Kaki Mayra enggan beranjak dari depan ruang Indra. Suara seperti ******* sudah tidak ia dengar lagu.
Dua puluh menit berlalu, Mayra hanya berpindah sedikit dari sana tapi matanya bisa memantau keadaan di depan pintu itu. Benar saja, Indra dan wanita cantik itu keluar dari ruang.
"Terimakasih ya Pak, kaki Saya sudah baikan sekarang." Ucap wanita itu yang bisa di tangkap di pendengaran Mayra.
"Sama-sama Bu Bella, lain kali hati-hati." Balas Indra tidak kalah lembutnya dari suara wanita itu.
"Baiklah, kalau begitu Saya kembali ke atas." Bella tersenyum sangat manis pada Indra.
Mayra yang melihat interaksi keduanya membuat darahnya mendidih. Padahal bisa saja mereka hanya sebatas teman kerja tetapi hatinya menolak berasumsi seperti itu.
Indra tersenyum menatap dari belakang tubuh Bella yang berjalan menuju lift. Ia kembali masuk kedalam ruangan yang bersebelahan dengan ruang staf lain.
Jam di ponsel Mayra sudah menunjukkan pukul lima sore, waktunya ia pulang. Hatinya yang gelisah membuatnya tidak fokus pada jalan di depannya.
Ciit!
"Astaghfirullah," Mayra tertarik ke belakang oleh tangan seseorang.
Mobil yang tadi berhenti dengan mendadak karena Mayra menyeberang tanpa melihat kiri-kanan, kembali berjalan.
Jantung Mayra berdegup kencang, napasnya tersengal. Ia ditarik ke pinggir jalan dan di dudukkan pada sebuah kios. Mayra belum juga tersadar siapa orang yang telah membantunya terhindar dari musibah.
"Minumlah!" itu suara berat laki-laki dan Mayra segera melihat pada asal suara.
"Kak Arthur?" Mayra reflek bangkit dari duduknya. Ia tidak menyangka sama sekali, orang yang menolongnya barusan ternyata kakak temannya.
"Ini." Arthur kembali menyodorkan minuman mineral yang telah dibuka tutupnya.
Mayra menerima dengan tangan masih gemetaran akibat kejadian yang tiba-tiba tadi. Ia lantas duduk kembali dan meminum segera yang memang ia merasa tenggorokannya terasa kering.
"Terimakasih, Kak." Ucap Mayra dengan pelan tanpa melihat Arthur yang berdiri di sampingnya.
"Lain kali berhati-hatilah!" setelah berkata begitu, Arthur berjalan meninggalkan Mayra yang masih syok.
"Ya Allah," Mayra mengusap dadanya. Ia bisa merasakan jantungnya masih berdegup kencang.
Setelah dirasa sudah sedikit baikan, Mayra kembali berjalan. Tujuannya segera pulang ke rumah, tapi bayangan mobil tadi masih membuatnya takut menyeberang.
"Ikuti aku!" lagi-lagi Arthur hadir menolongnya.
Mayra tidak menjawab, ia berjalan di samping Arthur seperti pasangan kekasih yang di tuntun menyeberang oleh yang tercinta.
"Sekali lagi, terimakasih Kak." Mayra berkata dengan menunduk. Ia tidak berani menatap Arthur yang berdiri menjulang di depannya.
"Hm, pulanglah!" Arthur memberi perintah layaknya seorang pria pelindung wanitanya.
Mayra hanya mengangguk saja, lalu tubuhnya segera menghilang dalam gang sempit menuju rumahnya.
Arthur berbalik badan setelah Mayra tidak terlihat lagi.
"Entah apa yang dipikirkannya, mobil saja ia tidak tahu lewat." Ia menggerutu dalam hati.
Dari jauh Andre menunggu dekat mobil dengan wajah bingung. Ia hendak bertanya tetapi diurungkan saat melihat wajah Bos-nya tidak baik-baik saja. Dalam artian lebih baik diam daripada kena serangan jantung.
Andre memegang dadanya sendiri, ia tidak boleh asal bicara jika ingin selamat dari raungan harimau di belakangnya.
Ada-ada saja si Andre ini.
"Kita balik lusa saja."
Satu kalimat singkat cukup paham bagi Andre, tidak perlu ia minta Bos-nya mengulang. Berarti ada hal yang sangat penting di sini.
"Baik, Bos." Jawabnya dengan hormat.
Mayra gelisah sendiri. Hari ini Ririn dan Minah tidak bisa menemaninya karena kebetulan keluarga mereka datang dari kampung, jadi mereka berdua pulang dengan buru-buru. Tadi pun ia pulang tanpa kedua teman laki-lakinya. Mereka masih di tempat kerja.
Ia mondar-mandir dengan ponsel di tangannya. Nama Tini sudah tertera di layar, tinggal ia menekan tanda memanggil.
Ia berpikir lagi, ia tidak boleh gegabah. Tini nanti pasti bertanya-tanya karena ini sudah pukul sebelas malam. Ia beralasan apa, karena pikirannya benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Pikirannya hanya berisi Indra dengan wanita.
Akhirnya Mayra memilih tidak menelpon Tini. Ia lama duduk di kursi plastik di samping meja makan di dapur kos-nya. Ia merenung, lagi-lagi wajah Tini yang teduh dengan kecantikan alaminya terbayang di benak Mayra.
Ponselnya masih di tangan, akhirnya Mayra menekan panggilan pada nama Aya.
"Assalamualaikum," sapa Aya.
"Waalaikumsalam, Aya." Suara Mayra terdengar buru-buru.
"Hei, ada apa ni? kamu baik-baik aja?" Aya sedikit panik. Aya sudah menganggap Mayra sahabat baiknya. Jadi, ia sangat peduli.
"Aku baik, kok. Hanya suntuk aja." Alih Mayra tapi tetap saja suaranya terdengar tidak baik-baik saja.
"Nggak, aku yakin. Kamu pasti ada masalah 'kan?" tebak Aya.
"A-aku ... lagi mikirin Tini." Akui Mayra.
"Tini? ada apa dengan dia?" Aya penasaran.
Akhirnya Mayra jujur saja, menceritakan yang dilihatnya dan hatinya yang berburuk sangka. Mayra juga meminta jangan sampai Tini bisa tahu hal ini. Ia tidak mau sahabatnya sedih, dan bisa jadi itu hanya prasangka Mayra saja.
"Oke, aku tau Mall tempat kalian bekerja." Aya tidak memberi tahu jelas jika pemiliknya adalah kakaknya.
"Aku harus gimana?"
"Kamu berdoa aja, semoga itu bukan." Aya menghibur.
"Makasih ya, Aya. Aku udah lega sekarang."
Tidak lama setelah itu Mayra mematikan telponnya.
Arthur termenung di apartemennya, kali ini ia menginap di apartemen saja. Waktu itu karena permintaan Aya ingin di hotel dengan alasan lebih dekat dengan pasar. Ikan di sana sangat segar-segar katanya. Dan bermula dari situ juga, ia bisa berkenalan dengan Mayra.
Bayangan Mayra ketika menyeberang tidak lihat kiri-kanan. Wajah yang gelisah dan ketakutan karena hampir tertabrak terlihat jelas.
"Bodoh, sudah tau jalanan padat!" Arthur geram seorang diri.
"Dia sedang mikir apa sebenarnya?" ujarnya lagi sendiri.
Arthur yang tidak tenang segera menelpon Andre.
"Kau dimana?"
"Aku sedang di luar. Kenapa Bos?"
"Cari tahu ada kejadian apa di lantai satu di Mall seharian tadi!" Perintah Arthur tegas.
"Baik, Bos." Jawab Andre. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Arthur meletakkan kembali ponselnya.
Sementara Andre bergegas menghubungi ketua keamanan mall, merupakan salah satu anak buah terpercaya dan memerintahkan sesuai dengan permintaan Bos mereka.
Andre pulang ke apartemen Arthur. Segera membuka laptop di depan Bos-nya yang sedang menunggu di sofa ruang tamu.
Sebuah notif masuk di email-nya. Rekaman cctv, Andre segera memeriksa.
Andre dengan lambat membuka satu persatu rekaman di layar laptop. Sampai pada penampakan Mayra yang sedang mengepel, Arthur menajamkan matanya.
"Stop!" Arthur menggeser laptop ke hadapannya.
Andre ikut memperhatikan seperti Arthur.
"Sedang apa ia di sana nggak pindah-pindah?" Andre ikut heran.
Sekarang ia baru paham, maksud Bos-nya. Walaupun hatinya mempunyai rasa pada Mayra, tapi saat tahu Arthur sering diam-diam memperhatikan Mayra beberapa hari di sini, ia berpikir lebih baik mundur saja.
Kemudian nampak Indra keluar dari ruang bersama seorang wanita.
"Siapa wanita itu?" tanya Arthur. Dan ia mengenal Indra dan tahu jabatannya juga.
"Ia Bella, di bagian personalia." Jawab Andre.
Arthur tidak bertanya lagi. Ia memperbesar pada posisi Mayra berdiri. Terlihat Mayra yang sangat gelisah sama seperti tadi sebelum Indra keluar dari ruangannya.
"Ada hubungan apa mereka?" tanya Arthur tapi membuat Andre bingung pertanyaannya mengarah tentang siapa.
"Maksudnya?"
"Itu, suami temannya dengan wanita itu." Jelas Arthur.
"Baik, aku akan cari tahu segera." Patuh Andre, ia mendapat tugas baru lagi.
Arthur menyerahkan kembali benda persegi itu pada Andre. Ia menghela nafasnya sambil bersandar pada sofa.
"Apa karena itu, dia jadi tidak fokus?" gumam Arthur.
"Apa, Bos?" Andre berpaling karena memang suara Arthur tidak jelas.
"Tadi tu temannya Aya hampir tertabrak mobil."
"Apa? terus?" Andre sangat terkejut.
"Kau apaan teriak begitu!? mau aku jantungan apa?" sewot Arthur.
"Ya, aku kaget aja." Andre tidak bicara formal lagi.
"Apa gara-gara ia mikir temennya itu ya? siapa namanya?" tanya Arthur, ia menegakkan punggungnya.
"Tini nama istrinya si Indra itu." Jawab Andre terdengar malas.
"Nama kalian mirip." Ejek Arthur yang tahu asisten sekaligus sahabatnya itu sedang mengeluh.
"Mirip dengkulmu!" Andre kesal.
Arthur tertawa dan Andre mendelik. Tawa Arthur semakin pecah. Sesaat pikirannya teralihkan dari Mayra.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments