Minah dan Ririn duduk di luar, di teras kecil kost Mayra. Kost-an berderet panjang itu terdapat enam pintu yang masing-masing didalamnya satu kamar, satu ruang menyatu dengan dapur, dan belakangnya terdapat kamar mandi.
Kost-an tersebut saling berhadapan. Jadi, total berjumlah dua belas. Itu khusus kost wanita.
Di tengah-tengah kost tersebut berupa lorong memanjang, diselingi teras kecil di luar pintu sekedar bersantai atau melepas lelah pulang beraktifitas.
Sedangkan, untuk kost pria berbeda gang saja. Di kost tersebut juga Parman dan Bagus tinggal. Jadi, ketika berangkat atau pergi bekerja, mereka sering berbarengan.
"Di dalam aja, yuk! biar leluasa ngobrol." Suruh Mayra pada Minah dan Ririn.
"Boleh, lah." Sahut Minah.
Minah dan Ririn masuk dan keduanya duduk lesehan. Dua gelas teh hangat sudah Mayra sediakan dalam nampan kecil. Satu toples plastik berukuran pendek berisi rempeyek jadi cemilan penemani.
Ririn memperhatikan dengan seksama, saat Mayra duduk berhadapan.
"Kenapa?" tanya Mayra penasaran. Ia sampai memeriksa dirinya sendiri, apa ada yang aneh.
"Jangan pura-pura deh, May! Katakan jujur pada kita!" ucap Minah di sebelah Ririn.
"Oh, yang tadi?" Mayra hanya tersenyum.
"Ck, ada apa sih sebenarnya?" Ririn melipat kedua tangannya dan Minah mengangguk tanda mereka ingin tahu segera.
"Aku dikeluarkan." Jawab Mayra santai.
"Ap-apa?" Ririn dan Minah terbelalak. "Jangan bercanda, May. Ini nggak lucu!" Minah geram.
"Beneran, aku serius." Mayra terlihat biasa-biasa saja. Seolah tidak berpengaruh dengan apa yang dikatakannya barusan.
"Kamu ... " Ririn tidak jadi melanjutkan. Ia tidak ingin mengatakan yang ia dengar tadi pagi.
"Aku dituduh terlalu ikut campur pekerjaan atasan. Aneh 'kan?" jelas Mayra dengan mimik lucunya.
"Gosip yang aku dengar itu ternyata bener. Tapi, aku yakin itu bohong." Kesal Minah.
"Bener!" sambung Ririn.
"Udah, jangan dibahas lagi. Percuma! yang penting aku harus punya kesibukan lain." Ujar Mayra dengan tekad kuat dan ingin mengakhiri obrolan tentang dirinya yang didepak begitu saja dari pekerjaan.
"Iya, May. Tapi kamu bekerja apa?" Ririn khawatir akan nasib sahabatnya. Seandainya mereka bisa membantu.
"Entahlah, besok aku ke luar. Coba cari-cari di sekitar."
"Iya, semoga dapat ketemu."
"Aamiin!" jawab mereka serentak.
Mereka asyik bercanda ria untuk menghilangkan rasa sedihnya Mayra, walaupun yang bersangkutan terlihat adem ayem saja.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam. Itu Superman sama si Babag." Beritahu Ririn.
"kalian di luar aja ya?" ujar Mayra.
"Beres, Mbak." Jawab Parman dengan menggerakkan jempol.
Mereka sudah terbiasa begitu, setiap bertandang ke kost ketiga sahabatnya atau ketiga kakak bagi mereka.
"Minum dulu!" dua gelas teh hangat diberikan pada Parman dan Bagus.
"Makasih, Mbak."
Mayra mengangguk.
"Kalian kemari ada apa? jangan tanya karena penasaran yang tadi!" Tebak Ririn dengan nada tegasnya seperti biasa pada kedua laki-laki itu.
"Mbak, gitu amat?! kan udah janji tadi tu." Protes Parman.
"Aku nggak inget." Balas Ririn.
"Aku dikeluarkan." Sahut Mayra, seperti yang ia katakan tadi pada dua sahabat wanitanya.
"Astaghfirullahal'adhim!"
"Ya Allah ... "
Parman dan Bagus sangat terkejut. Lalu, Mayra menceritakan saat ia dipanggil ke ruang Bu Leni.
Saat Mayra menyebut nama Bu Ida, Parman langsung menyela.
"Eh, aku baru inget. Bu Ida mengundurkan diri tadi."
"Apa?" Mereka serempak kaget.
"Kok aku nggak tau?" tanya Ririn dan Minah. Bagus juga mengakui tidak mendengar berita itu.
"Tadi ada anak lantai atas yang ngomong. Katanya mau istirahat siang tadi, Bu Ida mengundurkan diri dan langsung pulang." Jelas Parman.
Itu waktu hampir bersamaan dengan Mayra keluar.
Ririn dan Minah saling pandang. Sedangkan, Mayra terlihat melamun. Ia teringat saat di ruang Bu Leni. Disana, Bu Ida tidak banyak bicara dan sering menunduk.
Ada apa ya?
Lagi asyik mereka mengobrol, masuk sebuah motor ke dalam pekarangan kost. Rupanya Tini yang menumpang ojek.
"Itu sahabat kamu, May." Ujar Ririn.
"Assalamualaikum." Dengan tersenyum, Tini memberi salam.
"Waalaikumsalam." Balas mereka.
"Tin, mari masuk!" Mayra keluar ke teras.
Parman dan Bagus sudah izin pulang saat kedatangan Tini.
"Ada tamu Mayra, ya?" Tini melihat mereka dengan tetap senyum terukir di bibirnya.
"Tamu dekat, Mbak Tini." Sahut Minah. Mereka tertawa kemudian.
"May, kami juga mau pulang ya. Mau istirahat cepet." Ujar Minah, ia menggerak-gerakkan badannya yang memang pegal.
"Loh, aku baru datang ini."
"Nggak apa, Mbak Tini. Jadi ada temennya Mayra." Jawab Ririn tertawa kecil.
"Ya, udah kita pulang dulu."
"Baiklah."
Mayra menutup pintu, lalu beranjak ke dapur. Tini sedang mencuci gelas kotor yang dibawanya dari depan.
"Loh, kamu ngapain? sini, biar aku aja." Mayra mengambil alih gelas dari tangan Tini.
"Ibu hamil harus banyak istirahat." Ujar Mayra lagi.
"Apaan, aku dirumah juga kerjanya gini."
"Eh, dibilangin banyak istirahatnya. Ingat, kata dokter apa?"
"Kalau aku diem aja, entar Mas Indra curiga. Sakit engga, tapi aku-nya malah tiduran."
Mayra membalikkan badannya ke arah Tini.
"Sampai kapan kamu mau nutupin dari suami kamu?" Mayra jadi gemes sendiri.
"Nggak tau juga, May." Tini menunduk sambil mengusap perutnya.
"Lama kelamaan perut kamu akan membesar. Dan Indra pasti tahu. Lebih marah lagi mungkin nanti, karena kamu merahasiakannya dari dia."
"Aku bingung, May. Ka-kalau dia mendadak dia menceraikan aku gara-gara ... " Tini mulai terisak.
"Sttt ... jangan mikir yang bukan-bukan!" Mayra memeluk sahabatnya dan membawanya ke depan.
"Ke kamarku aja."
Tini duduk di pinggir kasur lesehannya Mayra, hanya muat untuk satu orang tidur saja. Malam ini Mayra akan tidur beralaskan karpet tipis.
"Kenapa juga kamu bisa malam kesini? 'kan bisa siang?"
"Kamu 'kan kerja."
Mayra menggaruk kepalanya, ia sudah keceplosan. Padahal dia tidak berniat memberitahu dulu pada sahabatnya masalah dirinya sudah tidak bekerja lagi. Pasti Tini nanti sedih.
"May, kok diem?"
"Oh, itu ... aku sebenarnya udah nggak kerja lagi." Mayra terpaksa jujur sekarang. Toh, nantinya juga akan ketahuan juga. Apalagi Indra sudah tahu.
"Apa? kenapa memangnya?" Tini sangat terkejut.
"Entahlah, aku juga tahu kenapa dikeluarkan."
"Dikeluarkan? May ... kamu nggak bohong 'kan?"
Mayra menggeleng.
"Ya Allah ... "
Tini menutup mulutnya, ia sangat sedih mendengar berita kemalangan sang sahabat.
"Kamu harus sabar, ya. Mudah-mudahan ada tempat lain yang menerima kamu."
"Aamiin!"
"Ya sudah, kita tidur aja. Kamu nggak boleh bergadang. Dan lagi, bukan sore aja kesini?!" Mayra mulai mengomel lagi.
"Oh, itu ada Mas Indra. Dia belum berangkat rupanya. Tadi dia pulang, ambil lagi baju satu koper. Katanya keluar kota lumayan lama." Jelas Tini polos.
Mayra tidak bisa berkata apa, hanya bisa 'oh' saja. Hatinya mulai berprasangka buruk lagi, apa benar Indra keluar kota karena pekerjaan atau karena wanita itu.
"Astaghfirullahal'adhim." Gumamnya. Ia sudah terlalu larut dalam perilaku Indra selama ini. Jadi, kerap curiga pada suami sahabatnya.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments