..."Terkadang, waktu yang singkat mempunyai kenangan yang hebat." Aretha....
***
Sepanjang perjalanan pulang dari klinik Bian, aku terus kembali teringat akan kebersamaanku dulu dengan mas Reyhan, saat pertama kali kami keluar makan bersama sebelum menikah, mas Reyhan yang sangat dingin dan pendiam, yang kukira itu memang sudah menjadi tabiatnya.
Lalu ketika kami menikah dan sah menjadi sepasang suami istri, mas Reyhan langsung membawaku ke rumah barunya, memilih hidup terpisah dari ibu, untungnya rumah kami masih satu komplek dan tidak berjarak jauh.
Hingga malam itu, ketika mas Reyhan marah karena entah apa sebabnya, mas Reyhan membanting ponselnya setelah ia menghubungi seseorang, saat itu kami baru menikah selama tiga hari, dan mas Reyhan belum pernah menyentuhku layaknya seorang suami yang meminta haknya pada istri. Namun malam itu, mas Reyhan nampak emosi, ia menangis dan juga marah.
Aku yang baru selesai mandi lekas meraih tangannya yang hampir saja melempar kursi ke arah pintu kaca kamar menuju balkon, dengan emosi mas Reyhan menepis tanganku hingga aku terhuyung dan jatuh, handuk yang melilit tubuhku terlepas, menampakkan seluruh kepolosan yang kututupi selama ini.
Mas Reyhan nampak khawatir saat aku terjatuh ke lantai, ia lekas membanting kursi lalu menghampiriku untuk menolongku, dan saat berada di dekatku, ia terkejut dengan kondisi tubuhku, dengan buru-buru aku menutupi tubuh menggunakan handuk yang kembali kulilitkan menutupi tubuh.Mas Reyhan mengurungkan niatnya untuk menolongku, dan aku pun berdiri tanpa bantuan darinya.
Untuk sesaat kami sama-sama terdiam, suasana canggung lebih mendominasi, aku yang semula ingin menanyakan apa yang terjadi, kenapa dia begitu marah pun tak dapat mengeluarkan sepatah kata dan memilih tetap diam.
Aku melangkah menuju lemari, ingin mengambil baju ganti, dan di saat itu tiba-tiba mas Reyhan memeluk tubuhku dari belakang, aku yang kaget hampir saja berteriak, namun menyadari mas Reyhan yang melakukannya aku menekan keterkejutanku dengan menggigit bibir bawah.
"M-mas,,,"
"Diam, Aretha. Jangan bergerak, aku butuh tempat bersandar," ucap mas Reyhan lirih di balik ceruk leherku.
Andai aku tahu, jika saat itu mas Reyhan membutuhkan Rena dan bukan aku, tidak akan pernah sudi tubuhku untuk disentuhnya, ia melampiaskan amarah, kekesalan dan kehilangannya atas Rena terhadapku, sungguh itu sangat menyakitkan kini setelah semuanya terungkap.
***
"Non, Non...." Panggil sopir taksi membangunkanku dari lamunan.
"Ah, iya, pak."
"Sudah sampai, Non. Kita sudah sampai di alamat rumahnya Non,"
"Oh, iya, pak, maaf, terimakasih ya, pak!"
"Iya, Non. Sama-sama."
Aku keluar dari mobil taksi masuk menuju halaman depan rumah ibu, pintu rumah terbuka, sepertinya ibu sudah pulang terlebih dulu.
"Assalamualaikum, Bu!"
"Wa'alaikum salam,,,, ibu di sini...." teriak ibu menjawab.
Aku pun masuk menuju ruang tengah sumber suara ibu, di sana ibu tengah mengemas beberapa barang ke dalam dua koper besar.
Aku menyalim khidmat tangan ibu, lalu melepas tas selempang yang ku kenakan sedari tadi di atas sofa.
"Banyak sekali Bu, barangnya, mau di kirim ke mana?"
"Ini mau ibu antar ke Pekalongan, ibu sendiri yang akan pergi, sekalian silaturrahim sama Tante Nisa,"
"Loh, ibu mau pergi? Kok tidak bilang dulu sebelumnya, biar Aretha bisa bantuin siap-siap,"
"Aduh,,,, tidak perlu, sayang, ini semuanya sudah siap, ibu yang harusnya minta maaf, karena ibu tidak mengatakannya dulu sama kamu, dan sekarang kamu harus ibu tinggal sendirian di rumah," raut muka ibu nampak menyesal, aku mengukir senyum semanis mungkin agar ibu tak merasa bersalah karena hendak pergi meninggalkanku.
"Ibu, tidak apa-apa, tidak perlu khawatir, Aretha baik-baik saja, kok. Ibu yang harusnya jaga diri selama perjalanan dan selama berada di sana,"
Ibu memelukku hangat, mengelus punggungku lembut, aku pun membalasnya.
"Kamu yakin tidak apa-apa ibu tinggal sendiri?" tanya ibu kembali memastikan. Aku hanya mengangguk kecil tanpa melepas pelukan kami.
"Aku yang akan menemani Aretha sampai ibu pulang," suara berat baritone seorang pria yang sudah sangat familiar di telinga kami tiba-tiba menggelegar, siapa lagi kalau bukan mas Reyhan.
Entah sejak kapan dia berdiri di sana, aku dan ibu saling melepaskan pelukan, menatap ke arah mas Reyhan yang berjalan santai ke arah kami.
"Jam berapa ibu berangkat?" tanya mas Reyhan sambil menyalim tangan ibu.
"Nanti jam 3 sore." jawab ibu sambil kembali mengemasi barang, aku pun lekas membantunya.
"Ibu pergi juga tidak lama kok, paling cuma 3 atau 4 hari saja, ibu yakin, Aretha akan baik-baik saja meski tidak ada kamu menemaninya, takutnya dengan kehadiran kamu, itu justru bisa membuat Aretha merasa beban, tapi kalau kamu memaksa, ya tidak apa-apa, setidaknya ada yang menemani Aretha." ucap ibu ketus dengan serangkaian kalimat yang sengaja ia pilih untuk menyentil perasaan mas Reyhan.
Mas Reyhan menghela napas kasar, ia tak membantah, menyangkal, atau pun ingin mendebat ucapan ibu, ia memilih duduk di sofa lalu bersandar dengan santai, meregangkan otot-ototnya dengan mengangkat kedua tangan ke atas, lalu sedikit menguap.
Baru kusadari jika penampilannya sedikit awut-awutan, tak serapi dan seklimis seperti biasanya. Apalagi kantung matanya yang menghitam, nampak jelas jika ia kurang tidur.
"Kamu kenapa, Rey? Sepertinya begitu kelelahan, apa kamu habis kerja rodi?" tanya ibu dengan nada meledek, ah, ibu ini, memang selalu seperti ini, beliau berbeda dengan ibu-ibu yang lain, tapi aku sangat menyayanginya.
"Hufftt,,,, Reyhan semalaman tidak bisa tidur, Bu. Reyhan juga merasa sangat capek, Reyhan butuh istirahat."
Muka ibu malah terlihat sinis mendengar jawaban mas Reyhan, bukannya kasihan, ibu malah berdecih seolah mencibir, kadang aku bertanya, benarkah beliau itu ibu kandung mas Reyhan? Kenapa selalu bersikap acuh seperti itu, tanpa sadar aku tersenyum tenggelam dalam pikiranku sendiri.
"Kenapa? Kenapa tersenyum? Sepertinya kau bahagia melihat aku menderita," tuduh mas Reyhan kepadaku.
Sontak aku menoleh ke arahnya, dahinya sampai mengernyit menatapku, ya Allah,,,, hatiku berdesir hanya dengan tatapan sederhana seperti itu, itu adalah pertama kalinya tatapan mas Reyhan tak berkesan dingin dan acuh, aku pun lekas memalingkan muka, melihat ke arah lain.
"Ibu sudah selesai packing, masih ada waktu dua jam sebelum berangkat, Aretha, ibu istirahat dulu ya, mau tidur di kamar, kalau kamu lapar, kamu makan saja dulu, ibu makan nanti saja sebelum berangkat, oh ya. Sekalian nanti bangunin ibu, ya! Takutnya ibu keenakan tidur dan nggak bangun-bangun," celoteh ibu diakhiri tawa kecil, aku pun mengangguk sambil tersenyum.
Kini tinggal aku berdua dengan sang mantan, tak ingin terjebak semakin lama dalam situasi canggung seperti ini, aku pun bergegas masuk ke dapur, ingin menyiapkan makan siang, untukku sendiri, tanpa berniat menawari mas Reyhan, andai saja dia tidak mengekor mengikutiku masuk ke dalam dapur lalu memintaku untuk membuatkannya oseng cumi.
"Aretha, aku lapar, tolong buatkan makanan," mas Reyhan tiba-tiba saja sudah duduk di kursi meja makan, aku menoleh ke arahnya. Lalu kembali memunggunginya untuk mengambil nasi di rice cooker.
"Adanya cuma sambel sama tahu tempe, mas, kamu pernah bilang kalau kamu tidak suka makanan ini, tidak sesuai dengan lidahmu," sindirku mengulang kalimat yang dulu pernah ia katakan saat aku pernah memasakkannya menu sambel tahu tempe goreng.
Mas Reyhan lalu berjalan menuju kulkas, ia membuka benda lemari pendingin itu, mengambil sebungkus kantong plastik yang berisi cumi-cumi yang sudah dibersihkan.
"Masakin ini, ya. Oseng cumi," katanya meraih tanganku memberikan kantok plastik yang barusan ia ambil dari kulkas.
"Aku kan nggak pinter masak, mas, takutnya nanti keasinan, seperti dulu, dan akhirnya tidak kamu makan," lagi, aku berbelit, mengingatkannya tentang dulu di mana mas Reyhan selalu memberi komentar negatif akan hasil masakanku, dan alhasil ia tak pernah memakannya, memilih pergi keluar dari rumah dan makan di luar sana.
"Nanti biar aku yang kasih garamnya," mas Reyhan pun sepertinya tak ingin menyerah, terus berusaha agar aku bersedia memasak untuknya.
Kuletakkan piringku yang sudah terisi nasi di atas meja makan, dan aku menerima kantong plastik berisi cumi yang ada di tangan mas Reyhan.
"Aku tidak tahu kamu sukanya pakai bumbu apa," lagi, aku masih membuat sedikit kegaduhan dengan berkeluh tak tahu bumbu.
"Pakai bawah merah, bawang putih saja, lalu digeprek," ucap mas Reyhan tak mau ambil pusing.
Tunggu, bukankah itu menu yang dulu pernah aku buatkan untuknya? Dan saat mas Reyhan mencicipinya, ia malah melepeh cumi oseng buatanku, sambil memarahiku?
"Bumbu apa yang kamu pakai? Kenapa rasanya aneh? Apa kau ingin meracuniku?"
"T-ti tidak, mas, aku hanya pakai bawang merah bawang putih yang digeprek lalu dioseng,"
"Rasanya aneh, dan asin, kalau kamu tidak bisa memasak, bilang saja. Merusak mood saja!"
Setelah mengatakan itu mas Reyhan lekas keluar, pergi dari rumah dan baru pulang di tengah malam.
Dan sekarang? Apa ini? Dia memintaku memasak hidangan yang sama seperti dulu? Makanan yang pernah dia hina? Apa dia cuma mau cari alasan agar bisa kembali memarahiku?
***
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
martina melati
kasianny... mau mkn dcegah dminta buatin masakan...
2025-02-11
0
Khotimatus Saadah
Pekalongan kota tempat tinggal ku thoor
2022-05-08
0
Nena Anwar
bagus Aretha sindir terus Reyhan biar dia mikir
2022-05-07
0