Aira menuju ke kamar Hana, karena sejak sampai dia belum bertemu adik yang menjelma musuh itu.
Aira langsung masuk ke kamar Hana tanpa mengetuknya dulu.
"Kyaaa...kenapa engga ngetok dulu sih, gue kan lagi mau ganti baju," teriak Hana yang semakin mengeratkan handuk di tubuhnya.
"Ya sorry, gue kan juga engga tau kalau elo lagi mau ganti baju. Salah siapa engga dikunci, wleee."
Hana bergegas ke kamar mandi untuk berganti baju dengan perasaan kesal.
"Cieee yang ntar malem mau tunangan..." goda Aira.
"Apaan sih."
"Siapa sih orangnya, kok gue kepo ya."
"Engga tau, katanya dia tentara, ya sama kaya pacar lo."
"Gue udah putus sama dia." Wajah Aira berubah menjadi sendu ketika mengingat Raka.
"Kok bisa sih, katanya kalian udah dua tahun pacaran dan lo bakal kenalin sama keluarga."
"Semalem dia ngajak putus, dia mau dijodohin."
"Sabar ya, sory gue malah buat lo sedih."
"It's okey, gue cuma engga nyangka aja. Kita saling mencintai tapi takdir berkata lain haha..."
"Lo yang sabar ya..." Aira menganggukkan kepalanya.
Tiba- tiba ada seseorang masuk.
"Eh Aira sudah dateng ternyata," ucap Tante Ratna, Mama Hana langsung memeluk Aira.
"Iya, Tante."
"Mama mau ngapain kesini."
"Ini mama bawain baju buat nanti malam, buat Aira juga ini," ucapnya menyodorkan dua dress.
"Cantik tante, makasih."
"Iya, tante ke bawah dulu ya mau nyiapin yang lain." Mama Hana pun neninggalkan kamar.
"Perasaan gue dari tadi pagi engga enak banget, kak."
"Kenapa? Takut kalo calon suami lo gasuka sama lo karena lo galak?" ledek Aira.
"Ihh bukan, engga tau kenapa. Kaya bakal ada sesuatu gitu."
"Udahlah berdoa aja, engga ada apa- apa." Mereka melanjutkan ngobrol hingga sore hari.
Tak terasa malam pun sudah tiba, tepat pukul 7 keluarga calon tunangan Hana akan sampai. Orang yang ada di rumah itu pun semakin sibuk kesana kemari untuk menyiapkan segalanya.
Begitupun dengan Hana dan Aira. Mereka sibuk berdandan.
***
Di rumah Raka, Raka sudah terlihat tampan dengan jas bewarna abu muda tapi wajahnya sangat murung.
"Kamu tampan sekali nak sudah siap, kan?" tanya Mamanya.
"Ingat ya Raka, kamu jangan malu- maluin. Ingat juga apa yang harus kamu ucapkan nanti," timpal Papa Raka.
Raka hanya diam tak menanggapinya. Mereka segera melajukan mobil ke rumah calon besan itu. Di dalam perjalanan Raka hanya diam tidak bergeming, ia menatap kejalanan dengan tatapan kosong dan bergumam dalam hatinya.
"Apa aku sanggup nanti, apa aku akan benar- benar kehilangan Aira. Tuhan tolong aku."
Raka tidak menyadari kalau jalan yang mereka lewati merupakan jalan ke rumah Aira, tatapannya sangat kosong jadi tidak menyadarinya. Mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di rumah yang tak begitu besar tapi cukup mewah. Mereka disambut dengan penuh kehangatan. Tak lama kemudian lamaran dimulai. Hana dan Aira segera turun untuk menemui keluarga yang lain.
"Wahh cantik sekali kalian," ucap Mama Raka.
Raka dari tadi menundukkan wajahnya tidak mau melihat calon istrinya.
"Kenapa calon suami Hana nunduk terus sih, aku kan pengen lihat mukanya," batin Aira yang sedari tadi memperhatikan Raka.
"Ini pasti Hana?" tanya Mama Raka sembari membelai rambut Hana.
"Iya calon besan, itu anak saya. Disebelahnya itu anaknya mbak Mira."
"Ohh halo nak..." sapa Mama Raka dan Aira menyalaminya.
"Iya jeng, itu anak saya. Dia reporter dan punya toko kue sekarang namanya Aira," jelas Bu Mira.
Mendengar nama Aira, Raka langsung mendongakkan kepalanya melihat wanita yang disebut itu.
"Aira!!" teriak Raka kaget melihat Aira.
"Raka!!!" Aira juga tak kalah kagetnya melihat Raka yang ternyata calon suaminya Hana. Jantung mereka seakan berhenti berdetak.
"Kalian saling mengenal, ya?" tanya Pak Andi.
Raka tidak bisa berkata apa- apa saat ini, dia begitu syok ternyata Aira adalah saudara calon istrinya itu.
"Oh iya, kita pernah kenalan. Cuma sebatas kenal saja tidak lebih hehe," jawab Aira bohong. Wajahnya sendu, matanya berkaca- kaca.
"Tuhan ternyata yang dijodohkan sama Hana adalah Raka. Kenapa bisa begini, hiks hiks." tangis Aira dalam hatinya.
"Oh ya nak, sampaikan keinginan kamu kesini," ucap Papa Raka.
"Ya ampun, ganteng banget calon suamiku ini, kalau begini aku engga akan nolak," ucap Hana dalam hatinya. Ia tersenyum- senyum bahagia berbeda dengan Aira.
Raka menarik nafas dalam, ia tidak sanggup mengatakannya apalagi di sana ada Aira yang tak jauh darinya. Tapi ia berusaha untuk tidak memalukan Papanya.
"Sebelumnya, saya mau mengucapkan terima kasih karena sudah menerima kedatangan keluarga saya kemari."
Pak Andi, Bu Mira, dan Mamanya Hana mengiyakan dengan mengangguk dan tersenyum.
"Niat dan tujuan Raka kemari ingin mengutarakan niat baik Raka, untuk melamar Hana menjadi istri saya. Apakah kalian menerima niat baik saya," sambung Raka
Deg. Aira seperti dihantam batu besar mendengar ucapan Raka. Matanya mengeluarkan air mata tapi ia buru- buru menyekanya. Raka yang melihat Aira sangat sedih.
"Ra, maafin aku, Ra. Maaf," batin Raka yang sedari tadi melihat Aira menyeka air matanya.
"Semua saya serahkan sama Hana, bagaimana Hana, apakah kamu menerima niat baik nak Raka ini?" tanya Mama Hana kepada putrinya.
"Iya mah, bismillahirohmanirohim saya menerima lamaran Raka," ucap Hana bahagia.
"Alhamdulillah," ucap semua yang mendengarnya kecuali Raka dan Aira.
"Ya Allah, ini sangat menyakitkan, kenapa harus Hana yang menjadi calon istrinya Raka. hiks hiks." Aira terisak dalam hatinya.
"Raka, pasangkan cincin ke tangan Hana, Nak," pinta Mama Raka.
Raka mengambil kotak cincin yang disodorkan mamanya dan mengambil cincinnya.
Tangan Raka gemetar, ia tidak sanggup memasangkannya.
"Ayo, Nak..."
Raka pun memasangkan cincin itu di jari manis Hana, air matanya menetes.
"Sekarang, Hana yang memasangkan cincin ke jari Raka."
Dengan semangat Hana memakaikan cincin ke jari manis Raka.
"Alhamdulillah...." seru semuanya.
"Raka pasti sangat terharu dia sampai menangis, haha," ucap Mama Hana. Mereka pun tertawa senang.
"Kalau begitu ayo kita makan malam dulu, sudah kami siapkan," ajak Pak Andi.
Semua menuju ke meja makan. Raka dan Hana duduk bersampingan dan Aira berada tepat di depan Raka. Ia canggung, Aira terus menundukkan kepalanya melihat Raka dengan Hana ia tidak sanggup.
Di tengah makan malam mereka, sesekali disisipi canda dan obrolan.
"Bagaimana kalau pernikahan diadakan bulan depan, bukankah lebih cepat lebih baik," ucap Papa Raka.
Kaget dengan perkataan itu, Aira dan Raka menghentikan aktivitas makan mereka.
"Aku engga bisa pa. Lebih baik kita batalkan saja perjodohan ini," ucap Raka.
***
"Tidak bisa, pernikahan akan tetap berlangsung," tegas Papa Raka.
"Pah, aku engga bisa, aku hanya mau nikah sama Aira cuma dia yang aku cinta."
Semua mata langsung tertuju kepada Aira, Aira meneteskan air matanya lagi.
"Ada hubungan apa kamu dengan anak saya?" tanya Pak Andi.
"Om, saya sama Aira berpacaran. Sudah dua tahun ini, kami saling mencintai, jangan pisahkan kami."
Semua terkejut, mereka membulatkan matanya. Begitupun dengan Hana, ia tidak menyangka kalau calon suaminya itu pacarnya Aira.
"Apa benar yang dikatakan itu, Aira? Lalu siapa Keno?" tanya Bu Mira.
"Maaf semuanya, apa yang dikatakan Raka itu benar. Kami memang sempat pacaran dua tahun ini." Aira menghela nafas.
"Kalian tidak perlu memikirkan saya, disini saya yang akan mengalah. Lagi pula saya tidak mencintai Raka semenjak saya tahu ia akan dijodohkan," tambah Aira tersenyum.
"Aira kamu pasti bohong, aku yakin kamu masih mencintaiku, kan? Aku akan memperjuangkanmu, Ra."
"Tidak, kita bukan siapa- siapa lagi sekarang. Kau harus menikah dengan Hana. Lupakanlah aku," Aira berat sekali mengataknnya.
"Saya sudah selesai, Mari semuanya," pamit Aira tersenyum dan langsung meninggalkan meja makan.
Papa dan Mama Aira juga merasa sedih dengan kenyataan ini.
"Maaf atas kejadian yang tidak terduga ini," ucap Pak Andi.
"Tidak apa, saya juga tidak mengira kalau Raka pernah berpacaran dengan Aira. Yang penting pernikahan akan tetap berlangsung."
"Iya, kita akan segera menyiapkan semuanya, sehingga bulan depan mereka bisa menikah."
"Baik, kalau begitu saya sekeluarga pamit dulu," pamit Papa Raka.
Hana masih merasa bersalah dengan Aira, ia menuju ke kamar Aira tapi ternyata Aira tidak di kamarnya.
"Sedih sekali melihat Aira tadi," lirih Bu Mira.
"Dia pasti sangat sakit melihat orang yang ia cintai harus menikah dengan saudaranya sendiri," tambahnya.
"Saya juga sedih mbak, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi perjanjian antara Almarhum suami saya dengan Pak Permana. Saya tidak bisa berbuat banyak, mbak," ucap Mama Hana.
"Jujur, aku juga kaget mendengarnya, tapi biarkan saja. Aira pasti akan menerima semuanya. Dia anak yang kuat dan tegar," ucap Pak Andi sendu.
"Mahh, Om, tante..." teriak Hana.
"Ada apa, kenapa teriak dan menangis?" tanya Mama Hana.
"Kak Aira tidak ada di kamarnya, dia pasti sangat terluka mah. Aku enggak tega. Hiks hiks."
"Pah gimana ini." tanya Bu Mira cemas.
"Dia pasti akan pergi sebentar menenangkan diri, aku tahu dia. Dia tidak akan terus berlarut dalam kesedihan, Papa yakin," ucap Pak Andi menenangkan istrinya.
Hana terus menelfon Aira dan mengirimkan pesan kepadanya, tapi tak ada satu pun yang di jawab Aira.
***
Aira menenangkan diri di taman kompleks. Ia duduk bersila di bangku taman. Tatapannya kosong dan air mata tak berhenti mengalir. Sungguh ini sangat menyakitkan bagi Aira.
Kehilangan orang yang sangat dicintai memang sangat menyakitkan, tapi kalau takdir sudah tidak memihak kita hanya bisa menerimanya. Mengakhiri hubungan tidak semudah yang dipikirkan.
Kenangan yang telah tercipta, perjuangan yang telah dilalui, waktu yang telah dihabiskan bersama terasa sia- sia ketika semuanya harus diakhiri.
"Tuhan, apakah ini yang terbaik untukku. Apa memang aku harus mengikhlaskan Raka untuk Hana. Sakit sekali, Tuhan," ucap Aira dalam isak tangisnya dadanya semakin sesak.
"Kenapa Kau terus merebut kebahagiaanku Hana. Kenapa.." ucapnya kepada langit yang dipenuhi bintang malam itu.
"Bahkan, tadi saat mereka melihatku menangis tidak ada satu pun yang menguatkanku. Orangtuaku sendiri tidak pernah membelaku, terus saja Hana yang ada di pikiran mereka. Harusnya aku bukan dia," tambahnya lagi.
"Dari kecil aku harus mengalah dengan Hana, aku terus berjuang untuk bisa membanggakan Mama dan Papa. Tapi apa yang aku lakukan tidak ada artinya, mereka hanya bangga dengan anak itu. Anak itu selalu saja beruntung. Beda sekali denganku, yang dari kecil sudah tidak diharapkan mama sampai sekarang. Tidak ada yang menginginkanku."
"Hanya nenek yang mengertiku, tolong kembalikan nenekku. Aku tidak perlu semuanya aku hanya butuh nenek. Nenek kembalilah." Tangis Aira semakin menjadi. Ia yang selalu tampil ceria, tersenyum, kini ia menangis meratapi nasib yang tak pernah ia bayangkan.
Tak disangka, Mama dan Papa Aira ternyata berada di taman itu. Mereka mendengar semua yang dikatakan anaknya. Mereka tersentuh hatinya. Mama Aira ikut menangis.
"Pah.."
"Papa jadi merasa bersalah dengan Aira, papa kejam sekali dengannya."
"Mama juga, Pah."
Mereka berdua kembali pulang dan meninggalkan Aira. Mereka pikir Aira masih membutuhkan waktu untuk sendiri.
Malam semakin larut, menunjukkan pukul 11.00. Seperti tidak ada kehidupan lagi, hanya sepi dan sunyi. Aira melangkahkan kakinya untuk pulang. Berat rasanya melangkah, ia berjalan dan masih tetap menangis.
Sesampainya di rumah, ternyata semua belum tidur mereka masih sibuk membereskan rumah. Semua orang rumah menyapa Aira dan berusaha mengajaknya bicara, tapi tak ada satu pun yang Aira pedulikan. Aira sedang tidak marah dengan semuanya, ia hanya kesal dengan nasibnya yang seakan dipermainkan takdir. Ia langsung masuk ke kamarnya dan merebahkan tubuhnya. Tak perlu waktu lama mata Aira sudah terpejam.
Mama Aira masuk ke kamar anaknya, ia melihat wajah sendu Aira. Biasanya ia melihat anaknya itu selalu ceria tapi kini kesedihan menyelimuti wajah anaknya. Ia meneteskan air matanya.
"Maafin Mama, Nak. Mama tidak bisa melakukan apapun untukmu. Tapi ketahuilah, Mama selalu mendoakan untuk kebahagiaanmu," lirih Bu Mira membelai pipi anaknya dan menyelimuti tubuhnya.
***
Mentari pagi pun menyapa setiap insan. Aira membuka matanya, tapi belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia menatap langit- langit kamarnya. Terus berusaha mengumpulkan semangatnya agar tidak terus bersedih.
"Aku harus ikhlas jika Hana menikah dengan Raka. Bagaimanapun pernikahan akan tetap berlangsung, aku akan berhenti mencintaimu Raka, terima kasih telah hadir dalam hidupku. Terima kasih telah mengisi hari- hariku," gumam Aira.
Aira langsung bangkit dari tempat tidurnya, ia mandi dan bersiap untuk membawakan berita. Ia duduk di depan meja rias untuk memoles tipis wajahnya.
Tok-tok- tok !
Suara ketukan pintu kamarnya terdengar.
"Masuk." Mendengar perkataan Aira, ia pun segera masuk.
"Hana, kenapa?" tanya Aira santai.
"Aku membawakanmu sarapan, ini," ucapnya menyodorkan nampan berisi nasi goreng dan segelas susu hangat.
"Terima kasih, tapi aku akan sarapan di kantor, aku buru- buru," tolak Aira dengan tersenyum seolah tidak terjadi apa- apa dengannya.
"Apa kau marah denganku, Kak?" tanya Hana.
"Untuk apa aku marah denganmu?"
"Karena Raka akan menikah denganku," lirih Hana sembari menundukkan kepalanya.
"Tidak, aku tidak marah. Aku ikhlas kok kalau kamu sama Raka."
"Benarkah?" Aira hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Hana memeluk Aira dengan erat.
"Kak terima kasih, maaf telah merusak kebahagiaanmu," ucap Hana.
"Kau tidak merusak kebahagiaanku, kau jangan sedih," ucap Aira air matanya hampir menetes namun ia segera menahannya.
"Apa kau suka dengan Raka?" tanya Aira.
"Sejak pertama bertemu aku sudah menyukainya, Kak," jawab Hana.
"Ehh aku berangkat dulu ya, takut telat," pamit Aira yang langsung mengambil tas dan ponselnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Aska Varo
mewek😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2021-12-20
0
imas elis
aku pernah ngalamin sperti itu tpi aku dpt pngganti yg bner2 tlus syang hee
2021-12-16
0
kiki
klo jodohny orng lain mah gk mslah, nah ini sodara sndiri
2021-08-12
0