"Kamu ... ?"
Mayra menunduk seketika, saat sosok cantik itu berdiri dari duduknya. Lalu setengah memutari meja, menghadap padanya dengan senyum meremehkan.
"Aku pikir kamu sudah sukses di kota." Ada nada ejekan yang ditangkap pendengaran Mayra.
"Aku dengar dari karyawan ku, kamu mau lamar kerja disini, heh?"
"Nona Anjani, maaf. Aku nggak tahu kalau ... kalau tok ... eh, butik ini milik Anda." Terbata-bata Mayra berkata, karena wanita didepannya sudah terlihat tidak ramah.
"Tentu saja ini milikku. Apa kamu lupa, sebenarnya aku ini siapa?" Ujar Anjani dengan angkuhnya.
Mayra mengangguk dengan tetap menunduk. Kedua tangannya bertaut erat.
"Bagus, kalau kamu masih ingat!"
Mayra masih bergeming di tempatnya berdiri, Anjani tidak berbasa-basi untuk menyuruhnya duduk.
"Kamu masih punya keperluan disini?" jelas itu maksud mengusir.
"Ti-tidak, Nona. Kalau begitu, aku permisi."
"Hmm."
Mayra buru-buru keluar dari ruangan Anjani. Setelah menutup pintunya, ia bersandar sebentar di dinding samping rak sepatu mahal yang berjejer rapi.
Matanya ia pejamkan sejenak, nafasnya ia hembuskan supaya terbebas dari rasa sesak yang mendadak.
Lalu, menuruni tangga dengan cepat. Tanpa menyapa lagi karyawan tadi, Mayra keluar dari butik Anjani dengan langkah lebar.
Mayra tidak mengetahui sepasang mata Anjani melihatnya dari atas dengan sorot menyala.
"Wanita pembawa sial, mau melamar kerja di tempatku? huh, Jangan mimpi!" ucapnya seorang diri.
Lama Anjani berdiri di jendela besar yang mengarah ke jalan raya. Namun, bukan lagi mengawasi Mayra. Tatapannya kosong, wajahnya tiba-tiba berubah sendu.
"Aku masih mencintaimu." Lolos juga ucapan itu dari bibinya, sudah lama sekali ia pendam rasa yang tidak pernah diutarakan.
Mayra berjalan menyusuri toko yang menjual berbagai macam jenis barang. Sudah beberapa toko ia keluar-masuk, tapi tidak ada yang menerima permintaan kerjanya.
Ia juga melamar di toko grosir sembako, ditolak karena beralasan pakaiannya yang tidak bisa bekerja dengan leluasa. Nanti dia harus mengangkat beras bergoni-goni, belum lagi barang berat lainnya. Apapun alasan Mayra tetap tidak diterima.
Panas matahari tengah hari sangat terik. Tenggorokannya sudah kering. Perutnya pun minta diisi.
Mayra berhenti di depan kios kecil. Ia hanya membeli minuman mineral saja. Sementara cukup membasahi kerongkongannya dan dahaga.
"Mbak, darimana?" tanya seorang wanita masih muda menurut Mayra yang menjaga kios tersebut.
"Aku lagi cari kerjaan, Mbak. Susah ya?" jawab Mayra, ia mengelap keringat di dahinya dengan ujung jilbab. Matanya menyipit akibat sinar matahari tepat di atasnya.
"Memang susah, Mbak. Sudah datang kemana aja?"
"Butik Nidra sudah, terus toko-toko di depan itu juga. Tapi, nggak diterima." Ujar Mayra tersenyum kecut. Nasibnya harus ia jalani dengan sabar.
"Sebentar, tadi Mbak nyebut butik Nidra?" wanita itu sedikit kaget.
Butik Nidra yang dimaksud adalah, nama butik milik Anjani.
"Iya, kenapa Mbak?"
"Butik itu setiap mau menerima karyawan baru, harus diseleksi dulu. Dua bulan lalu, aku juga tes disana bersama lima puluh peserta lain.
Yang lulus mereka-mereka yang cantik." Jelas wanita itu dengan nada sedih.
Lima puluh peserta? banyak sekali yang berminat kerja disana, mungkin upahnya besar? Mayra menerka sendiri.
"Tapi, Mbak 'kan cantik. Kok nggak diterima ya?"
"Belum rejeki namanya, Mbak." Jawab Mayra getir. Pertemuannya dengan Anjani tadi, berhasil membuatnya patah semangat hari ini.
"Mbak yang sabar, ya. Kalau aku bersyukur sekali, walaupun hanya kios kecil tapi cukup untuk beli kebutuhan dapur sehari-hari. Ya, meski sayur satu ikat sama ikan seperempat kilo, Mbak." Mata wanita tersebut berbinar saat berkata begitu.
Memang bahagia itu sangat sederhana. Tidak perlu hidup mewah, jika dengan hidup kebawah saja bisa membuatmu tersenyum ceria.
Mayra sepakat dengan wanita didepannya, bersyukur disaat ada dan bersabar disaat tiada.
"Betul, Mbak. Aku akan cari lagi, siapa tau di depan ada yang butuh."
"Oh iya, Mbak." Tiba-tiba wanita itu teringat sesuatu. "Di belokan depan Mesjid Agung itu sedang butuh orang yang bisa bersih-bersih. Mungkin Mbak bisa ke sana."
Mayra menjadi lega, ia berdoa semoga saja masih kosong orang yang masuk.
"Nama tempatnya apa, Mbak?"
"Toko Diva Moda."
Mayra tertegun, tapi tekadnya sudah bulat.
"Baik, makasih ya Mbak. Aku coba melamar disana, mudah-mudahan keterima."
"Aamiin."
"Aamiin."
Mayra dengan gerakan kakinya yang terasa lecet, menjadi lamban melangkah. Ia harus berhenti sebentar untuk meredakan rasa nyeri pada kakinya, sebelum sampai di alamat yang dimaksud.
Dari ujung belokan sudah terpampang jelas huruf-huruf besar bertuliskan nama toko DIVA MODA.
Sebuah ruko tiga pintu yang telah dijadikan satu itu terdapat tiga lantai. Dari luar saja sudah terlihat megah bagi Mayra.
Sudah waktunya shalat Dzuhur, Mayra memilih menunaikan kewajibannya dulu pada Sang Pemberi Rezeki.
Sepuluh menit kemudian, masih dengan kaki yang semakin sakit digerakkan, Mayra menuju ke tujuannya.
Karena dibagian tumit mulai terkelupas kulit pada kedua kakinya, ia harus menahan rasa perih yang luar biasa.
Sepatu jenis flat yang dipakai memang sempit, mau bagaimana lagi ia belum sanggup mengganti yang baru. Selama belum koyak, maka dipakai terus olehnya.
Cacing-cacing diperutnya sesekali meronta, akibat belum sedikitpun makanan yang masuk walau kerupuk dua ribuan saja.
Ia tidak peduli, yang penting tujuannya terlaksana dulu. Soal makanan nanti saja belakangan.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Ada seorang pria yang bertindak sebagai security, berdiri dekat pintu masuk yang merupakan kaca dorong yang lebar.
"Ada yang bisa dibantu, Mbak?"
Security tersebut memperhatikan wajah Mayra yang merah karena sakit di kakinya tidak bisa diajak kompromi.
"Mbak sepertinya kurang sehat?" pria yang ditaksir umurnya tiga puluhan merasa iba.
"Ah, cuma kaki saya sedikit lecet, Pak." Jawab Mayra, bukan sedikit tapi sakitnya sudah berat.
"Mari, Mbak duduk dulu disini."
Mayra tidak menolak. Ia segera duduk. Tanpa segan, dengan cepat ia buka kembali kaos kakinya yang sudah berdarah di bagian tumit.
"Wah, harus diobati segera itu Mbak. Entar semakin parah."
"Nggak apa-apa, Pak. Masih bisa ditahan." Padahal jelas terlihat, wajahnya sedang berusaha menahan.
"Jangan Non. Sebentar saya ambilkan obatnya dulu."
Mayra ingin mencegah, tapi pak security yang bernama Herman sudah hilang dibalik pintu kaca.
"Ini, Non. Ada salep, dipakai saja dulu. Supaya perihnya sedikit reda."
Mayra mengangguk dan menerima obat berbentuk odol itu dari tangan pak Herman. Dengan hati-hati ia mengoles pada luka yang mulai nampak dagingnya itu.
Mayra meringis lagi. Air matanya hampir menetes.
"Sudah, Pak. Terimakasih."
Ia mengembalikan obatnya tanpa melihat. Takut pak Herman memergoki matanya yang berkaca-kaca.
"Sama-sama, Mbak."
Setelah dirasa air matanya aman dari tetesan, Mayra mendongak. Pak Herman masih berdiri di sebelahnya agak jauh.
"Maaf, Pak. Apa benar disini butuh seorang Cleaning servis?" tanya Mayra hati-hati dan penuh harap.
"Benar, Mbak. masih butuh satu orang lagi."
Mendadak rasa sakit yang ia rasa hilang sendiri, dikalahkan oleh rasa senang tak terhingga.
"Apa saya boleh melamarnya?" Jelas wajah Mayra sangat berharap.
Pak Herman melihat pada arah kakinya.
"Saya baik-baik saja kok, Pak. Malah lebih dari ini pernah terluka." Ujar Mayra penuh yakin. Ia tahu security didepannya meragukan gerakan kakinya nanti saat bekerja.
"Baiklah, Mbak. Ikut saya ke dalam." Pak Herman pasrah, biar nanti yang menentukan orang di dalam.
Dengan semangat Mayra mengikuti pak Herman, walau rasa lapar masih terasa, tidak menjadi penghalang baginya. Ia berdoa semoga tidak sia-sia di dalam sana.
Selama lima belas menit Mayra diwawancarai oleh seorang wanita di sebuah ruangan di lantai paling atas. Memang hanya sebagai tukang bersih-bersih, tapi mereka menerima pekerja yang jujur, rajin paling utama itu adalah disiplin.
Karena Mayra pernah bekerja sebagai seorang cleaning servis sebelumnya, jadi ia dengan mudah diterima. Biasanya sampai setengah jam baru selesai, menurut pak Herman.
Alhamdulillah, ia berucap syukur. Kalau kita berusaha, Insya Allah akan ada jalan keluarnya.
Ia harus segera pulang, dan menyiapkan tenaga untuk besok hari pertamanya di tempat baru.
Bagaimana kelanjutan kisah Mayra? tetap pantau di bab berikutnya ya
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Win Whienss
lanjuuttt Thor..Semangat
2022-11-28
1
Nurul Huda
agak beda ceritanya dari novel yg pernah ku bc.
utk sementara bagus ceritanya,smoga aja banyak yg bc,
sukses utk penulisnya.
jgn terlalu panjang crtanya takutnya bosen.
2022-10-13
1