...Ace POV...
Sangat mengecewakan adalah rangkuman untuk situasi yang terjadi hari ini. Sangat mengecewakan dan sangat kacau. Aku benar-benar stres ketika tau orang yang diculik oleh bodyguard-ku adalah orang yang salah. Indira pasti sudah menikah dengan Evan di suatu tempat dan aku tidak bisa menghentikannya.
Stres menumpuk di kepalaku dan keberadaan seorang Fawnia Alder yang menantangku dengan mata berani matinya membuatku semakin iritasi. Gadis itu membuat emosi yang menumpuk di dadaku siap meledak. Aku sangat marah dan adalah kewajaran bagiku untuk melampiaskannya ke orang-orangku. Tapi saat itu, alih-alih melampiaskan amukanku kepada Carcel yang sangat idiot, aku melihat Fawn sebagai objek yang akan mampu menggantikan karung pasirku.
Dia di sana, dengan tubuh bersih tanpa noda. Menyentuhnya membuat seluruh emosiku meluap dan tergantikan oleh gairah buta. Aku tidak ingat berapa kali aku melakukannya, membuat ia menjerit dalam kesakitan dan ketakutan. Aku sangat menikmati ketakutan yang mata itu tunjukkan. Benar, hanya seperti itu seseorang harus menatapku. Takut.
Fawn adalah perawan, aku merasakannya saat aku memasukinya.
Dalam hatiku, aku merasa kasihan kepadanya. Tapi, setelah mengingat apa yang sudah terjadi hari ini, emosiku kembali lagi. Dia pantas mendapatkan ini. Salahnya sendiri sudah mengantar dirinya ke hadapanku. Dia harus membayar kegagalan yang kuterima.
Ini masih tidak seberapa.
"Biarkan aku mati."
Ucapannya saat itu membuatku lagi-lagi memutar mata. Mengapa gadis ini begitu terobsesi pada kematian? Apa dia diprogram hanya untuk mati dalam misi? Dia sangat berani ketika memintaku membunuhnya, dan jujur saja, itu cukup seksi. Aku tidak tau apa yang salah padaku, mungkin ada benarnya kalau aku adalah psikopat. Aku menyukai pemandangannya yang ketakutan.
Untuk sementara waktu, aku akan menyimpannya sebagai hiburanku.
Waktu menunjukkan pukul sembilan malam ketika aku meninggalkan Fawn kepada Felix. Kepala pelayan di rumahku tersebut bergegas masuk ke kamarku dan membawa beberapa orang untuk merombak ulang isi ruangan kamarku. Aku tidak akan membiarkan Fawn mendapat akses untuk melukaiku ataupun melukai dirinya sendiri. Aku akan menjinakkannya.
Sementara aku melangkah santai menuju ruang tengah, ponsel yang berada di dalam rompi tidurku bergetar. Nama Margareth--Margot--saudara perempuanku tertera di layar. Margot pasti sudah mendengar berita tentang keberhasilan kerja sama antara keluarga Caspian dan Rashid. Dua bajingan itu sangat haus untuk meruntuhkan singgasanaku.
"Halo?" Aku menjawab panggilan dengan enggan.
"Kenapa ini bisa terjadi? Apa yang kau lakukan sampai situasinya bisa seperti ini?" Suara Margot menyambar kupingku keras.
"Bukankah sudah jelas?" Aku menyahut sambil melihat pelayan keluar masuk mengeluarkan guci-guci antik koleksiku keluar dari kamar. "Seseorang membocorkan rencanaku kepada Anggara."
"Hah, apa maksudmu Anggara punya mata-mata di keluarga kita?" suara Margot meninggi gelisah.
Saudaraku yang malang, dia pasti sangat marah. Sebagai orang yang bertanggung jawab dalam merekrut setiap pekerja di rumah ini, Margot pasti merasa bertanggung jawab bila memang ada penyusup di antara kami semua.
"Dia tau rencanaku sebelum aku mengeksekusinya. Kau paham maksudku, bukan?"
"Bajingan, bajingan, bajingan!" suara Margot yang lepas kendali terdengar di telingaku. Aku bisa membayangkan wanita itu meledak lagi dan menghamburkan barang-barang di sekitarnya.
"Maafkan aku, Ace." Suara amukan Margot mereda. "Aku sepertinya lalai dalam mengawasi pekerja kita."
"Kau tidak perlu meminta maaf," sahutku. Walau agak kesal, aku tidak akan menyalahkan Margot bila karyawan kami menyimpang. Lagipula, loyalitas bukan sesuatu yang mudah didapatkan.
Oh, bicara soal loyalitas, sepertinya Fawn sudah ditangani oleh Felix. Kepala pelayan yang mengenakan monocle itu keluar dari kamarku dan mengangguk. Mengisyaratkan padaku kalau situasi di dalam sudah aman.
Fawn, gadis itu memiliki loyalitas yang mengesankan. Aku penasaran, apa yang keluarga Rashid lakukan sampai-sampai Fawn menjadi rela mati di garda depan.
"Bagaimanapun, aku akan menangani masalah ini secepatnya." Margot kembali menarik perhatianku. "Tenang saja, siapa pun yang sudah mengkhianati keluarga kita tidak akan pernah selamat."
"Aku percayakan tugas itu padamu," jawabku tenang. Jika itu Margot, pencarian adalah spesialisnya. Dia bisa menemukan aib yang nenek moyangmu timbun sejak ratusan tahun silam kalau dia mau.
"Oh," tiba-tiba aku teringat sesuatu.
"Ada apa?" tanya Margot siaga.
"Bisa kau mencarikan latar belakang satu orang lagi untukku?"
"Siapa?"
Aku berdiri dari sofa ruang tengah dan melenggang menuju kamarku. "Fawnia Alder."
Menuju wanita yang sekarang mengenakan pakaian training hitam, berbaring dengan sebelah tangan terborgol di kepala ranjang. Sepasang manik cokelatnya menatapku penuh kebencian. Sepasang manik cokelat itulah yang akan menjadi hiburanku sekarang.
"Jangan menatapku seperti itu, kau membuatku ingin menyentuhmu."
"Lepaskan aku!" Dia masih belum menyerah. Yah, kupikir dia tidak akan diam secepat itu. Mari abaikan rengekannya sekarang dan fokus kepada pekerjaan. Aku menyalakan komputer di sudut ruangan dan mulai bekerja.
...---...
Waktu menunjukkan pukul tiga pagi ketika aku beranjak dari bangku kerjaku. Punggungku terasa ngilu dan kaku akibat terlalu lama duduk. Mataku pun, mungkin karena terlalu lama menatap layar komputer, menjadi kering. Aku ingin tidur, tapi ketika aku melihat Fawn berada di tempat tidurku, langkahku seketika melamban.
Rasanya cukup asing memiliki orang lain tidur di ruang yang sama denganku. Tapi mengetahui dia terborgol aman di sana, kewaspadaanku menurun. Fawn tidak akan melukaiku, setidaknya tidak sekarang. Tidak ketika tubuhnya mungkin sedang dalam rasa sakit yang mencekam.
Yah, pengalaman pertama memang selalu menyakitkan. Terutama ketika aku melakukannya dengan paksaan. Aku memahami kondisi tubuh Fawn akan sangat buruk sekarang, mentalnya pun sama saja. Tapi entah mengapa aku tidak merasakan simpati sama sekali.
Gadis ini adalah pion buangan Anggara, cepat atau lambat, aku akan membuangnya juga.
Dia tidak berarti sama sekali bagiku.
Aku berbaring di atas tempat tidur dan mulai tertidur. Besok akan menjadi hari yang lebih berat lagi. Benar-benar memuakkan sekali. Aku harap aku tidak terbangun lagi. Oh, andai realita seindah itu.
...----...
Sebuah tendangan membangunkanku.
Keparat!
Secepat kilat, aku membuka mata, menarik pistolku dari bawah ranjang dan mengarahkannya ke kepala gadis yang sekarang menatapku dengan mata melebar terpana.
"Good morning," sapanya, mata menyiratkan ketidak-ramahan sama sekali. Gadis gila ini! Aku lupa dia ada di sampingku.
"Apa kau mencari mati?" Berani-beraninya dia menendangku. Apa dia lupa siapa aku?
"Kalau menendangmu bisa membawaku bertemu dengan kematian, maka aku dengan senang hati akan menendangmu lagi." Fawn--gadis itu berusaha melayangkan tendangannya lagi di pinggangku. Aku menangkap pergelangan kakinya kuat dan menatapnya dalam-dalam penuh peringatan.
Bagaimana bisa aku lupa kalau gadis ini tidak takut pada kematian.
"Lupakan soal kematian, aku akan memberimu kenikmatan yang membuatmu tidak bisa berjalan sampai tiga hari ke depan, bagaimana?"
"Kenikmatan nenekku!" Fawn menarik paksa kakinya dari cengkramanku.
"Kalau kau tidak mau membunuhku, lepaskan borgol ini sekarang. Aku mau ke toilet, keparat!" Dia kembali berteriak.
"Huh, benar juga." Aku menyeringai tipis ketika melihat pergelangan tangannya yang memerah akibat lecet dan jejak darah. Gadis itu, apa dia berusaha melepaskan tangannya secara paksa dari sana? Benar-benar keras kepala.
"Sepertinya kau butuh rantai yang lebih nyaman daripada itu." Aku bergumam sambil menyisir rambutku ke belakang. Lonceng di atas meja kuambil dan kudentingkan. Tak berselang lama setelah itu, seorang pelayan memasuki kamarku.
"Buka borgolnya dan awasi dia," perintahku.
Aku berdiri dan melenggang mengambil sebuah jubah tidur. Aku memakainya di tubuhku sebelum berlalu meninggalkan Fawn yang kendati tidak seagresif kemarin, masih memiliki kata-kata kotor keluar dari mulutnya.
"Keparat! Jangan menyentuhku! Aku bisa jalan sendiri! Kalian semua di rumah ini, aku harap kalian semua terbakar mati!"
Sepertinya stamina gadis itu sudah kembali. Dia menjadi sangat hyperaktif dengan segala cacian dan kutukannya. Siapa yang akan menyangka kalau dia adalah gadis yang sama yang biasa berdiri di samping Indira dengan seulas senyum sopan dan baik hatinya?
Selepas keluar dari kamar, aku melenggang santai menuju satu kamar kosong yang terletak tidak jauh di kamarku. Aku membuat perintah untuk pelayanku mempersiapkan kebutuhanku, dan ketika aku selesai mempersiapkan diri untuk bekerja. Seorang pelayan datang dan menyampaikan kehadiran seseorang yang ingin bertemu denganku.
Orang itu adalah Jack Hunter. Aku keluar dari kamar dan segera menuju ruang diskusi yang terletak di balkon lantai dua. Menghadap kepada pemandangan kota yang terbentang luas di bawah kaki bukit, pamanku berdiri sambil menyesap rokok di tangan kirinya.
"Paman," sapaku tenang, tidak ingin mengejutkannya dengan kemunculanku yang tiba-tiba.
Pria paruh baya dengan jaket kulit hitam itu menoleh ke arahku. Sepasang matanya menukik dalam. Ia seperti menahan kekesalan. Aku tidak akan heran akan apa alasan di balik kekesalan itu.
Tanpa memberikan tanggapan atas sapaanku, seperti yang sudah kuperkirakan, tangan paman Jack terangkat dan meninju wajahku. Pukulannya yang sangat keras seperti membangunkan seluruh sarafku yang sebelumnya setenang air di pegunungan. Aku memanas menahan amukan.
"Apa yang aku bilang tentang menyelesaikan tugasmu dengan baik, Ace?!"
"Maafkan aku," hanya kata itu yang bisa kukatakan. Pada realitanya, tidak peduli alasan apa yang kupunya, aku memang sudah gagal.
"Apa kau pikir meminta maaf akan menggampangkan situasinya? Apa kau tidak tau, karena kegagalanmu kemarin, dua keluarga terbesar di selatan menjalin aliansi resmi. Kekuatan mereka berdua sama besarnya dengan kekuatanmu sekarang."
"..." Aku tidak memberikan tanggapan apa pun selain diam dan menerima segala amukan pamanku.
Ini adalah kesalahan yang membuat posisiku dalam kerugian. Aku membuat lawanku menjadi mempunyai peluang untuk menjatuhkanku, dan itu adalah langkah yang tolol.
"Jika kau sangat ingin membalas dendam kematian Ibu dan Ayahmu, sebaiknya kau memperbaiki situasi ini sebaik mungkin, Ace. Berhenti bermain-main!" Paman Jack mendorongku sekali lagi sebelum berbalik menuju balkon. Kedua tangannya bertopang di pagar sementara dia membenamkan wajahnya penuh tekanan.
"Kau tau alasan aku masih membiarkanmu hidup saat ini semuanya demi saudaraku, bukan? Jika bukan karena aku ingin Harkin mendapatkan keadilannya, aku akan membunuhmu saat ini juga."
"Aku akan menemukan orang yang membunuh ayahku, Paman. Tenang saja."
Aku meyakinkan paman Jack bukan karena aku percaya diri kepada kemampuanku. Aku hanya tau cepat atau lambat, sosok yang melenyapkan orang tuaku akan muncul kepermukaan. Mereka tidak akan bisa diam setelah melihat perusahaanku menjadi semakin brilian. Orang-orang bajingan itu, di mana pun dia bersembunyi, di Spades ataupun di Clubs, aku akan menemukannya.
"Aku dengar kau menahan seseorang yang salah kemarin."
"Begitulah."
"Aku juga mendengar kau tidak melenyapkannya." Wajah pamanku sangat penuh kecemasan. Dia sepertinya tidak menyukaiku yang bermain-main dengan korbanku. Dia selalu serius dan ingin aku fokus. Terkadang, mendapat tekanan darinya membuatku jengah luar biasa.
"Aku akan menyimpannya sebagai mainanku," kataku. Merespon ucapan paman dengan nada ringan. "Dia cukup lucu."
Aku akan menyimpannya, bermain-main dengannya lalu setelah itu, barulah aku membunuhnya.
...-----...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 153 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-07-02
0
Yumei Thomas
kasian 🥺🥺
2022-06-25
0