Sebelum subuh Mayra sudah bangun. Setelah membersihkan diri di kamar mandi yang terletak paling belakang dapur, ia ikut membantu menyiapkan makanan dagangan Bibi Siti.
Lontong sayur dan pecel sudah siap. Tinggal nasi gurih yang hampir jadi di kukusan. Rak yang terbuat dari kayu bersusun dua tingkat telah di lap bersih oleh Mayra, juga kursi plastik dan meja seadanya pun tertata rapi.
"Sini Bi, biar aku yang bawain aja."
Mayra mengangkut peralatan jualan, bibinya menyiapkan keperluan anak-anak sekolah. Yang sulung kelas X SMA sudah berangkat. Tinggal yang tengah yang kelas VIII SMP masih sarapan. Sekolah nya pun dekat. Yang bungsu sudah bangun, asyik mengekor kemanapun Mayra melangkah. Sungguh lucu sekali, memang anak kecil mungkin dia tahu hatinya nyaman berdekatan bila dengan Mayra.
"Sudah mulai buka ya, Non?" sapa seorang laki-laki yang mulai berumur, nampak dari rambutnya hampir tertutup uban.
"Sudah, Pak. Bapak mau makan?" Mayra membalas dengan sopan, juga dengan senyumnya yang khas itu.
"Iya, dong Non. Masa di anggurin ada yang enak di depan mata!?"
Mayra menangkap maksud lain dari kata-kata bapak itu.
Bapaknya maju sedikit berdekatan dengan Mayra.
"Bapak mau lontong sayur atau lontong pecel? nasi juga ada." Mayra bersikap sesopan mungkin.
"Lontong sayur aja, yang seger gitu he he he."
Mayra mengernyitkan keningnya. Bapak ini agak kelewatan ketika bicara. Mayra tidak suka.
"Makan disini atau dibungkus aja?" tanya nya lagi. Ia berharap supaya bapak itu minta dibungkus saja.
"Makan disini aja." ujarnya sambil celingukan ke belakang.
Mayra menghela nafasnya, mungkn ini yang dimaksud ibunya dikampung. Godaan datang dari arah mana saja.
Mayra menjadi risih, dari arah samping ia tahu jika mata bapak itu menatapnya terus. Padahal pakaian yang dikenakan Mayra termasuk sopan, terusan yang longgar dengan kerudung bulatnya.
"Karyawan barunya Siti ya Non?" Karena sangat penasaran, bapak itu ingin tahu.
"Dia keponakan ku dari kampung." Paman Mail yang menjawab dengan nada agak ditekan.
Mayra menjadi lega, ternyata pamannya ikut keluar.
"Oh, ya ya..." bapak itu terlihat salah tingkah.
"Tumben hari ini Pak Mamat makan disini? biasanya minta dibungkus. Apa Bu Tejo nggak sedang di rumah?" Paman Mail mengintimidasi.
"Iya, ya a-ada." Pak Mamat gugup seperti maling jemuran ketangkap ibu-ibu komplek.
Paman Mail membantu Mayra membawa pesanan Pak Mamat. Ia diminta masuk saja, akan dipanggil jika ada pembeli datang.
Paman Mail melirik Pak Mamat yang matanya memandang tubuh Mayra tanpa berkedip.
"Ehmm" Paman Mail mendehem.
"Ah, kamu ngomong apa?" Pak Mamat kaget.
"Silahkan dimakan terus, nanti malah lalat yang hinggap."
"Iya ya, dimakan sekarang." Pak Mamat segera memakan lontongnya. Ia nampak tidak betah. Matanya sesekali mengarah ke rumahnya.
"Pak Mamat kenapa gelisah begitu? ada yang ditungguin?"
"Ti-tidak!"
Paman Mail mengangguk saja, walau dalam hati menahan kesal karena tingkah pria tua sudah beristri pun masih melirik gadis muda.
Dari jauh Bu Tejo menghampiri. Paman Mail berpura-pura tidak tahu saja.
"Oh, bagus Pak! tak ditungguin nggak nongol-nongol. Rupanya mangkal disini, mana lontong pesanan aku?!" Bu Tejo memukul-mukul lengan suaminya.
Pak Mamat kaget bukan main. Sendok ditangannya sampai terpelanting. Tidak disangka istrinya memergokinya sedang makan. Pak Mamat tidak berani melawan, ternyata takut istri toh pak!
Luaran saja terlihat jagoan lapuk.
"Bu Tejo, udahan. Malu diliatin tetangga!" paman Mail menengahi.
Suaminya, pak Mamat tetap diam saja, matanya melirik ke arah dalam rumah paman Mail. Mungkin takut ketahuan Mayra. Memang urusan apa sih pak? (Author jadi ikutan geram deh)
"Cepetan, habiskan. Ikut pulang sekarang!"
Pak Mamat buru-buru menghabiskan sisa lontongnya. Dirogohnya kantong celana, dengan buru-buru membayar.
"Ayo, cepetan!" Bu Tejo menjewer telinga suaminya menarik paksa pulang.
Tetangga yang hendak membeli jadi cekikikan.
"Emang enak dibawah ketiak istri!" Ujar seorang pemuda yang perkiraan usianya dua puluh tiga tahun.
"Eh, anak muda. Belum tahu aja kalau udah punya bini nggak bisa kemana-mana!" seorang pria menyahut. seorang anak kecil dalam gendongan.
"Pergi kerja masa nggak boleh juga sih, Mas?" anak muda tadi tidak mau kalah dengan asumsinya itu.
"Kalau nggak kerja, siap-siap nggak usah pulang aja sekalian." Ibu bertubuh sedikit gemuk menyela.
"Waduh!" Anak muda itu cengengesan, dengan tangan menggaruk kepalanya yang berantakan sepertinya belum mandi.
Paman Mail cuma menggeleng-gelengkan kepalanya. Bibi Siti keluar dengan Mayra menyusul di belakang.
"Wah, ada bidadari Mbak? cantik pisan!" Ibu bertubuh sedikit gemuk itu memuji Mayra.
"Iya, keponakan saya, Teh. Baru datang dari kampung kemarin." Bi Siti menjawab sambil tersenyum.
"Seperti biasa, Teh?" Bi Siti balik bertanya pesanan ibu tadi.
"Iya, lontong pecel pedes sama nasi dua."
"Bu, aku yang duluan datang. kenapa ibu yang mesennya duluan?" anak muda itu pura-pura kesal. Padahal ia sengaja tidak memesan dulu apalagi kalau bukan Mayra alasannya.
"Matamu sibuk ke anak gadis orang!" Ibu itu menepuk pelan pundak pemuda itu.
"Tau aja, Bu he he he."
Mayra jadi tersenyum geli melihat tingkah tetangga barunya disini. Yang ini ia tidak marah, sikap pemuda itu sopan walaupun gurauan nya sedikit berlebihan.
Mayra sibuk membantu bibinya menyiapkan pesanan pembeli.
Ada tiga orang pria yang sedang menunggu nasinya dihidangkan. Dari mereka terdengar kabar jika pemilik Mall yang sedang dibangun tidak jauh dari perumahan padat ini akan datang berkunjung.
"Katanya pemilik Mall itu ganteng sekali" Salah satu bapak bertopi hitam bertuliskan Ni*e itu berkata.
"Pasti orang kaya!" celetuk bapak yang sebelah kanannya.
"Iya dong, Han. Kalau nggak berduit banyak mana bisa buat mall. Kamu kalau ngomong kudu pasti toh!" bapak yang satunya lagi ikut bicara.
Terdengar ketawa dari ketiganya. Paman Mail ikut bergabung.
"Saya dengarnya juga begitu, Pak Ali. Hari ini pemiliknya datang dari Jakarta."
Pak Ali, yang memakai topi itu manggut-manggut, "masih muda, juga tampan. Yang pasti belum menikah."
"Pasti wanita yang tergila padanya banyak 'kan Pak?" bi Siti ikut nimbrung.
"Tapi biasanya, orang seperti mereka itu pemilih, Mbak. Tidak asal aja menikahi wanita."
Kali ini bapak sebelah kiri pak Ali yang menjawab.
"Iya, betul!" Ujar paman Mail.
Mereka asyik membahas pembangunan Mall yang hampir rampung itu. Mayra tidak terlibat pembicaraan, ia hanya jadi pendengar saja.
_____
"Mas! Mas, bangun!" suara seorang gadis terdengar cemas.
"Mas!" gadis itu berulang-ulang menggoyang-goyangkan bahu seorang pemuda.
"Ya Allah, tolong!" Gadis itu semakin panik.
Pria bermasker itu berbaring tak berkutik, sepertinya pingsan. Dari jauh terlihat bayangan orang mendekat.
"Tuan! Syukurlah Anda disini. Tapi, Nona kenapa dengan Tuan ku?"
Tubuh rapuh dari seorang gadis yang mencoba membangunkan seorang pria yang pingsan pada gubuk tuanya, hanya menggeleng lemah. Ia tidak tahu menjawab apa karena tidak ada dalam pikirannya untuk bisa menemukan jawaban yang tepat.
"Tuan! Mas! bangun!" Suara bersahutan terdengar kembali.
"Mas!" suaranya terdengar lembut, merasuk hingga ke rongga gendang pendengarannya yang terdalam. Suara yang sangat ingin di dengarnya lagi dan lagi.
"Mas!" terdengar sayup-sayup.
Matanya perlahan terbuka, lalu terpejam lagi. Ia berusaha untuk kembali bisa melihat cahaya disekitarnya. Sedikit menyipit, netra nya dapat menangkap sesosok wajah yang berurai air mata. Siapa sosok yang buram di penglihatannya itu? dan kenapa juga ia menangis?
"Aaaaahh!" seorang pemuda tiba-tiba terduduk di atas pembaringan yang empuk pada sebuah ranjang ukuran luas.
Peluh bercucuran, nafasnya terburu. Cahaya redup dari sebuah lampu tidur terpantul pada sosok tampan yang terbangun di tengah malam.
Mimpi itu lagi, mimpi yang sama. Juga suara yang sama, yang sangat ingin di dengar di dunia nyatanya. Aneh, kali ini ia sangat merindukan pemilik suara itu. Seketika jantungnya berdegup kencang seolah jangkauan tubuh itu sangat dekat.
Arthur memegang kepalanya. Setiap mimpi itu datang, selalu disertai denyutan di kepalanya. Ia meraih botol minuman yang tersedia di atas nakas sisi pembaringannya. Sekali teguk ia habiskan setengah botol. Tenggorokannya terasa sangat kering.
Kaki jenjangnya menapak di lantai kamar hotel yang sekarang di inapnya. Matanya menyapu keadaan sedikit lengang di sekitar hotel mewah di kota Tangerang. Tidak jauh dari situ, Mall miliknya yang hampir rampung itu terlihat.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments