...Sayyidina Ali pernah berkata: "Mencintai satu orang itu biasa, tapi, mencintai satu orang berkali-kali itu luar biasa."...
***
Mas Reyhan nampak begitu lahap menyantap menu makanan yang barusan aku masak untuknya, oseng cumi yang gurih dan lezat, dengan nasi putih yang masih hangat.
Tanpa sadar aku terus memperhatikannya sampai ia selesai makan lalu meminum segelas air putih.
"Alhamdulillah,,,," ucapnya sambil meletakkan kembali gelas yang sudah kosong.
Aku seketika salah tingkah dan gugup, kala mas Reyhan tiba-tiba menatapku dengan seutas senyum yang nampak begitu sangat manis, senyum yang terlihat begitu tulus.
Tunggu, mimpikah aku? Mas Reyhan tersenyum? Padaku? Ya Tuhan,,,, jantungku memompa tidak normal begitu kencang serasa mau lompat keluar dari tubuhku.
Dengan gerakan gugup aku bangkit, berdiri dari kursi, merapikan piring kotor bekas kami makan.
"Biar kubantu," ucapnya seraya merebut pelan piring kotor dari tanganku. Aku terdiam dan membiarkannya.
Ada apa dengannya? Kenapa sikapnya begitu berubah? Apa yang sedang ingin ia tunjukkan? Ataukah ini semua hanyalah sebuah jebakan? Ya Allah,,,, jangan biarkan aku kembali terjatuh begitu dalam ke dasar perasaan pada pria yang tak pernah memiliki perasaan yang sama padaku.
Setelah selesai mencuci piring, aku yang mengeringkan lalu merapikannya ke rak piring.
"Apa kamu masih bekerja di restoran itu?" tanya mas Reyhan membuka obrolan, ia terus mengekor di belakangku seusai kami mencuci piring.
"Tidak, ibu memintaku berhenti bekerja dan hanya melakukan aktifitas ringan saja," jawabku sambil menurunkan tirai gorden jendela ruang tengah karena matahari dari arah barat begitu menyilaukan mata, dan retinaku cukup sensitif dengan silau cahaya.
Aku melangkah menuju kamar hendak istirahat sekaligus menghindarinya, namun baru saja knop pintu kuputar, tangan mas Reyhan terlebih dulu menghalauku dengan memeganginya dari atas punggung tangan.
"Ada yang harus kita bicarakan," ucapnya terdengar serius.
Kini aku memberanikan diri untuk membalas tatapannya meski jantungku berdegup tak beraturan.
"Apa?"
"Tentang anak ini, tentang hubungan kita, bagaiman kedepannya?"
Pertanyaan yang juga sering menghantuiku namun aku tak pernah memiliki jawabannya, lebih lagi tak menginginkan jawabannya, apalagi aku tahu jika hati dan rasa mas Reyhan hanya untuk Rena semata, aku tak ingin menjalani hubungan meski berstatus suami istri namun tak saling terikat perasaan, dan menjadi penghalang hubungan orang lain yang jelas-jelas saling mencintai.
"Apa lagi yang harus dibicarakan? Semua sudah sangat jelas, kamu tidak pernah mencintaiku, dan aku pun tak ingin menjalin hubungan yang hanya akan menyakitkan," Kembali kuputar knop pintu, dan mas Reyhan kembali menahan tanganku.
Aku menatapnya dalam, mencari tahu apa yang ada dalam matanya, karena mas Reyhan hanya diam tanpa berniat mengucapkan sesuatu, mulutnya terkatup rapat dengan matanya yang berkilap.
"Aku butuh istirahat, tolong lepaskan tanganku," ucapku pelan, dan mas Reyhan sontak saja melepaskannya dengan cepat, mungkin tadi ia tak begitu sadar atas perlakuannya, memegang tanganku mungkin hanya sikap refleksnya saja. Dan aku masuk ke dalam kamar, menguncinya dari dalam, membiarkan setetes air mata luruh membasahi pipi.
***
Mas Reyhan benar-benar tinggal di rumah ibu menemaniku sepeninggal ibu ke Pekalongan, ini semua terasa kikuk bagiku, meski kami tidur di kamar yang berbeda, namun tinggal bersama di bawah naungan atap yang sama, mengingatkanku akan kebersamaan singkat kami dulu, tapi, ini tak seperti dulu, mas Reyhan jauh berubah, ia lebih banyak bicara dan tatapannya tak sedingin dulu, ia bersikap lebih terbuka, dan,,,, hangat.
Di waktu senja aku baru pulang dari boutique ibu, gerimis mulai mengguyur, langit menghitam oleh gulungan awan mendung, angin berhembus cukup kencang menggoyangkan pepohonan di halaman rumah ibu.
Aku mengibas bajuku yang sudah mulai basah, tiba-tiba pintu dibuka dari dalam sebelum aku mengetuknya. Itu mas Reyhan.
"Kenapa nggak telpon sih? Aku kan bisa jemput kamu," dari nada bicaranya seperti seorang suami yang mengkhawatirkan istrinya, ia pun menarik pelan tanganku agar lekas masuk.
"Tidak apa-apa, mas, aku tidak mau merepotkan, lagi pula kupikir tadi mas Reyhan masih bekerja, dulu biasanya pulangnya kan malam terus," sengaja aku membahas lagi tentang kebiasaannya dulu yang pulang kerja saat malam atau bahkan tengah malam.
"Berhenti menyindirku!" ucapnya ketus, aku hanya mengangkat kedua alisku acuh.
"Cepat mandi dan ganti baju, aku siapkan wedang jahe buat kamu,"
Ya Allah,,,, seperti inikah rasanya diperhatikan? Seperti inikah rasanya dikhawatirkan? Mas Reyhan membuat hatiku bergetar tak beraturan karena sikap dan cara bicaranya, sungguh aku merasa sangat senang meski selalu kucoba untuk kutepis mengingat adanya nama seorang perempuan lain yang dicintainya, yang lebih dulu singgah di hatinya, yang jauh lebih berarti dibandingkan aku, karena yang pertama akan selalu menjadi pemenangnya.
"Tidak usah, mas, aku bisa sendiri," tolakku. Aku tak ingin menjadi terbiasa dengan sikapnya yang hangat padaku, bagaimana nanti jika dia kembali bermode es batu? Pasti dinginnya akan lebih menyiksa karena aku merindukan kehangatannya.
***
"Mas, kamu yang siapkan ini?" tanyaku saat kami sudah berada di meja makan. Terhidang menu ayam goreng, sambel, lalapan, tempe goreng, dan nasi putih yang masih mengepul hangat.
"Semoga kamu suka, aku pernah membuatkannya untuk Rena dan dia," kalimatnya menggantung, tak ia selesaikan, suasana yang semula hangat menjadi sangat canggung.
Aku menelan saliva susah payah, merasa sesuatu telah mencekat tenggorokanku, dan kudengar mas Reyhan berdehem pelan, ia juga nampak merasa bersalah atas ucapannya yang spontanitas itu.
Jadi, intinya, aku bukanlah satu-satunya orang yang pernah ia masakkan, dan Rena tetap menjadi yang pertama.
Aku memulai pergarakan duduk, mengambil piring dan sendok, mengurangi ketegangan, andai aku memiliki kekuatan untuk menolak masakan mas Reyhan ini, tapi bukankah tidak baik menolak makanan? Itu juga salah satu rejeki yang harus kita hormati.
"Kau suka?" tanya mas Reyhan. Aku hanya mengangguk sambil bergumam memberikan jawaban, kembali memasukkan sepotong tempe dan nasi putih ke dalam mulutku.
"Apa yang kamu rasakan?" tanya mas Reyhan tak dapat kumengerti, selesai mengunyah, aku mengambil minum.
"Maksud mas Reyhan?" tanyaku setelah selesai makan.
"Apa ada pergerakan dalam perutmu? Aku baca di internet, kandungan di usia 5 bulan janin sudah bergerak-gerak,"
Aku menunduk lalu mengelus perut buncitku yang masih kecil, senyum pun tak dapat kutahan kala kurasakan gerakan lembut di dalam sana.
"Iya, dia bergerak-gerak." jawabku antusias.
Mas Reyhan tiba-tiba berdiri dari duduknya lalu mendekat, menghadapkan kursiku agar menghadap dirinya.
"Bolehkah aku mengelusnya, Aretha?" pintanya sambil berjongkok dengan satu tumpuan kaki ke belakang tubuhnya.
Apalagi ini? Kenapa mas Reyhan begitu berubah? Kenapa dia selain menghangat juga begitu manis? Oh Tuhan,,,, andai kami sepasang insan yang saling mencintai tanpa adanya dia yang menjadi penengah, atau sebenarnya akulah yang menjadi penengah di antara hubungan mereka?
"Aretha?" panggil mas Reyhan membuyarkanku yang tenggelam dalam lamunan.
"He em!" anggukanku membawa senyum sangat lebar di bibir mas Reyhan yang belum pernah kurasakan manisnya.
Ya, kami melakukan itu dengan perlakuan mas Reyhan yang dominan dan buru-buru, dan sama sekali bibirnya tak menyentuh bibirku, kecuali satu-satunya tanda merah di leher bekas bibirnya yang menjadi tanda kepemilikannya atas diriku malam itu.
"Aretha, dia bergerak," mas Reyhan nampak sangat senang bisa mengelus perutku, ia banyak bicara dengan si baby sambil mendekatkan wajahnya ke perutku, selain mengelus, ia juga memberikan kecupan yang membuat darahku berdesir, aku hampir terlonjak karena kaget.
Namun semua tak bertahan lama, saat ponsel mas Reyhan yang berada dalam saku kemejanya berdering.
Mas Reyhan bangkit dan pamit menjauh menerima sambungan telepon itu, aku tahu siapa yang menghubunginya, siapa lagi jika bukan dia? Perempuan yang dicintainya, akhirnya, panggilan itu sukses menamparku agar kembali ke dalam kenyataan, mas Reyhan bukanlah milikku, di sana ada Rena yang selalu singgah di hatinya? Dan aku? Aku tidaklah lebih dari sebuah kesalahan dalam hidupnya yang harusnya tak pernah ada.
Namun betapa bodohnya diriku, bukannya membenci mas Reyhan, aku malah kembali jatuh cinta padanya, aku kembali jatuh cinta pada orang yang sama, berkali-kali, beriringan dengan rasa perih yang meracuni hati.
Aku, Aretha Azalea, mencintai dia yang mencintai wanita lain, bernasib sial yang dipermainkan takdir.
***
"Aretha, aku harus pergi sekarang, kau tidurlah lebih dulu, nanti aku pulang setelah urusanku selesai," mas Reyhan menemuiku di dapur yang tengah mencuci piring bekas kami makan.
"Aku berani kok mas, mas tidak perlu kembali ke sini malam ini, lagi pula, kalau sudah tidur, aku malas bangun sekedar untuk membukakan pintu,"
"Tidak, aku sudah berjanji pada ibu akan menemani dan menjagamu, aku pergi tidak lama, biar aku bawa kunci cadangan, agar nanti saat pulang, aku tak perlu membangunkanmu," mas Reyhan tetap bersikukuh untuk kembali pulang ke rumah ibu, aku tak lagi bisa menolaknya, lagi pula apa hakku? Ini rumah ibu kandungnya, sedangkan di sini, akulah yang menumpang.
"Aku pergi dulu, selamat malam, cup!"
'DEG!'
Apa lagi ini? Dia mengecup keningku sebelum pergi?
***
Bersambung.
Hai sahabat readers,,,, menurut kalian, Aretha harus bagaimana? 🥺
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
martina melati
jangan sering nangis lho bumil... kasihan nti bayiny kalo sdh lahir jd cengeng...
2025-02-11
0
martina melati
lho sdh bercerai toh... emang boleh dcium???
2025-02-11
0
martina melati
jangan2 yg ngidam nih reyhan
2025-02-11
0