Setelah membuat sarapan dan bekal untuk ibu bapaknya bawa ke sawah, Mayra masuk ke kamar. Adik-adiknya sudah berangkat sekolah, ia seorang diri di kamar jadi di ambilnya liontin berwarna perak itu.
"Punya siapa ya?" ia bicara sendiri. "Kalau aku membukanya?" Mayra ragu, besar ingin tahunya isi liontin itu. Pikirnya jika ia buka, siapa tahu di dalamnya merupakan foto orang yang ia kenal. Kemungkinan bisa dikembalikan hari ini.
Tangannya perlahan membuka, matanya menyipit. Sepasang foto anak kecil, wajahnya sangat mirip seperti anak kembar. Kedua foto itu di ambil di waktu yang sama, terlihat dari kecocokan tempat disampingnya. Ada sedikit perbedaan di kedua foto itu. Anak kecil di sebelah kiri rambutnya lurus dan tebal. Sedangkan di sebelahnya berambut bergelombang sedikit panjang. Keduanya sama-sama memakai baju warna hitam.
Mayra menutup kembali liontin indah itu, "sepertinya mahal sekali." Ia bergumam sendiri.
Bekas lumpur sudah ia bersihkan dari luar, didalamnya tidak kotor sama sekali. Ia menerka -nerka siapa gerangan anak kecil dalam foto itu. Pikirannya menelisik wajah-wajah orang desanya yang kira-kira mirip. Tiba-tiba bayangan itu datang lagi, wajah itu seakan nyata didepannya sekarang. Mayra menutup wajahnya dengan kedua tangan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak ingin mengingat kejadian itu lagi karena setelah itu, ia sering diancam keluarga tuan Munir.
Hari beranjak senja, anak-anak telah bersiap ke surau. Mereka berkejar-kejaran di gang sempit, ada yang bersembunyi di balik rumah-rumah warga. Suara riuh terdengar, sungguh tiada beban bagi mereka.
Makan malam mereka lewati seperti biasa. Hanya sesekali terdengar candaan dari kedua adik Mayra. Sesekali Mayra melirik ibunya, ia ingin tahu apakah ibunya telah mengadu pada bapak, perihal ia ingin mencari pekerjaan.
"Mayra!" Suara bapak memanggil.
"Iya, Pak." Mayra mendekat, mata berbulu lentik itu sekilas melihat ke arah ibu yang diam saja di depan tv.
"Sini, duduk dulu!"
"Apa ada yang ingin kamu bicarakan sama Bapak?" Bapak Mayra menatap langsung ke mata putri sulungnya.
Mayra sedikit ragu, tubuh rampingnya bergeser sedikit ke dinding di belakangnya. Ia beranikan diri melihat ke arah lelaki yang paling dicintainya itu.
"Pak, a-aku...." Mayra gugup.
Bapak dengan tenang menunggu putrinya melanjutkan kalimatnya.
"A-aku boleh nggak ke kota cari kerja disana?" Mayra meremas kedua tangannya. Seakan nafasnya berhenti. Sebegitu hormatnya ia terhadap lelaki yang umurnya sudah tidak muda lagi itu.
Tanpa terlihat mata Mayra, bapak tersenyum. Dielusnya dengan sayang kepala putri yang sangat disayanginya.
Mayra mendongak, matanya berpandangan langsung dengan bapak.
Bapak mengangguk. Mayra terperangah, ia masih ragu dengan anggukan bapaknya.
"Iya, boleh. Tapi ingat dengan nasehat Bapak, kemana pun kita melangkah ingat akan Allah yang selalu mengawasi gerak-gerik hamba-Nya."
Mayra menyimak dengan seksama.
"Dan berlaku sopan lah pada orang lain!"
Manik mata indah berwarna hitam kelam itu berkaca-kaca. Ia tidak menyangka, bapaknya begitu mudah memberi izin. Ia berjanji dalam hati tidak akan pernah menyia-nyiakan kepercayaan orang tuanya.
_____
Hari keberangkatannya pun tiba. Semua keperluannya di rumah pamannya telah ia siapkan. Termasuk juga ijazah dan berkas-berkas lainnya, siapa tahu nanti dibutuhkan.
Ibu dari seminggu yang lalu banyak diam. Putrinya berangkat seorang diri menyisakan kekhawatiran yang sangat besar.
"Aku nggak apa-apa kok Bu, ibu berdoa aja ya!" Mayra memeluk ibunya dengan erat. Ia pun tak kuasa harus tinggal berpisah dari wanita yang melahirkannya. Sebisa mungkin Mayra menahan air matanya supaya tidak luruh.
Ibunya hanya mengangguk, masih sesenggukan dalam pelukan sang anak.
Perlahan ia lepaskan dekapan erat wanita sumber surganya itu. Ia beralih memeluk lelaki yang menjadi panutannya, lelaki yang merupakan cinta pertamanya.
Menepuk pelan pundak putrinya, bapak berpesan jaga diri baik-baik. Mayra menundukkan wajahnya, tak kuasa menahan buliran bening mengalir begitu saja.
Ditatapnya wajah sang adik, mereka berebut memeluk sang kakak tercinta. Mayra merentangkan kedua tangannya, membawa ke dalam pelukan seraya berkata, "Jaga bapak sama ibu baik-baik, kabari Mbak segera jika terjadi sesuatu. Ingat!"
Arman dan Aida tidak mampu menjawab. Hanya anggukan kepala tanda mereka mengiyakan.
Mayra menumpang dengan mobil tetangga yang mengantar saudaranya, kebetulan juga satu arah ke terminal.
Ia melambaikan tangannya, sehingga wajah-wajah orang terkasihnya hilang dari pandangan. Lalu menatap ke depan, mau tidak mau perjuangannya akan segera di mulai.
Hiruk pikuk terminal antar kota mulai terlihat. Mayra segera turun setelah menanyakan ongkos pada tetangganya. Ia sangat berterima kasih, karena ia menumpang cuma-cuma.
Mayra memilih bus menuju kota Tangerang. Dua hari yang lalu ia mengabari pamannya, tentu dengan mewanti-wanti agar Mayra baik-baik saja dalam perjalanan.
Berbekal alamat ditangan, ia sampai pada sebuah pemukiman padat. Rumah berhimpitan kiri kanan. Jalan masuk berupa gang sempit hanya bisa dilalui sepeda motor.
Ada sebuah kios kecil sekitar tiga meter dari tempatnya berdiri. Ia bergegas menghampiri.
"Permisi, Bu! numpang tanya, rumah dengan nomor 12 B apa benar di gang ini?" Mayra bertanya sopan pada seorang ibu penjaga kios.
Ibu itu memperhatikan Mayra dari ujung kepala hingga kaki. Kaki Mayra yang tertutup sepatu lepeknya bergerak mundur sedikit. Ada rasa tidak percaya dirinya dengan tatapan ibu itu. Pakaian sederhana berbahan kaos warna abu tua lengan panjang, dipadukan dengan celana warna hitam lebar dari bahan katun. Kepala tertutup jilbab segiempat warna hitam yang sudah pudar.
Kesan pertama dengan penampilannya seperti itu menimbulkan rasa iba dari orang yang melihatnya. Peluh bercucuran di dahi, bibirnya yang berwarna merah muda nampak pucat.
"Iya, betul. Itu yang bercat hijau muda, empat rumah dari sini." Ibu penjaga kios itu menunjuk rumah yang dimaksud Mayra.
Setelah berterima kasih kepada ibu tadi, ia langkahkan kakinya yang terseret akibat tas besarnya.
Mata Mayra sedikit berembun, tatkala rumah yang tertera di secarik kertas ditangannya ada dihadapannya kini.
Seorang anak kecil membuka pintu, ia mendongak melihat Mayra. Wajah imutnya menyiratkan kebingungan.
"Assalamualaikum, ini pasti Azzam 'kan?" Mayra tersenyum geli menatap anak pamannya yang masih kecil itu.
"Atumcayam," Jawabnya cadel. Mayra bertambah gemes. Anak sekecil dia masih berumur dua tahunan tapi sudah nampak cerdasnya.
"Siapa, Nak?" Seorang wanita berusia 40 tahun menghampiri.
"Mayra? Ya Allah, Bibi dari tadi nungguin kamu. Syukurlah, kamu baik-baik aja 'kan?" Bibi Siti memeluk Mayra. Terasa hangat, sangat nyaman hingga Mayra bisa merasakan ketulusan di sana.
"Alhamdulillah, Bik!"
"Yuk, kamu pasti belum makan 'kan?"
Memang benar Mayra belum makan apa-apa semenjak keluar dari rumah, hanya minum air kemasan saja yang dibelinya di terminal tadi.
Rumah sederhana yang hanya memiliki tiga kamar. Tepatnya kamar ketiga terletak di area dapur, didalamnya berisi kardus-kardus yang tersusun rapi. Mungkin isinya barang-barang bekas.
Mayra menempati kamar itu. Sebuah kasur lesehan yang mulai usang cukup satu orang. Ada meja kecil dipojokan, ia taruh peralatan kosmetiknya yang hanya beberapa itu. Bajunya tetap ia biarkan dalam tas, yang penting rapi.
Kedua kamar lainnya terletak di depan sejajar dengan ruang tamu juga ruang tv. Kamarnya pun tidak luas.
"Makan yang banyak. Ini rumah kamu juga. Kamu bebas mau ngapain aja ya. Ingat, Bibi nggak suka kamu sungkan disini!" Bibi Siti berujar dengan senyuman tidak pernah lepas dari bibirnya.
"Iya, Bik.Terima kasih banyak. Aku juga ingin segera dapat kerjaan." Mayra mengutarakan maksudnya.
"Cepat amat Neng? Bersantai-santai aja dulu. Istirahat dulu beberapa hari, nanti pamanmu yang urus ya."
Akhirnya Mayra menurut saja, yang penting nantinya ada kerjaan. Biar saja dulu ia bantu bibinya masak lontong dan nasi gurih yang dijual depan rumah sebagai sarapan pagi warga setempat.
_____
"Ma, hari ini aku nggak pulang. Ada perjalanan ke Tangerang." Ucap Arthur yang telah rapi dengan setelan jas warna hitam.
Ia menghampiri mamanya di meja makan.
"Loh, biasanya juga Andre yang pergi?" Mama menatap anaknya yang sudah rapi.
"Sarapan dulu! Mama masak nasi goreng." Lanjut lagi mamanya.
"Dia juga ikut." ucapnya dengan mulut yang penuh nasi goreng yang selalu enak dimulutnya itu.
"Hust, makan dulu baru ngomong."
Arthur hanya terkekeh.
"Celine kemarin kesini." Mamanya menatap sang anak yang tiba-tiba berhenti menyuap.
"Pain lagi dia?" Arthur kembali menyendok nasinya yang tersisa sedikit.
"Dia baru pulang dari Jerman. Mama dikasih hadiah tas sama jam tangan loh." Mamanya yang bernama mama Lidya berucap senang.
"Mama macem nggak pernah pake tas aja." Arthur menggerutu.
"Jangan gitu dong. Dia udah baik mau ngasih Mama hadiah. Seharusnya 'kan kamu berterima kasih sama dia."
Arthur mengernyitkan dahinya, rahangnya mengeras.
"Mama kembalikan lagi padanya. Aku lebih sanggup. Mama tinggal bilang mau berapa, merk apa. Nanti sekretaris ku yang mengurusnya." Arthur sepertinya telah tersulut emosi.
"Kamu selalu aja gitu. Uang Mama juga banyak. Itu berarti dia peduli sama Mama." Mama Lidya bersikeras.
"Terserah Mama. Jangan libatkan aku apapun urusan Mama dengannya!" Arthur bangkit dari duduknya.
"Aku pamit dulu!" lalu mencium pipi mama tercintanya seraya melangkah keluar.
Mama Lidya menghembuskan nafasnya. Menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir akan sifat Arthur yang sangat susah dibujuk. Karakternya yang tegas, tidak mudah terpengaruh, susah membangun sebuah kepercayaan apalagi jika telah adanya sebuah pengkhianatan.
Nantikan terus ya episode selanjutnya!
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments