...ACE pov...
.......
.......
.......
Satu minggu kemudian.
Hal urgen terjadi setelah kejadian penyerangan Margot. Aku yang seharusnya melakukan penyelidikan tentang penyerangan itu terpaksa menunda aktivitasku dan pergi ke luar negeri. Bisnis perdagangan senjata yang sudah lama kutangani dengan aman, menghadapi kendala. Seorang pekerja yang bertanggung jawab dalam mengawasi gudang senjata ternyata diam-diam menyelundupkan barang-barang kami ke musuh.
Dengan informasi itu, aku segera terbang ke xxx dan menangani para keparat yang sudah bermain-main di belakangku. Penyelidikan tentang penyerangan Margot kuserahkan kepada paman Jack, sementara Margot ikut pergi bersamaku menuju xxx karena dia punya bisnis sendiri di sana yang perlu dia cek.
Aku baru kembali hari ini. Lelah akibat pekerjaan dan perjalanan yang panjang membuat mood-ku sangat berantakan. Aku memasuki rumah dan teringat kepada Fawn. Rusa peliharaanku itu pasti bersenang-senang karena aku tidak ada. Oh, bicara soal dia juga..., aku kembali teringat pada ciuman yang terjadi di bak mandi hari itu.
Aku merasa ingin mengutuk diriku sendiri ketika aku mengingatnya. Bagaimana bisa aku melakukan sesuatu yang seharusnya tidak pernah kulakukan? Ini adalah salah satu alasan kenapa aku semakin uring-uringan!
Mencium Fawn, Fawn dari semua orang, adalah sebuah tindakan yang sangat ambigu bahkan untuk diriku. Aku tidak mengerti mengapa aku sangat ingin menciumnya, dan ketika ciuman itu terjadi, aku ingin melakukannya lagi dan lagi. Seperti ada sisi baru menyeruak dari dalam diriku.
Apakah kata Fawn adalah kebenaran, kalau aku menjadi pria mesum sekarang?
"Aku sangat cape." Margot mengeluh di sampingku. "Rasanya otot-ototku mau lepas."
"Kau hanya tidur sepanjang perjalanan," keluhku. "Apa yang kau lelahkan?"
"Duduk diam tanpa melakukan apa pun juga menguras tenaga, Ace. Kau tidak tau kalau aku adalah wanita. Kami sangat rapuh dan mudah terluka." Margot mendramatisir situasinya dengan air mata palsu yang bahkan tidak keluar sama sekali.
"Kalau kau adalah wanita yang rapuh dan mudah terluka, maka wanita normal di luar sana adalah sehelai bulu."
"Apa maksudmu aku bukan wanita normal?"
Aku menatap Margot dengan alis terangkat. Apa pertanyaannya serius? "Apa kau tidak berkaca, Mar?"
Margot dari semua wanita yang pernah kutemui, adalah wanita yang sangat jauh dari kata normal. Dia keras dan kuat. Kelemahan tidak nampak di parasnya karena ia selalu tampil gagah berani dan penuh arogansi.
"Laki-laki sepertimu tidak berhak memberikan penilaian pada wanita, Ace. Satu-satunya wanita yang bertahan lama di dekatmu selain para pelacur-pelacur sewaanmu itu, hanya Indira. Itu pun karena dia adalah pionmu. Benarkan, Carcel?"
Margot melempar tatapan kepada Carcel yang lesu. Prajurit yang nyaris mati karena kurang tidur itu menyanggupi ucapan Margot dengan anggukan.
"Carcel, apa kau membela Margot?" Aku memprotes.
"Ah, maaf." Mata Carcel segar seketika. Seperti aku akan mengutuknya menjadi batu saja. "Aku tidak bermaksud begitu, Bos. Juga..., bukankah ada satu wanita lagi yang bertahan di sampingmu selain nona Indira?"
"Ah, apa maksudmu Fawnia?" Margot menangkap ucapan Carcel sangat cepat. "Benar juga, apa kabar perempuan itu? Apa kau masih mengurungnya di kamarmu?"
"Begitulah." Aku menjawab acuh tak acuh. Aku tidak mau Margot tertarik pada milikku.
"Ini sangat langka, bukan?" Margot menepuk tangan dengan antusias. Ugh, sepertinya ini akan sia-sia. Keparat, Carcel. Kenapa dia harus membuka mulutnya?
"Kau tidak pernah bertahan dengan satu wanita sebelumnya. Kenapa Fawn menjadi sangat berbeda? Apa bodyguard Indira yang satu itu sangat hebat di ranjang?"
"Margot!" Aku mendorong dahi Margot yang terus menyeruduk pundakku, menanti jawaban dengan nada suara yang menjengkelkan.
"Carcel, apa pendapatmu tentang Fawn? Kau pernah bertemu dengannya, kan?" Tau aku tidak akan membocorkan apa pun padanya, Margot pun beralih ke Carcel. Langkah kami jadi terhenti karena percakapan tolol ini.
"Uh..." Carcel agak bimbang saat menanggapi pertanyaan Margot. Dia melirikku sebentar sebelum tersenyum canggung. "Nona Fawn adalah bodyguard yang kuat, Bos. Saat penangkapannya, walau menggunakan gaun pengantin, menahannya untuk tetap duduk membuat kami sangat kewalahan. Dia mempunyai skill bertahan diri yang baik."
"Aku tidak menanyakan hal itu. Tanpa menjelaskan skill-nya pun, aku sudah tau dia hebat. Bagaimanapun, dia adalah pelindung utama Indira. Tidak sembarang orang bisa mengisi posisi itu."
"Ja-jadi, apa yang bos Margot tanyakan?"
"Kecantikannya, tentu saja. Sebagai laki-laki, apa menurutmu dia seksi?"
"Ah...???"
Sudah cukup. Aku tidak akan membiarkan Carcel membayangkan Fawn dengan cara kotor. Gadis itu adalah milikku, hanya aku yang boleh melihatnya dalam lensa yang berbeda. Hanya aku yang boleh memikirkan keindahannya, atau bagaimana menarik tubuhnya.
"Jika kau terus berbicara, aku akan membuatmu melakukan push up 500 kali." Aku menengahi perbincangan antara Margot dan Carcel seketika. "Margot, kembali ke kamarmu. Dan kau Carcel..."
"Y-ya?"
"Jangan pernah berani-beraninya memikirkan propertiku."
"Ba-baik, Bos."
Margot bersandar di pundak Carcel dan mengernyitkan keningnya menatapku. Entah hal apa yang sedang terjadi di otak antiknya, aku mengabaikan pandangan curiga itu dan menuju kamarku.
"Seseorang sedang bertingkah posesif, kan?" Margot berbisik ke Carcel. "Ini menarik."
...-----...
Fawn sedang berbaring di tempat tidur, kepala menggantung di sisi ranjang dengan rambut panjangnya jatuh menjuntai ke lantai. Dia menyadari kedatanganku dan tidak menunjukkan reaksi apa pun. Dia masih dalam posisi yang sama, matanya mengikuti pergerakanku. Aku tidak menggubris keanehannya saat itu karena aku punya tujuan yang lebih penting, yaitu mandi.
Setelah menaruh ponselku di brankas (aku sengaja menaruh HP-ku di sana agar Fawn tidak mampu mencurinya), aku lalu menuju kamar mandi. Sekitar 20 menitan mandi dan bercukur, aku keluar dan masih melihat Fawn dalam posisi yang sama. Aku menjadi sedikit tidak nyaman dengan gayanya yang seperti itu.
"Ada apa denganmu?" tanyaku sudah tidak bisa menoleransi keanehannya.
"Ada apa denganku?" tanyanya balik.
"Kenapa kau berbaring dalam posisi itu, apa kau mau mati kram?"
"Apa ada orang yang pernah mati karena berbaring dalam posisi ini sebelumnya?" Gadis ini sepertinya mulai gila.
"Berbaringlah dengan benar!" tukasku, memperingatkan dengan sengaja melebarkan mata. Dia dengan kesal bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk bersila di tempat tidur.
"Apa ada lagi yang mau kau atur, yang mulia? Haruskah aku..., mungkin, bernapas dengan mulutku dan berjalan dengan tanganku?"
"Jangan memancing emosiku, Fawn." Aku mengeluarkan ponselku kembali dari brankas dan menelepon asistenku di kantor. Selama aku bertelepon, mataku memperhatikan Fawn yang sekarang memangku bantal. Dia bertopang dagu dan mulai melamun. Selama dia termenung di sana, aku tanpa sadar menatap Fawn terlalu lama. Aku bahkan tidak mendengar ucapan asistenku sama sekali.
Aku terpaku kepada penampilannya di tempat tidurku, rambut hitam menjuntai panjang dan agak berantakan, sepasang bulu mata lentiknya jatuh indah seperti kelopak bunga ketika ia mengedipkan mata. Lalu di antara keindahan itu, hal yang paling menarik perhatianku adalah bibir merah muda itu. Rasa bibir itu masih terasa di bibirku.
Jantungku tanpa bisa kukendalikan, berpacu kencang. Apakah ini karena kelelahan?
"Bos?" Jerome--asistenku memanggil lebih keras dari seberang telepon. Sial, sepertinya aku merenung terlalu lama. Aku pasti sangat kelelahan sampai tidak fokus.
"Aku akan menghubungimu lagi nanti," kataku dan menutup telepon.
Sudah pasti, solusi untuk sensasi asing yang merayap di jantungku saat ini adalah tidur siang. Aku pasti terlalu banyak mengonsumsi cafein saat bekerja sampai-sampai jantungku berdebar-debar gelisah.
Menaruh ponselku, aku lalu menuju tempat tidur. Saat melihat aku datang, Fawn dengan keparanoid-annya yang belum hilang, berjengit menjauh. Dia duduk di bibir ranjang sementara matanya mengikuti setiap pergerakanku.
Mungkin Fawn waspada aku akan menerjangnya tiba-tiba. Sungguh lucu. Aku bisa membuatnya naik ke pangkuanku kalau aku mau. Aku tidak perlu melakukan serangan paksaan seperti awal relasi kami. Tidak lagi, tidak ketika aku sudah mendapatkan kelemahannya.
"Aku akan tidur siang," kataku. "Tidurlah di sampingku."
"Aku sudah tidur lebih banyak daripada aku membuka mata, aku tidak mau." Dia menolak, sudah kuduga.
"Fawn?" Aku melebarkan lenganku, memanggilnya secara tersirat agar berbaring di sana.
Dia menatapku dengan mata meratap sebelum akhirnya merangkak dan berbaring di sana. Lembut surai hitamnya menyapa kulitku, membawa aroma manis sampo yang familiar di hidungku. Dia berbaring cukup jauh sampai-sampai aku perlu menariknya paksa ke dadaku.
"Tepat, seperti ini..." Aku sengaja menekannya dalam-dalam di dekapanku. "Temani aku tidur, aku sangat lelah hari ini."
"Kalau kau lelah, seharusnya kau tidur sendiri, kan? Apa aku bantalmu?" Dia mendumel di dadaku, tapi setiap omelannya seperti nyanyian yang merdu. Tanpa aku menanggapinya, kantuk datang dan membawaku ke alam mimpi. Sangat nyaman, jantungku yang berdebar liar mulai menemukan ketenangan.
Aku pasti sangat kelelahan.
...----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus ceria
2023-07-02
0
Vlink Bataragunadi 👑
heuheuheu kok aku yg jd tersipu2 ya? ^o^
2023-05-26
0
Anonymous
novel ini ceritanya beda...
2022-11-12
1