Sebuah kutipan

..."Persatukan kami hingga ke jannahmu, ya Allah!" Aretha....

***

"Bagaimana, Bian?" tanyaku yang merasa sangat cemas, aku memang tidak merasakan apa-apa yang aneh dalam perut, hanya saja jantungku memompa sangat kencang karena kepanikan dan ketakutanku.

Aku sangat takut Rena memasukkan sesuatu ke dalam susu hangat tadi untuk mencelakai kandunganku, Bian masih fokus melihat layar monitor USG.

"Alhamdulillah, semua baik Aretha,"

Aku bernafas lega mendengar jawaban Bian, sampai tak terasa air mataku jatuh karena merasa sangat bahagia, persatukan kami sampai ke Jannah ya Allah.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba merasa khawatir akan kandunganmu? Apa kamu baru saja mengalami kecelakaan? Jatuh? Benturan?" Bian masih berdiri di samping ranjang pasien tempatku berbaring, aku bangun, membenarkan posisi duduk, mengelus perut beberapa kali sambil merapalkan kalimat puji syukur dan doa keselamatan.

"Tadi aku bertemu Rena," aku menjeda, Bian menatapku dalam meminta penjelasan, dan aku pun mulai menceritakan apa yang terjadi di saat pertemuanku tadi bersama wanita itu.

Bian sampai geram mendengar ceritaku, ia merasa ini semua sudah sangat keterlaluan, ia bahkan tak menyangka Rena akan sejauh itu, melihat gadis cantik, lemah lembut dan lugu seperti dirinya, seakan Bian tak percaya dengan apa yang aku katakan. Tapi jika mengingat caranya berdandan tadi siang menggunakan polesan bold make up, visual Rena cukup berbeda dengan soft make up yang biasa ia kenakan.

"Lantas, apa yang akan kamu lakukan? Bagaimana rencanamu selanjutnya? Aku takut sesuatu yang buruk bisa saja terjadi jika kamu masih tinggal di rumah Tante Ani,"

"Aku tidak begitu takut akan hal itu, Bian. Aku yakin ibu adalah orang baik yang tulus, tapi ada hal lain yang aku takuti yang sangat mengganjal isi kepalaku,"

"Apa?"

Aku turun dari ranjang pasien, duduk pada kursi menghadap meja kerja Bian, Bian pun mengikutiku, ia duduk pada kursinya berhadapan denganku.

"Saat anak ini lahir, mas Reyhan akan melakukan tes DNA, dan jika terbukti ini adalah anaknya, dia akan memperebutkan hak asuh anakku, Bian, dia akan memisahkan kami, itu yang sangat aku takutkan." tangisku pun pecah, tak lagi dapat kucegah merasakan betapa sakitnya hatiku jika sampai itu terjadi.

"Hei, tenanglah," Bian berdiri, menghampiriku lalu memeluk hangat tubuhku yang terasa dingin dan gemetar.

"Pengadilan akan memenangkan hak asuh itu padamu,"

"Itu tidak mungkin, Bian. Lihat aku!" aku melepas pelukan Bian, berdiri berhadapan.

"Aku wanita lemah sebatang kara yang tak memiliki pekerjaan, bahkan tempat tinggal pun aku tidak punya, pasti pengadilan akan memenangkan hak asuh pada mas Reyhan yang serba mapan."

Benar bukan? Pengadilan tidak mungkin akan membiarkan hak asuh anak jatuh pada seorang ibu yang memiliki latar belakang dan kehidupan tidak jelas sepertiku, aku tidak memiliki apapun, maupun siapapun. Aku tidak mampu untuk bersaing dan melawan mas Reyhan.

Tangisku semakin deras, membanjir membasahi seluruh wajah.

"Aretha, istighfar, semua akan baik-baik saja," Bian kembali memelukku, menenangkanku yang tengah terguncang hebat.

"Lantas, apa rencanamu? Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Bian mengulang pertanyaan yang sama kembali.

"Aku ingin mas Reyhan meninggalkanku, aku ingin mas Reyhan merelakan anak ini, karena jika aku yang pergi, ke mana pun aku akan pergi? Mas Reyhan juga pasti akan menemukanku kembali, tolong bantu aku, Bian, pikirkan sesuatu, bagaimana caranya agar mas Reyhan tidak peduli lagi padaku dan anakku?"

Pikiranku sedang buntu, itu biasa terjadi pada seseorang yang merasakan takut dan panik berlebih, aku tak dapat berpikir jernih untuk mendapatkan sebuah ide.

"Ada satu cara, tapi ini tidak baik." jawab Reyhan seketika membuatku terdiam dari tangisan.

"Apa?" kudorong pelan tubuh Bian yang memelukku, kutatap penuh kedua bola matanya, ia seperti ragu atas ide yang ingin disampaikannya.

"Bian, katakan!" desakku tidak sabar.

"Reyhan harus mengetahui jika kamu keguguran, dia harus mengira jika anaknya telah tiada, dengan begitu, dia akan meninggalkanmu tanpa mempedulikanmu lagi, dan kau bisa terlepas darinya, ini semua, memulai hidup baru tanpa bayang-bayang mereka,"

"Apa maksudmu, Bian? Kau ingin aku menggugurkan anakku? Apa kau gila? Sampai kapanpun aku tidak akan pernah melakukan itu," Aku begitu marah dan emosi mendengar ide yang Bian katakan, apa Bian sudah gila? Sampai memberiku ide seperti itu?.

Karena marah aku berdiri dan hendak pergi meninggalkan Bian, namun belum sempat melangkah, Bian sudah memegangi kedua lenganku dengan kuat, mencegahku pergi.

"Aretha, tenang, dengar dulu, bukan seperti itu."

Aku pun berhenti, memberikan waktu pada Bian untuk menjelaskan maksudnya.

Bian memulai mengutarakan ide konyolnya yang kemudian setelah cukup lama mendengarkan, kurasa ini adalah ide yang brilian, memang sangat konyol dan keterlaluan, tapi kupikir ini lebih baik dari pada harus menghadapi mas Reyhan di persidangan untuk memperebutkan hak asuh anak.

"Bagaimana?" tanya Bian memastikan.

"Apa mas Reyhan tidak akan curiga? Apa ini bisa berhasil?" aku masih ragu, apalagi aku bukanlah aktris yang pandai berlakon, takut jika sandiwara yang akan kami lakukan dengan mudah terbongkar, terbayang bagaimana malunya aku nanti.

"Kita harus coba dulu, Aretha. Aku akan membantumu sepenuhnya."

***

Setelah membicarakan begitu banyak hal, aku berpamitan mau pulang, rencananya, aku harus bisa meyakinkan ibu untuk keluar dari rumahnya, itu rencana pertama, baru setelah itu aku bisa menjalankan rencana yang ke dua.

Bian akan mengantarku pulang setelah menyelesaikan satu pekerjaan lagi, membantu persalinan ibu melahirkan normal, aku menunggu Bian sambil duduk di kursi deret ruang tunggu pasien.

Saat melamun, tiba-tiba seorang perempuan paruh baya duduk di sebelahku, ibu itu tengah mengantar anak mantunya yang melahirkan, dan kebetulan Bian lah yang sedang menangani.

"Periksa kandungan?" tanya ibu itu, aku mengangguk sambil tersenyum.

"Sendiri saja? Apa diantar suami?" aku bingung harus menjawab apa, diamku nyatanya dapat dengan mudah ia tebak jika kehidupanku tak sebagus itu untuk bisa bercerita membahas seorang suami.

Ibu itu mengangguk beberapa kali seakan memahami keadaanku.

"Anak saya sudah meninggal, baru dua bulan yang lalu, dan sekarang saya hanya tinggal bersama anak mantu saya yang saat ini berada di dalam ruang bersalin, cucu saya baru saja lahir," ibu itu mengawali cerita.

"Selamat ibu, atas kelahiran cucunya,"

"Iya, terimakasih, aku pikir kami tidak akan bertahan sampai sejauh ini, saat kabar kematian putra ibu sampai di tengah keluarga, istrinya, menantu ibu, dia langsung drop, tidak sanggup dan hampir bunuh diri, tapi ibu terus berusaha menguatkan dia hingga ia mau berusaha bertahan dan berjuang," lanjut ibu itu bercerita, banyak hal positif yang dapat kuambil dari cerita ibu itu setelah kami cukup lama ngobrol. Hingga Bian datang, keluar dari ruang bersalin.

"Aretha, ayo!" ajak Bian, aku pun berdiri menyambut kedatangan Bian.

"Dokter, terimakasih," ucap ibu itu sambil menyalim tangan Bian.

"Ah, ibu, iya, sama-sama, sekali lagi selamat atas kelahiran cucunya." jawab Bian.

"Iya, Dokter."

"Kalau begitu, kami permisi dulu, Bu," Bian menggandeng tanganku, namun langkah kami terhenti ketika ibu itu kembali mengatakan sesuatu.

"Ketika kamu ikhlas menerima semua kekecewaan hidup, maka Allah akan membayar tuntas semua kekecewaanmu dengan beribu-ribu kebaikan. Itu adalah kutipan dari sayyidina Ali bin Abi Thalib," ibu itu memberikan senyum terakhirnya pada kami setelah mengatakan sebait kata-kata mutiara penuh makna, setelah itu beliau masuk ke dalam ruang bersalin.

Aku termangu oleh kalimat yang ibu tadi sampaikan, ikhlas menerima semua kekecewaan hidup, yah, aku tahu poinnya, selama ini aku belum ikhlas menerima garis takdir hidupku yang terlahir penuh penderitaan, itulah mungkin mengapa Allah masih belum juga memberiku kebahagiaan melainkan kegundahan dan ketakutan.

"Aretha,,,," panggil Bian membuyarkanku dari lamunan.

"Ayo!"

Kami melangkah bersama meninggalkan rumah sakit menuju rumah ibu, aku harus pulang sebelum akhirnya berpamitan untuk keluar dari rumahnya, memilih tinggal di rumah bibi di desa. Itu yang terbaik untukku.

***

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Nena Anwar

Nena Anwar

nah begitu dong ambil keputusan jangan diem aja dan terus tersakiti

2022-05-10

1

Chy Teteh Bhawel

Chy Teteh Bhawel

ayo aretha tunjukan sama orang" yng ga menginin kan mu bhwa kmu itu bisa kmu itu hebat

2022-05-10

0

Wika

Wika

next thor

2022-05-10

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!