Setelah kejadian malam ketika Tuan Munir datang memperingatkan Mayra, ia menjadi lebih diam. Apalagi isi surat dari Tini, walaupun tidak secara langsung ia tulis, jika keluarga Tuan Munir ikut mengancam Tini juga.
Malam itu juga tatkala adiknya sudah tidur pulas, ia bangkit menuju lemari. Ia ambil surat Tini yang di simpan di bawah lipatan baju. Ia baca dengan seksama.
Teruntuk
Sahabatku, saudaraku Mayra
Maaf, jika aku tidak melalui telpon mengabarimu. Aku tidak sanggup menahan jika tidak menangis. Aku juga tidak sanggup mendengar suara mu. Aku tahu, kau sangat menderita. Mungkin maaf ku, tidak akan membuat masalahmu selesai. Tapi aku tetap harus minta maaf, semua karena ku! (Mayra dengan cepat menggelengkan kepalanya, air matanya menetes) aku bukan sahabat yang baik bagimu.
Aku harus pergi, aku harus ikut suami. Aku tidak ada di sampingmu ketika kamu butuh tempat berbagi. Aku pergi, setelah meninggalkan begitu banyak beban untukmu. Sahabat seperti apa aku ini, tapi Mayra tolong jangan membenciku, aku tidak sanggup!! Di dunia ini, selain ibuku cuma kamu tempatku bersandar.
Oh ya, Mayra besok aku berangkat, tepatnya aku pindah. Kalau kamu masih di desa, aku ingin minta tolong sekali lagi. Jenguk lah ibuku, mungkin kehadiran mu bisa menghilangkan rasa rindunya padaku.
Kamu jangan menemui ku, karena kini aku mengerti kenapa kamu sering menghindari ku.
Sekali lagi, dalam hidupku cuma kamu sahabat terbaikku!
Salam sayang,
Tini
_____
Hari ini kepindahan Tini. Mayra ingin sekali menemui sahabatnya itu. Jam dinding berwarna biru, yang ada gambar bunga di pojok arah jarum dua belas menunjukkan jam 9 pagi. Ia mengikuti kata hatinya, ingin melihat keberangkatan Tini.
Ditapaki gang sempit di persimpangan depan rumahnya. Ia melihat dari jauh, rumah Tini nampak penuh dengan tetangga. Mungkin hanya sekedar melihat atau juga sekalian Tini mohon pamit. Di depan pintu berdiri tuan Munir, dan Anjani duduk santai di kursi plastik di teras mungil rumah Tini.
Ada sekitar tiga orang pria mungkin itu bawahan tuan Munir, mengangkut koper dan tiga buah kardus ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan depan. Dibelakang nya diikuti Tini, ibunya dan dua ibu-ibu tetangganya. Sedangkan suaminya masih berbincang sebentar dengan tuan Munir, lalu ikut menyusul.
Tini terlihat melihat ke jalan tempat Mayra bersembunyi di samping sebuah kios kecil. Lama ia melihat, hingga suaminya dibelakang menepuk pelan bahunya. Pandangan Tini teralihkan pada ibunya. Mayra ingin berlari, memanggil keras nama sahabatnya. Ia ingin memeluk yang terakhir kali, sahabat sedari kecil tidak pernah berpisah.
'Tanpamu, aku bisa apa?' tangis Mayra tertahan, inginnya ia berteriak.
'Tiniiiiiiii ...' dirinya terus memanggil dalam diam seiring mobil yang ditumpangi Tini dan suaminya menghilang dibelokkan jalan.
Matanya mulai berkunang-kunang, pandangannya kabur, kepalanya berat, tiba-tiba 'bruk' Mayra terjatuh di samping kursi kayu kios.
_____
Mayra sedang menemani ibunya ke sawah. Bapaknya tidak bisa pergi karena menghadiri acara rapat yang diadakan di balai desa. Sekarang musim menanam, jadi harus dibersihkan dulu sisa-sisa panen padi bulan lalu, supaya bisa terus ditanami lagi. Sawah yang tidak luas itu merupakan warisan dari kakek Mayra, ayah dari bapaknya. Sedangkan ada dua sawah lagi yang letaknya bersisian itu, kepunyaan saudara sepupu bapaknya juga.
Mereka meminta orang tua Mayra yang menggarap.
Sekarang saat ia istirahat sejenak di gubuk kecil, yang hanya muat empat orang saja, ia jadi teringat tawaran pamannya itu saat mereka berkunjung tiga bulan lalu.
'Ada baiknya jika aku ke kota, kasihan ibu sama bapak. Aku ingin membantu mereka dengan bekerja disana.' Mayra berucap dalam hati.
"Jangan terus melamun, nanti jodohmu orang jauh loh Nak!" Ibunya menegur ketika mendekat ikut istirahat.
"Ah, ibu bisa aja. Siapa sih bu yang melamun?"
"Itu kamu sendiri, matanya melihat ke arah ibu tapi hatimu ke arah lain."
Mayra tersenyum, "Bu, jika aku ingin mencari pekerjaan ke kota, apa ibu sama bapak mengizinkan?" Mayra dengan hati-hati berucap.
Ibunya yang tengah memperhatikan lantai gubuk yang papannya sudah dimakan rayap itu, dengan cepat menoleh.
"Kamu ingin ke kota?" Tanya ibunya memastikan lagi.
Mayra mengangguk, lalu menunduk melihat ke arah kakinya yang terkena lumpur sawah. Ia tidak sanggup bertatapan dengan mata ibunya.
"Kamu tahu 'kan kehidupan disana bagaimana? tidak, jika dari ibu tidak ada izin!"
Mata ibunya agak berkilat tatkala berkata begitu. Ia tidak mau anak perempuannya itu tinggal jauh dari mereka. Cukup putrinya itu tinggal dirumah atau membantu di sawah saja. Tidak perlu cari kerja, toh nanti jika ada jodoh akan menikah dan ikut suami.
"Itu sahabatmu Tini, tidak pusing-pusing mencari kerjaan. Tiba-tiba ada yang melamar langsung menikah." Ibunya melanjutkan lagi.
Pemikiran ibunya yang masih awam atau ada alasan lain, entahlah. Kita pun semua tahu, ibu mana yang ingin berpisah dengan anaknya?
"Sebenarnya bibi Siti dan paman Mail pernah nawarin ikut ke kota." Mayra akhirnya jujur juga.
"Hidup mereka 'kan pas-pasan, Nak. Anaknya masih sekolah juga." Ibunya tetap beralasan.
"Ya, 'kan cuma sementara aja tinggal disitu. Kalau udah ada kerjaan, nanti aku cari kost-an Bu."
Ibunya diam saja, ia tidak ingin membahasnya.
"Ayo, kita pulang. sudah mau masuk dhuhur."
Mayra sementara mengalah saja dari ibunya, ia akan membicarakan dengan bapaknya nanti dirumah. Mudah mudahan bapaknya setuju, dan tidak ada pemikiran seperti ibunya itu.
Ibunya sudah melangkah ke depan. Mayra segera bangkit tapi tanpa di sengaja, matanya melihat warna mengkilat di rerumputan dekat gubuk. Tangannya terulur mengambil, sebuah liontin berwarna perak sangat indah. Mayra tidak tahu itu mahal atau bukan. Buru-buru ia masukkan ke dalam tas segipanjang yang tergantung dipundaknya. Tas dari bahan kain batik murah, dibeli ibunya seharga tiga puluh ribu di pasar malam.
_____
Di sebuah rumah mewah klasik modern, yang terletak di antara perumahan elit. Rumah yang cat nya dominan berwarna putih gading dengan atap berwarna coklat tua, sangat megah terpampang dari arah luar. Rumah bergaya Eropa itu memiliki dua lantai yang sangat luas. Di halaman belakang terdapat kolam renang, dengan disisi kiri-kanan berupa taman yang ditanami bunga-bunga cantik.
Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan tahun, namun masih terlihat bugar dan kecantikannya sungguh mempesona. Disampingnya seorang gadis yang tidak kalah juga cantik, ia adalah putri bungsunya. Yang wanita dewasa tengah menelusuri sebuah majalah tentang tata boga. Sedangkan sang gadis asyik dengan ponselnya.
"Mama heran sama kamu, tiap libur kampus selalu dirumah." Sang mama sekilas melihat anak gadisnya.
"Jadi Mama maunya aku kelayapan gitu? ntar juga Mama yang ngomel-ngomel." Ujar sang gadis.
"Setidaknya bawa teman kamu ke rumah, 'kan Mama pengin tahu temanmu siapa."
"Nanti deh, kalau ada yang pas."
"Jadi, kamu nggak ada teman atau sahabat dekat?" Mamanya agak terkejut.
Anak gadisnya mengangguk santai, sedangkan mulutnya mengunyah cemilan.
"Kamu ini!" Mamanya menepuk pelan paha sang anak.
"Mama ...?" mulutnya mengerucut lucu.
"Liatin Mama, jangan gitu!" Mamanya gemes sendiri sambil memegang kedua pipi anaknya.
"Kenapa kamu nggak punya teman? kamu cantik, pinter, mau gabung-gabung sama temen juga bisa kok, Mama bisa ngasih kamu uang." Mamanya melanjutkan.
"Ih, Mama jadi sombong deh ngaku banyak uang."
"Mama nggak suka menyombongkan diri, nggak baik. Tapi 'kan bener apa yang Mama bilang. Kamu sendiri tuh, anak gadis temennya nggak punya."
Mama sama anak asyik berdebat soal sang anak tidak ada teman, dari arah pintu menuju ke taman datang seorang pemuda gagah tinggi, tampan, berbadan atletis. Dengan ditubuhnya terbalut setelan jas warna hitam dan celana berwarna serupa, makin menambah nilai ketampanannya. Jika para wanita yang melihat, pasti akan tergila-gila.
Mama memalingkan wajahnya, ketika merasa ada bayangan orang menghampiri.
"Kesayangan Mama udah pulang?" Mama menyambut kepulangan putranya dengan senang.
"Giliran kakak dipanggil kesayangan, aku kena ngomel-ngomel terus dari tadi."
Pemuda yang dipanggil kakak oleh gadis tersebut tersenyum lebar, sambil mencium pipi kiri kanan mamanya, ia mengacak-acak rambut hitam panjang adiknya.
"Emang kakak kesayangan Mama kok." sahut sang kakak.
"Tau ah!" mulutnya mengerucut.
Mama dan kakaknya tertawa melihat tingkahnya. Sebuah keluarga yang harmonis, walaupun hidup bergelimang harta, tapi mereka bukan keluarga yang angkuh. Saling menyayangi sesama, dengan para pekerja dirumah kompak, sang majikan tidak membeda-bedakan mereka.
Apakah hidup mereka terus bahagia seperti ini? Ikuti terus ya dear!
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Eliani Elly
lanjut lagi thor
2023-01-03
0