Suara cericit burung di dahan pinus, bersiul menyenandungkan melodi alam yang begitu, eksotik.
Lidah, sinar mentari menjulur lewat dahan - dahan pinus, meliuk- liuk karena hembusan angin. Menerobos menembus ventilasi dan menjilati wajah Bara.
Silau, dan hangat!
Bara terlonjak dari tidurnya! Spontan dia bangkit dari tempat tidur dan berjalaln menuju jendela.
Bara, memicingkan ke dua matanya karena silau. Setelah terbiasa , manik matanya langsung di sergap hamparan hijaunya padi yang menguning.
Bara kaget dengan pemandangan itu. Bukankah ini tengah hutan? Bagaimana ada hamparan sawah di tengah hutan begini?
Bara bergegas menuruni anak tangga, saat ia teringat janji om Frank. Karena hari telah menjelang siang. Jangan- jangan om Frank sudah pergi tanpa menunggunya karena telat bangun.
Di anak tangga terakhir, Bara menangkap sesosok tubuh duduk di sofa. Membelangkangi Bara.
Bara sengaja berdehem untuk menarik perhatian orang itu. Dan benar saja, orang itu langsung membalik tubuhnya, menghadap Bara.
" Egh,selamat pagi tuan Bara." seseorang yang tadi di kira Bara, adalah Om Frank memberi salam seraya menundukkan wajahnya penuh hormat.
Kening Bara mengernyit, menambah ketampanan wajahnya. Bingung dan heran, karena sikap orang yang belum pernah ia lihat sama sekali.
" Maafkan saya tuan, Bara. Saya adalah Baskoro, tuan cukup panggil Bas, saja. Saya di tugaskan pak Frank untuk mengantar tuan, karena pak Frank sudah duluan pergi,"
" Ah, ****! " dengus Bara kesal seraya memegang dagunya kasar. Ternyata benar, dia di tinggal tidur. Apa salahnya dia di bangunkan sih.
" Tuan sarapan dulu, semuanya sudah ada di meja." ucap Bas sopan. Bara menatap tajam ke arah Bas. Laki- laki yang beda usia paling lima tahun lebih tua darinya ini. Menunduk takut!
" Tadi pak Frank sudah membangunkan tuan. Tapi nampaknya tuan masih kelelahan, jadi susah di bangunkan." Bas menjatuhkan pandangannya ke bawah, usai berucap. Tatapan dingin dari tuan mudanya, sungguh membuat tubuhnya serasa di kuliti.
" Hem!" sahut Bara dingin. Hanya kata itu yang terucap dari mulutnya.
Lalu Bara naik lagi ke kamarnya, untuk mandi dan salin pakaian. Bara heran juga, saat melihat lusinan pakaian yang telah di pajang dalam lemari.
Sepertinya, kepulangannya benar- benar telah di persiapkan sedetail mungkin.
Kembali Bara turun. Tubuh tegapnya yang terbalut kemeja blue navy dan celana jins itu. Semakin menonjolkan sisi dinginya.
Bara tak melihat Bas lagi di bawah. Bara mengintip dari balik jendela, Bas tengah memanaskan mesin mobil.
Bara lalu menghampiri meja makan dan membuka tudung saji. Nampak aneka makanan yang menggugah selera makan, Bara.
Lauk sambal jeroan dan soto. Juga makanan seafood lainnya.
" Dari mana om Frank mendapatkan semua makanan ini?" monolog hati Bara.
Tanpa menunggu lama, Bara makan dengan lahapnya. Menu yang tersaji benar- benar nikmat dan cocok di lidahnya.
Bara keluar, dsn menjumpai Bas yang masih memanaskan mesin mobil.
" Tuan udah siap mau pergi? Mari tuan saya antar."
" Bisakah kamu tidak memanggilku dengan sebutan itu. Telingaku seperti ke masukan air, saat kamu sebut- sebut aku tuanmu."
" Maaf, tu... Eh, aku harus manggil apa. Bapak atau..."
" Panggil saja namaku. Selisih umur kita tidak jauh beda. Bahkan kamu lebih tua." sahut Bara datar tanpa menoleh ke arah Bas, yang serba salah.
"Tapi.. gimana kalau pak Frank nanti marah, dan menganggapku gak sopan. Bisa- bisa saya di pecat, pak." seru Bas mengharap pengertian dari Bara.
" Ya udah. Kamu panggil pak saja. Jangan panggil tuan,"
" Ba.. baik pak." Bas membukakan pintu mobil. Bara masuk dan duduk di kursi penumpang.
Mobil sport Fourtuner hitam itu, kini membelah jalanan. Mata Bara tak lepas memandang ke kanan dan kiri sisi jalanan.
Lima belas menit berlalu, mobil berhenti.
" Kita sudah sampai , pak." seru Bas. Lantas Bas keluar dan berlari mengitari mobil untuk membukakan pintu mobil buat , Bara. Tapi keburu Bara sudah keluar.
Bara menatap ke sekeliling. Mencari sosok seseorang tapi tak nampak.
"Ayo pak, kita kesana. Pak Frank sudah menunggu kita di sana." unjuk Bas ke arah selatan.
Bara manut mengikuti langkah Bas, yang menuruni jalan setapak. Jarak lima meter Bara melihat area pemakaman. Makam yang terbuat dari marmer indah, tampak begitu bersih terawat.
Langkah Bara terhenti, saat melihat Om Frank yang di depan sebuah makam, yang agak terpisah.
Bara mendekati Frank, dan menghela nafas saat membaca nama yang tertulis di nisan. Satu persatu Bara membaca nama di setiap nisan.
" Apakah ini semua adalah makam ayah dan ibu. Juga kakek dan nenekku, om" bisik Bara lirih.
" Iya, dan juga bibimu. Tunangan om," suara serak dan berat itu, yang masih melukiskan rasa duka. Mengalihkan perhatian, Bara.
" Jadi, om adalah tunangan bibi, Tania?" beliak Bara terhenyak. Jadi ikatan itukah yang membuat Om Frank begitu peduli padaku?" monolog hati Bara.
" Bukan hanya karena Tania, om campur tangan soal kehidupanmu. Tapi kakekmu Pak Wisnu adalah orang yang telah mengangkat derajat hidup om. Om yang dulunya seorang berandal, dan hidup di jalanan. Semenjak om di pungut, om punya harapan untuk hidup dan meraih masa depan om.
Tapi, om belum sempat membalas kebaikan beliau. Beliau telah pergi dengan tragis. Om gagal melindungi mereka, terutama Tania. Perempuan yang telah membuat hidup begitu berarti."
Bara tergugu mendengar uraian Frank. Hal yang sama sekalai tidak ia duga. Pantasan Om Frank begitu gigih untuk melindunginya dan membawanya pergi meninggalkan kota K.
Tempat ia menghabiskan masa kanak- kanaknya. Hingga usia remajanya. Bahkan hingga di usianya yang sudah dua puluh lima.
Hanya saja , ia tak ingat masa lalunya waktu kecil.
Semua itu karena trauma yang ia alami.
" Om telah berjanji untuk membalaskan dendam atas kematian mereka semua. Juga untuk melindungimu. Karena kamu adalah garis keturunan kakekmu yang terakhir." geram Frank.
Hingga Bara mendengar suara gemelutuk gigi Frank menahan emosi.
" Memangnya om tau siapa yang telah menghabisi semua anggota keluargaku?"
"Om sudah tau sejak dulu. Om dan om Danu sudah lama menyelidikinya. Bahkan sebagian dari mereka telah kami habisi."
" Kenapa bukan aparat Polisi yang bertindak. Kenapa om main hakim sendiri?"
" Keadilan bukan milik orang kecil, Bara. Mereka justru mempermainkan hukum. Jadi jangan heran, jika banyak orang yang mencari keadilan dengan cara mereka sendiri!"
"Ayo kita pergi dari sini. Om mau mengajakmu keliling." Om Frank sekali gerakan telah naik ke atas.
Bara tidak segera naik. Bara masih menatap satu persatu makam itu. Mengeja nama ayah dan ibunya. Ada rasa pilu dalam hatinya, saat mengetahui bahwa kematian ke dua orang tuanya karena di bunuh orang.
Bara menyematkan beberapa doa singkat, untuk keluarganya yang telah meninggal itu. Dan berjanji untuk mengungkap siapa dalang dan pembunuh mereka.
Mereka harus bertanggung jawab!!!
***********
bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments