Cakra
Sebagai adik Aku selalu menginginkan Mbak bahagia, Kebahagiaan mbak juga kebahagiaanku.
Aku berusaha menjaga hatinya, sering menciptakan senyuman walaupun harus dilakukan dengan tingkah laku yang menyebalkan.
Aku jarang marah atau tersinggung dengan orang lain selama aku bernafas, tidak perduli dengan mereka menilai ku terpenting tidak mengganggu atau melukai sesuatu yang ku anggap penting dalam hidup.
Malam itu emosiku langsung meledak harga diriku seakan di injak injak melihat saudara menangis karena ucapan Iqbal sudah menikah. Ralat bukan orang lain tetapi lelaki yang sudah Aku percaya kelak akan menjadi pendamping mbak.
Bagaimana lelaki brengsek itu tiba tiba ngomong sudah menikah sedangkan mbakku adalah tunangannya ? Apakah ini di sebut penghianat?
Bangsat ! lelaki yang kelihatan anteng teryata main api di belakang !
Aku tidak pernah berfikir bagaimana resikonya .Dalam pikiran hanya ingin memberikan pelajaran kepada lelaki brengsek itu .
Jelas aku tidak bisa menahan amarah dengan reflek Aku bangkit melewati meja. Lalu dengan sempurna menghujamkan bogem mentah di wajah laki laki brengsek yang tak lain Iqbal Rahmadani.
Bibir itu mengeluarkan darah. Mampus ! batinku puas.
Persetan dengan unggah ungguh yang selama ini aku junjung tinggi . Anak muda seperti aku bisa mengeluarkan emosi dengan mudah tanpa berfikir panjang.
Aku sempat akan melayangkan pukulan untuk yang kesekian kali namun itu harus tertunda demi merasakan lengan di tahan oleh wanita sudah berlinang air mata .
Shirt
Aku merasa sakit melihat Air mata juga wajah sembab itu.
" Lepasin gue mbak .. biar gue habisi orang brengsek ini." Aku menahan amarah dengan nafas memburu rahang mengeras.
Aku tidak habis pikir, apakah mbak bodoh membela lelaki brengsek seperti Iqbal ini.
" Lepasin cak ... lepaskan dia ," suara bergetar air mata terus mengalir deras.
" Sialan !"
" Dia udah menyakiti mbak. "
Jelas Aku tidak mau melepaskan lelaki brengsek ini begitu saja.
Namun mataku membulat sempurna begitu melihat MBAK tidak sadarkan diri .
Saat itu juga Aku merasa panik melihat wajah pucat tergeletak di lantai. lelaki brengsek itu ikut mendekat, sebelum Iqbal menyentuh tubuh mbak aku langsung menahan tangannya, "jangan sentuh kakak ku brengsek !" ucapku penuh kebencian. Aku muak melihat wajah khawatirnya.
Ayah langsung mengendong mbak Gendis menuju kamar. Aku langsung meninggalkan ruang tamu. tidak perduli dengan kedua tamu yang tidak tau diri.
Aku tidak keluar kamar hingga Bunda menghampiriku dengan suara lemah berkata " Adek disuruh ayah ke kamar utama. "
Dengan lapang dada Aku sendiko dawuh dengan perintah ayah ketika beliau menyuruhku untuk masuk ke dalam kamar utama.
Setelah menutup pintu kamar, Aku melihat ayah di depanku tatapan matanya tajam dengan tangan di lipat di dada.
Aku hanya bisa menunduk pasrah malam itu . Aku tau apa yang akan di terima setelah ini.
plak
plak
wajahnya langsung terlempar ke kanan dan ke kiri seketika pipi terasa panas.
Asem tenan , perih woyy !makinya dalam hati.
" Masih kecil Sudah petakilan ! Mau jadi apa kamu hah ?!"
Telinga terasa berdengung mendengar suara keras Ayah.
Ini adalah yang ke tiga kalinya dalam seumur hidup mendapatkan tamparan keras dari ayah.
Dua kali tamparan saat dulu ketahuan mengikuti tawuran saat kelas 10.
" Tau apa kesalahanmu ? "
Aku mengangguk
" Menyelesaikan masalah itu pakai otak ! Jangan pakai tenaga !" bentak Ayah dengan jari telunjuk menoyor kepalaku.
" Jangan diulangi lagi ! Ayah tidak pernah mengajarimu kurang ajar dengan orang yang lebih tua ! "
Aku harus menelan ludah. " orang brengsek itu pantas mendapatkannya Yah ! " ucapku jelas di dalam hati .
Realita aku hanya bisa mengangguk tanpa suara.
Aku tidak pernah berani melawan ayah. Membantah adalah perkara yang di benci Ayah. Beliau tipe dingin dan jarang marah. Dan ketika marah berarti itu sudah melebihi batas. ini adalah moment yang paling tidak di inginkan selama hidup .
Jika Ayah sudah marah tinggal bersiap untuk menerima beberapa pukulan.
Ayah memang sangat keras mendidikku. Namun beliau tidak ingin anaknya keras.
Sepertinya watak pemarah suka berkelahi menurun dari ayah. Bundanya pernah bercerita bahwa ayah dulu adalah preman sekolah dan pondok .
Jadi jangan bertanya dari mana mendapat sifat petakilan.
setelah kejadian itu mbak sering mengurung diri.
Aku hanya bisa mengintip dari celah pintu kala kamar itu sedikit terbuka. Tidak jarang mendengar isakan yang terdengar dari kamar sebelah .
Setelah seminggu berjalan. Aku melihat penampakan mbak yang ada di depan halaman rumah membuatku merasa lega.
Aku sengaja menggoda mbak agar senyum yang hilang kemarin kembali lagi .
" Dek adek ... itu kakak kamu tolong di awasi ! bunda takut kakak kenapa kenapa. " perintah bunda untuk mengikuti mbak. Akhirnya dengan 1001 alasan yang ku punya mengizinkan Aku menemaninya pergi keluar.
...----------------...
Aku bermain game online dalam mobil untuk membunuh rasa bosan karena sudah setengah jam mbak belum muncul dipermukaan.
Sebenarnya Aku tau siapa yang ditemui mbak. Aku terpaksa pura pura tidak tau . Aku yakin bahwa mbak akan bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Ketika hati ini sudah kehabisan kesabaran berniat untuk menyusul .Namun harus diurungkan demi melihat mbak yang berlari menuju jalan raya dengan menundukkan kepala.
Apa mbak Gendis lupa dia bawa mobil ? batinku keheranan dengan mata mengikuti dimana dia berjalan. Hatiku terasa sesak melihatnya seperti orang linglung di pinggir jalan.
" Ada apa lagi ini ?" Aku bergegas keluar dari mobil.
"Mbak "
Otakku langsung mendidih ketika melihat wajah penuh dengan air mata.
" Brengsek !" makiku dalam hati, berusaha menahan amarah . Tujuannya saat ini adalah menenangkan mbak agar tidak kembali sedih.
Aku langsung memeluk tubuh kurus itu mengelus pundaknya masih terisak dalam rengkuhan. Aku tidak perduli menerima tatapan aneh sekitar .
Aku menghela nafas mengusap air mata di wajah mbak dengan tisu dalam mobil sembari memaki di dalam hati. Apa lelaki brengsek itu melukaimu lagi mbak ?
Aku harus tau dengan jelas Bagaimana kronologinya.
Saat Aku bertanya apa yang dilakukan si brengsek itu? dia malah menangis lagi.
Aku harus menghabisi si brengsek itu sekarang juga !
" Mbak diem di sini Aku keluar sebentar !"
" Kamu mau apa ? " tanganku dicekal olehnya.
"Tunggu di sini !" ucapku lalu menutup mobil dengan keras.
" Aku harus memberi pelajaran Dia sekarang , masa bodoh dengan Ayah," batinku geram.
Amarahku mampu membawa langkah begitu cepat menatap se keliling kafe mencari sosok brengsek itu.
Tepat.
Aku tersenyum sinis begitu melihat dua sejoli duduk di pojokan .
ohh teryata bawa bininya juga . pantes mbak Sampek nangis. Habis lo sekarang !
Aku berjalan cepat dengan tangan mengepal. Sesampai dihadapan Iqbal dengan gerakan lincah mengangkat kaki kanan menendang perut Iqbal sampai terjungkal ke belakang bersama kursi yang di duduki.
Berkelahi sudah menjadi keahlianku semenjak kelas 3 SMP . Postur tubuh yang tinggi juga lumayan berisi berhasil mengalahkan tubuh jangkung milik Iqbal si brengsek .
" Bangun Lo bangsat !" teriakku dengan nafas memburu ku tarik kerah bajunya dengan kekuatan penuh melayangkan tinju dengan tangan kiri berkali kali.
Bug
" Lo udah hancurin kakak gue ...! pengecut Lo ! Beraninya nyakiti perempuan!"
Bug
Bug
Tangan ku terus melayangkan tinju pada wajah Iqbal melampiaskan seluruh kemarahan.
" Bangsat ! Brengsek !"
" Cepet lawan gue cupu ! jangan jadi pengecut Lo! "
Aku mendengus kesal menatap Iqbal hanya pasrah dengan wajah yang sudah bonyok.
" Terusin cak ! sampai Lo puas ! Gue pantes dapetin pukulan dari Lo ! bunuh gue sekalian ! " ucapnya lantang.
" Adek ... berhenti ! " Aku menoleh ke kiri melihat api kemarahan pada wajah mbak berdiri memelototinya .
Dengan kasar ku hempaskan tubuh Iqbal ke belakang yang langsung terbatuk batuk . Tidak ada rasa belas kasih di hati untuk pria brengsek seperti Iqbal. Aku tidak akan pernah maafkan orang yang sudah menyakiti hati mbak.
Tidak pernah !
" Jangan pernah ganggu kakak gue lagi ! " ancamku sebelum meninggalkan kafe yang sudah penuh dengan orang orang menatapku.
Bersambung
jangan lupa like komen dan vote 😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments