan sejuta alasan lain yang berintikan satu : Margot tidak betah di rumah, dia berhasil mengalahkanku. Sialan, silakan ambil Fawn kalau dia sangat mencintai gadis itu.
"Apa kau sudah menemukan pelakunya?" Jem menyandarkan punggungnya di bangku. "Jika ini tidak ditangani dengan serius, situasi buruk ini mungkin akan terjadi lagi, Ace."
"Aku tau," sahutku. "Aku dan paman Jack sedang mengusahakan pencarian pelakunya dengan segera. Juga, selain ini aku perlu mencaritahu siapa mata-mata di antara pekerja kami."
"Aku pikir kau menyerahkan tugas itu ke Margot."
Aku mengangguk lagi, tapi kemudian menghela napas berat. "Aku pikir akan terselesaikan kalau Margot yang mencarinya, tapi tidak. Sudah tiga minggu berlalu tanpa petunjuk. Aku tidak bisa terus menggantung harap padanya. Aku akan menemukan orang itu dengan usahaku sendiri."
"Adakah kemungkinan tikus itu berkaitan dengan kecelakaan paman Harkin?" tanya Jem kembali.
"Kemungkinan. Untuk sekarang, aku tidak bisa menarik kesimpulan sembarangan. Ada terlalu banyak musuh sedang berkeliaran dan berusaha memenggal kepalaku. Aku hanya akan tau kalau si keparat itu bergerak."
"Ini bukan masalahku, tapi melihatmu aku tidak bisa tidak merasa depresi." Ucapan Jem membuatku tersenyum miris. Apa yang Jem ucapkan mungkin ada benarnya. Aku tidak tau bagaimana bisa aku bertahan sampai sekarang, mengejar hantu yang keberadaannya masih abu-abu.
Tiga tahun lalu, ketika gas meledak di dapur cafe tempat ayah dan Ibuku biasa mampir, Polisi yang bertugas menyelidiki kasus itu mengatakan kalau kematian ayah dan ibuku adalah sebuah kecelakaan. Bahwa, selain ayah dan ibuku, ada banyak korban lain juga yang berguguran.
Kasus itu ditutup sebagai bentuk kelalaian pekerja cafe yang juga meninggal dalam ledakan. Aku pun awalnya mengira hanya sebatas itu, sampai akhirnya Margot mendatangiku. Mencengkram lenganku kuat-kuat. Mendeklarasikan kalau semua itu bukan kebetulan.
Semuanya bermula dari ucapan Margot, dan paman Jack juga mendeklarasikan persetujuan atas ucapannya. Aku--aku yang saat itu tidak hadir di kehidupan orang tuaku, aku yang sibuk dengan duniaku sendiri, pulang ke rumah dan menerima ucapan mereka sebagai kebenaran.
Aku tidak punya pilihan lain selain percaya. Aku tidak berhak tidak mempercayai Margot dan paman Jack, tidak setelah keegoisanku membawa keluargaku dalam malapetaka. Aku meninggalkan Ibu dan Ayah demi kepentinganku sendiri, dan tanpa aku sadari, aku sudah meninggalkan mereka menuju kehancuran yang tiba-tiba.
Semua ini adalah salahku. Caraku mampu menebus semuanya hanyalah dengan menemukan siapa pun itu yang berusaha menyingkirkan orang tuaku.
"Begini..., Ace...," Suara Jem meragu. Dia menatapku dan kecanggungan yang tersirat di sepasang bola mata cokelatnya. Lalu, ketika aku membalas tatapannya, Jem seketika menegapkan duduknya. "Aku hanya penasaran, maksudku...,"
"Penasaran apa?"
"Kau, Margot dan paman Jack mencurigai pelaku peledakan itu bersembunyi di antara Spades dan Clubs, bukan?"
"Ya," aku menjawab yakin. Aku tidak punya keraguan sama sekali kalau dua keluarga besar di Selatan itu melakukan hal-hal menjijikkan di belakang kami untuk menggapai posisi tertinggi. Aku sudah menargetkan mereka sejak awal. Hanya perlu memancing sosok misterius itu untuk keluar dan benar-benar menunjukkan dirinya.
"Kenapa kau tidak mencurigai keluarga kami?" Pertanyaan Jem seketika membuatku tertawa. Mataku menatapnya jenaka sebelum kembali ke mode normal nan datar.
"Keluarga Emery sudah berdiri di posisi yang netral sejak lama, bahkan sebelum ayahku menjadi pemimpin. Kalian selalu seperti itu sejak dulu dan tentu saja, kalian bisa berubah pikiran. Tapi Jem, aku tau bajingan ketika aku melihatnya."
"Ah, ya..., itu masuk akal." Jem manggut-manggut. "Aku menanyakan ini bukan karena aku ingin kau mencurigai kami atau apa, aku menanyai ini semata-mata karena aku penasaran. Aku harap kita tidak punya alasan untuk saling mencurigai ke depannya."
"Tentu saja." sahutku. Tak berselang lama, Felix masuk ke dalam konversasi kami dan menyerahkan secangkir teh chamomile di atas meja. Dia melirik bingung ketika melihat Jem meminum tehku.
"Tuan Jem, itu minuman tuan Ace." tegur Felix.
"Eh, apa?"
"Biarkan saja," tegurku lalu tersenyum bosan. "Aku memang ingin teh baru."
"Kau bajingan, kau membuatku meminum bekasmu."
"Tenang saja, aku tidak meludah di dalamnya."
Jem menendang kaki meja dan berdiri. "Lupakan, Felix. Bawa aku menemui Margot sekarang!"
"Eh, itu..., tapi nona Margot sedang menonton di kamar tuan Ace."
"Lalu, apa masalahnya?" Jem tidak mengerti. Felix masih cemas mengenai keberadaan Fawn.
"Bawa saja dia ke sana, aku akan menyusul juga sebentar lagi." Aku meneguk teh di atas meja sementara menatap kepergian Jem bersama Felix.
Tentu saja, aku tidak akan mencurigai sembarang orang untuk menjadi tersangka pelaku yang menyelakai ayah dan ibuku, aku punya alasanku sendiri.
Jemaine Emery juga, walau dia berdiri di posisi netral, dia bisa menjadi sosok yang mencurigakan kapan saja. Dia mungkin tidak memiliki potensi sebagai sosok yang berusaha menyingkirkan keluargaku, tapi itu tidak berarti dia akan selamanya putih.
Jemaine Emery, Anggara Rashid dan Evan Caspian, aku tidak akan mempercayai kalian dengan gampang.
...----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-07-02
0