"Itu temanmu?" Arthur bertanya memastikan.
"Ya," jawab Aya singkat.
"Namanya?"
"Kakak kepo deh, ah."
"Namanya siapa?" Arthur ngotot.
"Nisa."
'Nisa? jika itu perempuan saat itu tapi kenapa dia berada disini?' ia bicara dalam hatinya.
"Kau kenapa sih?" Andre melihat sahabatnya seperti orang yang sedang linglung.
"A-aku, nanti saja ku beritahu. Jalan!"
Andre tidak lagi bertanya, ia kembali menghidupkan mesin mobil. Lima menit kemudian mereka sampai di pasar murah sebutan masyarakat sekitar atau dari luar.
Arthur memilih di mobil saja. Aya ditemani Andre memilih ikan yang lebih segar supaya lebih sedap ketika di bakar nanti. Walaupun Mayra sudah melarang, Aya tetap membawa belanjaan. Ia melihat bawaan Mayra dan bi Siti tadi siang ketika dirumah, jadi ia mengira sendiri apa-apa saja yang dibeli.
Ini merupakan pengalaman pertamanya ke pasar seperti ini dan juga takaran belanja ia tanyakan langsung kepada penjual.
"Lama amat!" Arthur melihat jam tangannya.
Dari gang sempit muncul Aya dan Andre.
"Beli apaan sih?"
"Jengkol!" jawab Aya asal.
"Apa?" Arthur kaget, tangannya refleks menutup hidung.
"Kak, napa sih beberapa hari ini cerewet banget?" kesal Aya. Ia membantu Andre memasukkan belanjaan ke bagasi mobil.
"Nanya aja." Arthur dengan cool nya memakai kembali kaca mata hitamnya.
Aya mencibir, "lagaknya."
Mayra segera membereskan rumah yang sedikit berantakan karena adik kecil sepupunya main mobil-mobilan dan mainan kotor di luar rumah ikut dibawanya ke dalam.
"Sayang, nanti tikar yang lebar itu saja digelar disini ya biar muat. Berapa orang tadi katanya?"
"Kata Aya berdua aja, Bi."
"Ya udah, Bibi keluar sebentar nggak lama."
Mayra mengiyakan, sampah dari dalam ia keluarkan. Saat hendak masuk ia mendengar suara orang sedang mengobrol tidak jauh dari rumah pamannya. Tepatnya selang satu rumah dari deretan rumah paman Mail.
Hatinya berkata, 'seperti suara Tini.'
Ia melangkah agak keluar ingin memastikan. Ia melihat dua orang perempuan sedang mengobrol dengan posisi menyamping. Yang satu berkerudung seperti kerudung rumahan yang sering dipakai Mayra. Sedang seorang lagi merupakan tetangganya, Mayra kenal orangnya.
Ia semakin penasaran, kakinya melangkah menuju dua orang sedang asyik dalam obrolan santai.
Deg!
Jantungnya tidak karuan, matanya seketika berkaca-kaca. Ia sangat mengenali sosok di depannya itu.
"Tini!" suaranya tertahan. Sedangkan kedua perempuan itu tidak menyadari ada orang lain sedang memperhatikan.
"Tini!" akhirnya keluar juga suara Mayra.
Perempuan berkerudung coklat itu merasa namanya dipanggil, ia menoleh. Matanya terbelalak, mulutnya sedikit terbuka.
Kemudian, "Mayra!" Tini melangkah lebar ke arah sahabat yang sangat dirindukannya.
Tini menubruk tubuh langsing milik Mayra, keduanya sesenggukan. Pelukan erat tidak terelakkan lagi. Tidak ada yang bersuara, biarlah tubuh gemetaran mereka yang mengatakan sebenarnya.
Tetangga Mayra keheranan, bi Siti menghampiri.
"Itu sahabat Mayra, mereka seperti tidak bisa dipisahkan." Bi Siti menyeka air matanya. Bibirnya menyunggingkan senyum.
"Iya, kita memang nggak sanggup jika harus berpisah dengan orang yang terdekat." Tetangganya menanggapi.
Perlahan pelukan keduanya mengendur, tetesan air mata terus mengalir. Kedua pasang mata bicara, syukur pada Yang Kuasa ternyata mereka tidak bisa terpisahkan.
"Kamu sehat?" Tini dengan terbata bertanya yang dibalas Mayra dengan anggukan.
"Kamu baik-baik saja?" Tini kembali melayangkan pertanyaannya.
Tetap anggukan kepala sebagai jawaban Mayra.
"Kamu semakin cantik." Ucap Tini lagi.
Mayra memeluk lagi Tini, ini seperti mimpi baginya.
"Yuk, ke rumahku." Ajak Tini dengan masih sesenggukan.
Mayra melihat bibinya yang berdiri tidak jauh, lalu mengangguk membolehkan Mayra berkunjung ke rumah sahabatnya.
Tini izin sebentar ke dalam dan Mayra menunggu di teras. Tini keluar dengan dua gelas teh hangat ditangannya. Teh yang sengaja dibuat untuk dirinya sendiri sebelum Mayra memergokinya sedang mengobrol dengan tetangga sebelah.
"Minumlah dulu!"
Mayra menyeruput sedikit, hangatnya mampu meredam rasa haru yang masih bersisa.
"Ceritakan!" Mayra sangat penasaran keberadaan Tini di kota ini.
"Mas Indra dapat pekerjaan baru di sini. Alhamdulillah gajinya lumayan." Tini mengawali ceritanya.
Mayra diam, menyimak cerita sahabatnya.
"Dan tadi malam kami baru sampai." Tini menundukkan kepalanya.
"A-aku tidak tahu... jika kita akan ketemu lagi di sini." Tini terisak.
Mayra mendekat, ia ambil kedua tangan Tini.
"Ini Kuasa-Nya Allah. Doa kita terkabul."
"Iya," Tini mengangguk.
Mereka saling bertukar kisah semenjak berpisah. Tidak terasa azan ashar berkumandang dari Mesjid pusat kota.
"Oiya, Tin. Entar malam kerumah paman aku ya. Kebetulan ada teman baru ingin makan di sini. Ajak Indra juga."
"Baik," Tini mengangguk dengan senyuman bahagianya. Akhirnya ia bertemu dengan sahabat baiknya.
"Kalau begitu, aku pulang dulu. Jangan lupa tuh!"
"Iya, ya."
Mayra tertawa pelan, lalu berbalik arah pulang.
Di mobil ponsel Arthur tidak berhentinya berdering. Sampai dering yang ke sekian baru ia mengangkatnya.
"Ada apa lagi?" suaranya dingin, sedingin matanya menatap lurus ke depan.
"Aku cuma ingin memastikan lagi, ka-"
"Iya, aku setuju." Dengan cepat Arthur memotong.
"Kamu serius sa-, Arthur?" Celine sampai bangkit dari duduknya. Barusan ia hampir keceplosan sebut 'sayang' saking senangnya ia.
"Sudah, aku tutup dulu." Arthur melempar ponselnya ke belakang.
"Ih, Kak!" Aya protes.
Arthur diam saja dengan omelan adiknya.
Sementara Celine sibuk wara-wiri depan cermin di kamar hotel.
"Aku bagaikan sedang bermimpi. Akhirnya... "
"Aaah, aku bahagia banget." Celine meloncat senang.
Sang asisten yang kebetulan berada di kamarnya menggeleng-geleng heran.
"Dea, aku senang banget tau nggak." Ia mencubit pipi chubby asistennya.
"Iya deh Non. Udah ah, istirahat sebentar lagi. Biar segar ketika bangun nanti."
"Ya juga ya, ya udah nanti bangunin aku ya."
"Iya, Non," Asistennya sudah maklum dengan tingkah nonanya itu.
Arthur berencana akan singgah sebentar saja ke rumah yang dimaksud adiknya, setelah itu baru ia pergi makan malam bersama Celine. Rasa penasarannya lebih kentara dibandingkan ingin makan malam dirumah kenalan adiknya.
"Yuk, turun udah sampai."
Hendra memarkir mobilnya di tempat yang sama ketika menjemput Aya tadi.
"Hei, maksudnya apa ini?" Arthur berteriak dari dalam. Hendra dengan Aya sibuk mengeluarkan hasil belanjaan mereka.
"Duduk manis aja disitu, nggak perlu ikut." Aya semakin sewot.
Arthur memperhatikan arah jalan keduanya, ia menepuk dahinya. Ia tidak habis pikir Aya bisa berkenalan dengan orang di tempat seperti ini.
" Rumahnya dimana?" Arthur bicara sendiri, ia memperhatikan sekitar. Perumahan yang begitu padat, anak-anak kecil berkerumun di pinggir jalan kecil menuju setiap rumah yang saling berhimpitan.
Namun, ada satu hal yang Arthur suka. Perumahan ini sangat bersih dan rapi. Ia terpaksa ikut turun. Dari jauh masih terlihat Andre dan Aya.
Dengan kacamata dan masker hitamnya ia berjalan menapaki jalan sempit. Anak-anak berteriak di sepanjang jalan yang dilalui.
"Om, mau kemana? kenapa pake masker?"
"Bukan penculik anak-anak 'kan Om?"
Anak-anak itu terus saja mengikutinya sehingga ia kesal bukan main.
Andre dan Aya sampai cekikikan melihat sang Bos kalah dengan anak-anak. Mereka berdiri di teras rumah bi Siti.
Dengan tanpa memperdulikan anak kecil itu lagi, ia melangkah lebar supaya terbebas dari hal menyebalkan baginya.
"Ada apa ya ribut-ribut?" bi Siti keluar dan terkejut ketika melihat Aya dengan seorang pria di teras.
"Non Aya?"
"Ya, Bi. Aku datang dengan kakakku." Aya tersenyum.
Andre segera menyalami bi Siti yang dibalas senyuman hangat dari wanita itu.
"Mari masuk, yuk. Maaf, bibi nggak tau ternyata Non Aya sudah datang."
Andre merasakan kenyamanan disini sama seperti yang Aya rasakan saat pertama mengenal mereka.
'Pantes Non Aya betah-an disini, ternyata orangnya ramah banget.' Andre bergumam sendiri.
"Bi, ini sedikit bawaan. Aku nggak tahu harus belinya apa." Aya menggaruk dahinya.
"Non, sudah di bilang jangan bawa apa-apa. Repot 'kan jadinya." Seru bi Siti lagi.
"Nggak kok, Bi. Benar 'kan Kak?" Aya melihat Andre.
"Benar, Bi. Ini sebagai pengalaman juga buat kami." Andre dengan senyum meyakinkan bi Siti supaya jangan sungkan.
"Terima kasih banyak ya, Non." Bi Siti sampai berkaca-kaca matanya.
"Jangan berlebihan gitu dong, Bi." Aya mendekat sembari memeluk bi Siti dan itu tepat di hadapan Arthur.
Arthur merasa adiknya ada perubahan, adiknya mulai menunjukkan sikap pedulinya pada orang lain. Ia juga merasakan jika mereka benar-benar tulus bukan karena ada unsur lain.
"Siapa Bi?" Mayra muncul di pintu.
Arthur yang sedang memperhatikan adiknya jadi teralih dengan sosok cantik di depannya. Suara yang di dengar dari ponsel Aya. Suara lembut seperti dalam ingatannya atau dalam mimpinya. Arthur mematung seakan ribuan tancapan paku di sekujur tubuhnya.
Bagaimana kelanjutannya? hm, di bab berikutnya ya!
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments