Bab 16 Keluhan Tini

Tepat setelah magrib, Tini datang ke kos Mayra dengan membawa sedikit olahan masakannya. Ia berniat makan malam dengan sahabatnya. Sudah ia kabari terlebih dulu, jangan sampai Mayra juga masak.

Mereka makan berdua dengan bergurau sambil bercerita masa dulu saat di kampung. Teringat Tini yang terjungkal ke sawah orang dan di kejar sapi gara-gara memakai baju warna merah.

"Aku nggak habis pikir, bisa-bisanya cuma aku yang dikejar sapi pak Mamat. Kamu juga baju merah." Sungut Tini yang disambut tawa Mayra.

"Aku juga ikut sembunyi loh, nggak taunya aku malah jatuh ke parit." Sambung Mayra.

"ha ha ha ... iya, bener." Tini ikut tertawa.

Mereka berdua saling bernostalgia suasana di kampung. Tiba-tiba Tini terdiam. Matanya berkaca-kaca.

"Kamu kenapa, Tin?" Mayra menjadi khawatir.

"Aku kangen ibu dan adik aku, May ... "

Mayra mengusap punggung Tini dengan pelan. Ia bisa mengerti, ia sendiri juga merasakan rindu yang sangat pada keluarganya.

"Mereka kira-kira bisa hidup tenang apa nggak? hari ini mereka makan apa?" Tini terisak.

Mayra bingung, maksud sahabatnya itu apa? bukankah Tini pernah cerita kalau Indra setiap bulan mengirimkan uang untuk ibu dan adik Tini sebagai bentuk perhatiannya pada keluarga istrinya. Walaupun tidak banyak, paling tidak, cukup untuk keperluan sehari-hari adiknya sekolah.

Mayra ingin bertanya, tapi takut Tini tersinggung.

"Kamu harus sabar ya, berdoa aja semoga Allah selalu melindungi keluarga kamu disana. Allah Maha Pemberi, nggak akan menguji hamba-Nya diluar kemampuan."

Tini mengangguk, "iya, May."

Mayra berpikiran lain, tidak mungkin sahabatnya itu secara mendadak teringat keluarganya dan langsung menangis. Pasti ada sesuatu yang terjadi. Atau dengan suaminya?

"Kamu bisa cerita apa aja sama aku. Aku selalu siap untukmu." Mayra mulai memancing Tini.

Tini seperti ragu, wajahnya seketika berubah meskipun sembab setelah menangis.

"Udah, kita lanjut ngerujak aja." Alih Mayra. Sahabatnya itu membawa beberapa buah-buahan yang sudah siap untuk membuat rujak.

"Kamu kayak orang ngidam aja, malam-malam gini ngajak makan rujak. Tanggung jawab kalau aku mules." Lawak Mayra dengan sengaja membuat sahabatnya kembali ceria.

"Aku juga nggak tau, apa mungkin aku hamil ya?" Tini tiba-tiba berhenti dari makannya.

"Kamu itu gimana sih?" gerutu Mayra, walaupun ia belum paham tapi sedikit mengerti tanda-tanda orang hamil. Mayra sering mendengar anak tetangganya yang ingin makan rujak tengah malam saat baru hamil.

"Kamu udah periksa belum?"

"Belum." Jawab Tini lesu.

"Kamu masih haid?" tanya Mayra lagi, sudah seperti bidan di kampungnya yang selalu siaga jika ada pasien yang berobat ke polindes, apalagi jika mereka yang baru menikah.

"Terakhir dua bulan lalu." Tini baru sadar jika ia sudah tidak menstruasi bulan ini.

Mayra menepuk jidatnya, "kamu itu kok bisa gegabah gitu sih, Tin? kenapa nggak ke dokter buat mastiin?!"

"Aku nggak berani pergi sendiri, lagian aku nggak mengerti nanti di rumah sakit." Ucap Tini dengan sedih.

Bisa dimaklumi mereka berasal dari kampung yang agak jauh ke pedalaman. Tapi antara Mayra dan Tini, lebih banyak paham Mayra dalam beberapa hal.

"kan ada suami kamu yang bisa temenin."

Tini tidak segera menjawab, ia menunduk sambil mengaduk teh hangatnya yang tinggal sedikit lagi dalam gelas.

"Apa suami kamu nggak tau kalau kamu udah telat?"

"Aku nggak inget pun kapan terakhir mens?"

"Kok bisa gitu? macem nggak pingin punya anak aja deh kalian berdua?!" kesal Mayra.

Tini mengusap air matanya yang mulai menetes lagi.

"Udah, jangan dimasukin hati. Aku cuma bercanda. Maaf ya, Tin." Mayra memeluk sahabatnya. Ia jadi tidak enak sudah berkata lancang begitu.

Tini menggeleng lemah. "Kamu nggak salah, sepertinya mas Indra nggak ingin punya anak dulu."

"Maksud kamu?" Mayra kaget.

"Dia nggak pernah bahas soal anak lagi semenjak pindah ke rumah kami yang sekarang. Kalau aku yang ngomong duluan, dia pasti jawabnya, nanti aja kita mikirnya jangan sekarang." Akui Tini tentang sikap suaminya.

Mayra menjadi geram, bayangan Indra dengan wanita di Mall melintas begitu saja.

"Kamu nggak nanya alasannya apa?"

"Kata Mas Indra, kami masih muda. Jadi, nikmati masa-masa pernikahan dulu sebelum sibuk ngurus anak." Tini terlihat sedih.

Sejenak Mayra berpaling ke arah lain. Wajah tidak sukanya nampak jelas.

"Tapi, kamu harus segera ke dokter kandungan. Besok aku minta izin buat nemanin kamu."

"Makasih ya, May." Tini memeluk sahabatnya dengan kuat. Ia membutuhkan tempat untuk berbagi.

"Sama-sama, apapun yang kamu rasain tolong jangan segan cerita sama aku ya." Mayra balas memeluk. Matanya terpejam sesaat, ia bisa ikut merasakan kegundahan hati sahabatnya saat ini.

Tidak lama Tini pamit, Indra menjemput tapi tidak mampir. Mayra cuma berdiri di pintu kos-nya saja, karena Indra tidak berniat untuk menyapanya. Padahal mereka bersahabat dari kecil, kenapa sepertinya pria itu membuat jarak dengannya.

Aneh, yang membantunya masuk kerja walaupun jadi OG di mall tempatnya bekerja saat ini adalah dia. Malah sekarang seperti orang yang tidak pernah saling kenal.

Mayra masuk dan menutup pintu. Tini sudah pulang, suaminya menjemputnya dengan motor. Suami sahabatnya itu juga sudah sanggup beli mobil, Mayra baru tahu. Tini yang mengatakannya sendiri.

Sebagai asisten manajer mungkin uangnya sangat banyak. Mayra berpendapat begitu.

Mayra tidak mau berpikir lebih, semoga saja yang terlintas di benaknya tentang Indra hanyalah asumsi buruknya saja.

Mayra membersihkan diri sebelum akhirnya beranjak tidur. Tubuhnya memang sangat lelah.

Keesokan paginya Mayra berhasil mendapat izin dari kepala OG. Ia dengan cepat menghubungi Tini bersiap-siap pergi ke rumah sakit.

Dengan menumpang taksi, kedua sahabat itu tiba di rumah sakit terdekat.

Mereka mendaftar dan menunggu antrian di depan ruang dokter spesialis kandungan. Setengah jam baru nama Tini dipanggil.

Tini menggenggam tangan Mayra saat mereka sudah di dalam.

Seorang dokter wanita berhijab tersenyum ke arah mereka setelah keduanya dipersilakan duduk.

"Ibu Hartini?" dokter cantik itu melihat mereka berdua.

"Saya, Dokter." Tini menjawab dengan sedikit menunduk.

Dokter itu tersenyum lagi.

"Jangan khawatir, Ibu rileks ya."

"Baik, Dok." Lirih Tini.

Mayra mengusap punggung Tini. Ia tahu sahabatnya sedang sangat gugup.

"Bisa tolong diceritakan keluhannya, Ibu?" tanya dokter yang bernama Farah Zuraya dengan ramah.

"Saya sudah telat haid dua bulan yang lalu, Dok." Tini memberikan keterangan tentang keluhannya.

"Sudah di tespeck sebelumnya?"

"Belum, Dok."

"Baiklah, kita tes dulu ya." Ujar Dokter Farah, lalu memanggil seorang perawat.

Tini masuk ke dalam toilet yang ada di ruang tersebut. Seorang perawat wanita menunggu di luar pintu.

Mayra menunggu dengan gelisah, walaupun dirinya sudah yakin kalau sahabatnya sedang berbadan dua.

Tini keluar dengan tespeck di tangan. Mayra bisa melihat wajah sahabatnya pucat dengan tangan gemetar. Bergerak cepat Mayra menuntun Tini kembali duduk.

Alat tes kehamilan itu sudah berpindah ke tangan dokter Farah. Tini menatap Mayra yang mengangguk. Tangannya tidak berhenti mengusap lengan sang sahabat.

"Kalau dari hasil ini kita bisa melihat hasilnya kalau Ibu positif hamil." Dokter Farah tersenyum.

Tini melihat pada Mayra, air mata Tini menetes. Ia sangat terharu, bahagia bercampur satu. Mayra juga merasakan hal yang sama. Ia berdoa calon bayi dalam kandungan sahabatnya akan baik-baik saja. Tini langsung memeluk Mayra.

Dokter cantik itu lalu berkata lagi, "Sebaiknya kita lihat hasil yang lebih detilnya, ya."

"Baik, Dokter." Sahut Tini, tangannya mengelap wajahnya yang basah.

Dokter Farah menyuruh Tini berbaring, dengan bantuan perawat bagian gamis Tini disingkap hingga perut.

Tini segera di USG. Dokter Farah tidak berhentinya tersenyum.

"Ibu bisa melihat sendiri 'kan, itu janin Ibu masih berupa titik tapi tidak lagi kecil."

Tini lagi-lagi mengusap air matanya yang terus menetes. Mayra dengan setia berdiri di samping. Seharusnya posisi ini Indra, bukan dirinya. Dalam hati Mayra ingin sekali memaki lelaki itu.

"Alhamdulillah, usia kandungan Ibu sudah berjalan delapan minggu. Janinnya juga sehat."

Tini terus menerus mengucap syukur. Pikirannya hanya satu saat ini, jangan sampai suaminya tahu jika ia hamil. Tini sangat takut, pasti suaminya marah besar.

Mayra bisa menangkap ekspresi wajah Tini yang berubah. Ini pasti gara-gara Indra.

Perawat membantu Tini bangun dan merapikan kembali bajunya.

"Usia kandungan di trimester awal begini sangat rentan. Ibu harus bisa menjaga kesehatan Ibu dengan baik. Jauhkan dari pikiran yang bisa membuat stress. Itu salah satu paling berpengaruh." Dokter Farah menjelaskan dengan pelan.

Situasi itu yang sedang Tini alami. Pikirannya tidak tenang selama ini.

"Baik, Dok. Saya akan sering-sering mengingatkan sahabat Saya ini." Jawab Mayra karena diam.

Dahi dokter cantik dan masih muda itu mengernyit.

"Maaf ya, kalau Saya lancang. Suami Ibu Tini kemana?" dokter Farah bertanya dengan hati-hati. Karena ini termasuk privasi pasien.

"Ada Dokter. Tapi sekarang sedang sibuk, nggak sempat menemani Saya." Jelas Tini.

"Oh, begitu." Dokter Farah mengangguk tanda mengerti.

"Baiklah, Saya akan memberikan vitamin untuk kesehatan dan kesuburan kandungan Ibu. Ingat, pesan Saya ya. Jangan stress dan atur pola makan yang sehat jika Ibu menginginkan bayi Ibu tumbuh sehat disana." Ingat dokter Farah sekali lagi. Hatinya berkata kalau pasiennya sedang banyak beban pikiran. Ia bisa menduga lewat gerakan wajah si pasien.

Setelah itu, Mayra dan Tini keluar. Mayra yang mengurus semua resep obat dan biaya pemeriksaan.

Selagi menunggu di depan loket obat, mata Mayra mengitari sekeliling area lantai bawah rumah sakit.

Deg!

Matanya tertuju pada pasangan yang sedang berjalan berdua hendak masuk ke salah satu ruang rawat inap. Ingat, sangat mesra. Si wanita bergelayut manja di lengan sang lelaki. Sehingga sebelah dadanya yang mo**o* bergesekan pada tubuh pasangan laki-lakinya.

Itu Indra dan tunggu!

Itu wanita yang ia lihat di Mall. Wanita yang bekerja sebagai karyawan disana. Hati Mayra serasa diremas, dirinya juga merasakan sakit. Sakit karena sahabatnya diabaikan begitu saja oleh suaminya.

Mayra melihat pada Tini dengan cemas. Sahabatnya itu sedang tertunduk, tangannya terlihat mengelus perutnya yang masih rata.

Jangan sampai Tini melihat tingkah suaminya. Cukup dia saja yang tahu. Kalaupun nanti ia juga mengetahuinya, berarti itu bukan darinya. Mayra tidak sanggup jujur karena terlalu sakit untuk mengungkap.

Indra dan wanita itu sudah masuk ke ruang tersebut. Syukur, Mayra pun sudah selesai. Ia harus cepat membawa Tini pulang sebelum pasangan itu keluar.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!