Lupakan masa lalu

..."Jika memungkinkan, kumohon hapuskan namanya dari hatiku, Tuhan!" Aretha....

***

Jadilah kami makan siang bersama di rumah ibu, suasana canggung begitu kental terasa, aku yang masih sakit hati dan marah dengan mas Reyhan, juga merasa malu pada Dokter Bian, sedang raut muka mas Reyhan menjelaskan ketidak sukaanya dengan Dokter Bian, tapi Dokter Bian sangat pandai mencairkan suasana, ditambah ibu yang membuat semua terasa lebih nyaman dengan kecerewetannya.

"Ayo, makan yang banyak, biar pada kuat menghadapi kenyataan hidup yang terkadang tak seusai harapan." seru ibu sambil menyajikan nasi ke piring Bian lalu menuangkan Cappuchino hangat kesukaan mas Reyhan ke gelas mas Reyhan.

"Terimakasih, Tante, wah, kalau begini caranya, pulang-pulang timbangan saya pasti ke kanan ini," timpal Bian bergurau.

"Aaahhh, lupakan timbangan, yang penting perut kenyang!" seloroh ibu mengundang gelak tawa Bian.

"Aretha, ada apa? Kenapa nasinya cuma di aduk-aduk? Bukan bubur loh, itu!" ibu membuyarkan lamunanku dan kusadari aku memang hanya memutar sendok di atas piring.

Aku tersenyum kaku mendapati tingkahku yang konyol, ini semua gara-gara mas Reyhan, ya, aku menyalahkannya, karena kehadirannya membuatku kembali teringat akan kejadian kemarin yang menyakitkan. Padahal seharusnya hari ini aku mau pergi dengan Bian ke toko perhiasan.

"Kenapa, sayang? Apa makanannya tidak enak? Apa tidak cocok di lidahmu? Tidak sesuai seleramu? Atau karena si kecil yang tak mau?" ibu langsung menghujaniku dengan amunisi pertanyaannya yang membuatku bingung mau menjawab dari mana.

"Tidak kok, Bu. Masakan ibu selalu enak, mungkin Aretha hari ini kurang nafsu saja, tapi ini enak kok, Aretha juga mau makan ini." jawabku tak ingin membuat ibu merasa sedih.

"Jangan dipaksakan kalau memang tidak suka," mas Reyhan angkat bicara menarik perhatian kami semua setelah semenjak datang tadi dia hanya diam tanpa suara.

"Aku ajak kamu makan di luar, ya? Mau makan apa? Ayo!" mas Reyhan bicara begitu santai seolah aku sudah memaafkannya saja, membuatkan kesal namun tertahan.

"Kamu mau makan di luar, Sayang?" tanya ibu karena aku belum menjawab ajakan mas Reyhan, Bian nampak biasa saja, melanjutkan makannya.

"Tidak, Bu. Makan ini saja, mubazir juga kan kalau makanan ini ditinggal tak dimakan?"

"Aduh,,,, kalau kamu mau makan di luar, tidak apa-apa Aretha. Ibu bisa simpan makanannya dan nanti dipanaskan, jadi tidak akan mubazir dan buang-buang makanan, kalau kamu mau makan di luar, makan gih, Reyhan juga sudah ngajak kamu," ibu mendukung ide mas Reyhan untuk mengajakku makan di luar, biar bagaimanapun, beliau adalah orang tua mas Reyhan, meski kecewa atas keputusan mas Reyhan yang menceraikanku, beliau pasti masih sangat menyayangi putranya, dan menginginkan yang terbaik untuk mas Reyhan, apalagi ini berhubungan denganku, ibu terlihat begitu antusias dan mendukung.

"Tidak, Bu. Makan ini saja, sungguh, aku kangen masakan ibu." jawabku sambil tersenyum tulus, berharap ibu tak lagi memaksa dan untungnya ibu mau mengerti. Ia mengangguk lalu melanjutkan makannya.

***

Setelah acara makan siang kami selesai, Bian mengutarakan niatnya datang ke mari, meminta ijin pada ibu untuk membawaku pergi ke suatu tempat.

"Kalian mau ke mana?" sembur mas Reyhan sebelum ibu memberikan tanggapannya atas permintaan ijin Bian.

"Kami mau pergi ke suatu tempat," jawab Bian menatap mas Reyhan yang jelas nampak tidak suka padanya.

"Kalau ibu sih, terserah Arethanya saja, kalau dia mau, ya silahkan, tapi ibu meminta sama kamu untuk baik-baik menjaga Aretha, dia kesayangan ibu, apalagi sekarang Aretha sedang mengandung, jadi harus hati-hati, dan jangan terlalu lelah." ibu memberi ijin sekaligus sederet pesan.

Aku tersenyum senang pada ibu, dia begitu baik. Sungguh aku beruntung memilikinya.

"Terimakasih, Bu. Aretha memang sudah ada janji sama Dokter Bian untuk pergi," aku memeluk ibu, beliau pun membalas pelukanku.

"Cuma pergi berdua?" mas Reyhan kini menatap penuh tanda tanya ke arahku, dan aku hanya mengangguk memberikannya jawaban.

"Apa kalian pacaran?" tuduh mas Reyhan langsung pada inti yang mungkin mengganjal di hatinya dan menjadi pertanyaan besar baginya atas hubungan kami, tapi untuk apa? Apa pedulinya? Toh dia tidak mencintaiku, lantas untuk apa mengurusi urusan pribadiku?

"Sayang, Aretha,,,, benarkah yang ditanyakan Reyhan? Kalian pacaran?" kini ibu memberikan pertanyaan yang sama untuk memastikan.

Sontak aku menggeleng cepat, namun aku cukup terkejut dengan jawaban yang Bian berikan.

"Maaf, Tante, saya rasa itu urusan pribadi kami, bukan bermaksud lancang, tapi Reyhan sudah menceraikan Aretha, dan saya rasa Aretha sah-sah saja jika dia ingin membuka hatinya pada pria lain."

'Boom!'

Tak ada lagi yang bisa kukatakan, ibu nampak sedikit kecewa tapi dia berusaha menerima, senyumnya tak selebar dan seceria tadi.

Dan mas Reyhan? Ia menatapku tajam seolah aku telah bersalah padanya.

***

Kami sampai di toko perhiasan yang ingin Bian kunjungi, sejak semalam kami sudah saling berbalas pesan, Bian memintaku untuk mengantarnya membeli sepasang cincin untuk ia jadikan hadiah kejutan kekasihnya, Bian ingin melamar wanita yang dicintainya.

"Kurasa ini lebih cocok jika dipakai Anaya, dia gadis modern yang simpel tapi elegan," aku menunjuk cincin emas putih yang berdesigne polos bermata berlian yang sangat simpel namun sangat cantik.

"Iya, kurasa pilihan ini yang terbaik," Bian setuju dengan pilihanku, itu pun setelah pemilik toko mengeluarkan beberapa koleksinya sampai beberapa kali, baru kami menemukan cincin yang Bian pilih.

"Jadi, yang ini, Tuan?" tanya perempuan penjaga toko emas.

"Iya, yang ini saja!" jawab Bian mantap.

"Mohon tunggu sebentar, akan kami lakukan pengemasan,"

Kami menunggu sebentar, kemudian keluar toko, Bian nampak puas dengan cincin yang didapatnya.

"Jadi, kamu akan melamarnya besok?"

Kami bersantai di salah satu coffee shop mall yang masih satu lokasi dengan toko emas.

"He em," Bian mengangguk sambil menyeruput kopi hitamnya yang pahit tanpa gula.

"Besok siang, saat pesta ulang tahunnya." jawab Bian setelah ia meletakkan cangkir kopinya.

"Bagus, aku doakan semoga berhasil, dan kalian bisa secepatnya menikah."

"Aamiin,,,, makasih, ya!" ucap Bian begitu terlihat senang. Dan energi positif itu membuatku ikut merasakan bahagia.

"Bian, kenapa tadi kamu tidak menjawab langsung pada pertanyaan ibu dan mas Reyhan kalau kita tidak ada hubungan apa-apa, kalau kita hanya berteman biasa?" Aku membuka topik membahas kejadian tadi di rumah ibu sebelum kami pergi.

Bian tersenyum kecil, entah apa maksudnya, aku mengernyit meminta penjelasan.

"Dasar bodoh, apa kamu tidak melihatnya?"

"Auuwww!" teriakku sambil mengusap hidung karena barusan Bian mencubit ujung hidungku cukup keras, mungkin sekarang warnanya memerah.

"Sakit tahu," protesku, Bian hanya tertawa.

"Maksud kamu apa? Tidak melihat apa?" Aku menanyakan maksud kalimat Bian yang sungguh tak kumengerti.

"Hufftt,,,, aku sengaja memberi jawaban seperti itu, karena melihat Reyhan menahan cemburu,"

"Mas Reyhan? Cemburu? Maksud kamu?"

"Hemm,,,, pura-pura polos apa memang bodoh beneran sih?"

'Plak.' kupukul lengannya menggunakan sendok ice cream. Tak henti-hentinya dia mengataiku bodoh. Gini-gini aku juga pernah duduk di bangku kuliah meski tak kukus menjadi seorang sarjana.

"Iiihh,,,, dasar, galak. Reyhan cemburu melihat kita dekat."

"Jangan ngawur, kenapa mas Reyhan harus cemburu? Sedang aku bukanlah perempuan yang dicintainya,"

"Ya,,,, mungkin Reyhan sudah mulai jatuh cinta sama kamu,"

"Jangan ngasal, apa yang kamu katakan itu termasuk salah satu hal yang mustahil,"

"Jangan bicara seperti itu, Aretha. Cinta, benci, rasa, semua itu adalah kehendaknya untuk membolak-balikkan hati manusia, dan itu sangat mudah baginya, jadi mungkin saja jika saat ini Reyhan sudah merasakan cinta sama kamu, tidak ada yang tidak mungkin, apa lagi mustahil."

Aku tak menjawab ucapan Bian, hanya mengangguk-angguk agar membuatnya senang dan terdiam, tak lagi melanjutkan perdebatan, lebih baik menikmati semangkuk es krim vanilla ini dari pada menghalu dan berharap yang akan membuatku jatuh dan kembali kecewa.

Apa kata Bian tadi? Mas Reyhan jatuh cinta padaku? Ha ha ha ha.

***

..."Adakah yang mengerti perasaanku? Adakah yang dapat memahami sakitku? Aku kehilangan orang yang kucintai karena terhalang restu, dan jika kini kami memperjuangkan cinta kami, lantas di mana letak salahnya?" Rena....

***

Aku melamun seorang diri di dalam kamar, duduk di atas ranjang bersandar pada dipan, membuka lembar demi lembar album foto semasa kuliah dulu, masa-masa paling indah di mana aku dan mas Reyhan saling jatuh cinta.

Sebuah foto membuat senyumku yang sedari tadi mengembang langsung sirna, itu adalah foto kami bertiga, aku, mas Reyhan, dan Tante Ani, ibunya, kami duduk bertiga di sebuah cafe, mas Reyhan mempertemukan kami untuk pertama kalinya. Tanpa mas Reyhan ketahui jika kami sudah saling mengenal sebelumnya.

"Apa kamu masih akan terus diam saja, Rena? Tidakkah kamu ingin mengakui yang sebenarnya pada Reyhan?" tanya Tante Ani yang membuatku hanya terdiam, menunduk dan membisu.

"Rena?"

"Aku sangat mencintai mas Reyhan, Tante. Aku tidak mau kehilangan mas Reyhan, aku tidak akan bisa hidup tanpa dia,"

"Hubungan yang didasari kebohongan tidak akan pernah berhasil, Rena."

Di hari yang lain, saat Tante Ani menemuiku seorang diri tanpa adanya mas Reyhan.

"Jauhi Reyhan, Rena. Tante sudah menjodohkannya dengan wanita lain yang lebih tepat, bukan wanita pembohong seperti dirimu, jika kamu masih terus memaksa dan tidak mau menurut, maka Tante terpaksa akan menceritakan semuanya pada Reyhan."

Ancaman Tante Ani sukses membuatku takut dan pergi menjauh dari mas Reyhan, aku takut jika mas Reyhan mengetahui kejadian yang lalu, dia akan membenciku, menjauh darinya lebih baik dari pada dia akan membenciku dan aku pun tak akan pernah bisa bersamanya.

Aku memilih pergi meninggalkan mas Reyhan tanpa kata pisah, tapi pertemuan kami yang tak terduga, membuatku semakin tergila-gila dengannya, hanya saja benar dia sudah menikah, aku masih sangat mencintai mas Reyhan, dan dia juga mencintaiku, dia tidak akan percaya dengan apa yang Tante Ani katakan, mas Reyhan pasti akan lebih percaya padaku, apalagi Tante Ani tak memiliki bukti apapun. Jadi aku kembali padanya karena aku sangat mencintainya, aku ingin memilikinya, menjadi Reyhanku, sepenuhnya.

Yang lalu biarlah berlalu, yang kita jalani sekarang adalah saat ini, kenapa harus menoleh ke belakang? Tinggalkan saja semua karena itu tidak perlu.

***

Bersambung.

Terpopuler

Comments

Diankeren

Diankeren

et jaronah, udh slah tu malu... mlah kgtelan

2024-02-03

0

Rini Ernawati

Rini Ernawati

kebohongan Pa kira2...penasaran...

2022-05-27

0

𝕸y💞Alrilla Prameswari

𝕸y💞Alrilla Prameswari

wow woww kebohongan apa rena ❤❤❤🌹🌹🌹

2022-05-10

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!