Until The End
Happy Reading
Di ruang tamu yang hangat meski penuh kecemasan, Waiz dan Talia duduk saling berhadapan, wajah mereka penuh keraguan. Malam itu, pembicaraan yang telah ditunda selama beberapa hari akhirnya harus dibahas. Mereka harus memutuskan masa depan putri mereka, Alesha.
Waiz menghela napas berat, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas, “Aku sudah bicara dengan Rey. Dia setuju, tapi dia juga punya keraguan. Dia... sudah pernah gagal dalam pernikahannya. Aku takut ini bukan jalan yang mudah untuk Alesha.”
Talia, yang duduk dengan tangan terlipat di depan dada, menundukkan kepalanya. Ia mengerti kekhawatiran suaminya, tapi baginya, mereka tidak punya banyak pilihan. “Tapi kita harus ingat, Mas. Alesha sudah terlalu jauh tersesat. Jika kita biarkan dia begitu saja, aku khawatir masa depannya akan lebih buruk.”
Waiz menatap kosong ke luar jendela, seakan mencari jawaban di balik kegelapan malam. “Aku tahu, Lia. Tapi Rey... Dia duda dengan masa lalu yang rumit. Mantan istrinya meninggalkannya karena merasa tidak cocok, bukan karena dia melakukan kesalahan. Aku takut kalau Rey belum sembuh dari lukanya, pernikahan ini malah membawa masalah baru.”
Talia mendesah panjang. Ia juga memikirkan hal itu. “Aku sudah bicara dengan Rey beberapa kali. Dia orang baik, Mas. Meskipun dia pernah gagal, bukan berarti dia tidak bisa membangun pernikahan lagi. Lagipula, dia pria yang bertanggung jawab. Dia tahu bagaimana menata ulang hidupnya setelah kegagalan itu.”
“Memang, Rey pria baik,” sahut Waiz. “Tapi aku takut Alesha tidak bisa menerima keadaan ini. Dia masih muda, sementara Rey sudah berusia hampir sepuluh tahun lebih tua. Ditambah, apa Alesha bisa menerima Bayu yang punya bayang-bayang masa lalu?”
Talia menggigit bibirnya, memikirkan nasib putri mereka. “Mas, aku tahu kita mungkin tidak memberikan kehidupan sempurna untuk Alesha. Tapi kita lakukan ini demi masa depannya. Pergaulan bebas yang dia jalani sudah merusak banyak hal. Kalau kita tidak mengambil tindakan tegas, kita bisa kehilangan dia selamanya.”
Waiz mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk dia,Bu. Aku tidak mau dia merasa terpaksa menikah dengan seseorang yang dia belum kenal baik, apalagi seseorang yang pernah gagal dalam pernikahan.”
“Rey juga memahami itu, Mas. Dia tidak ingin memaksakan apa pun. Dia setuju menikahi Alesha, tapi dia juga bilang akan memberikan Alesha waktu. Mereka bisa belajar saling mengenal lebih dalam, dan mungkin dari sana, bisa muncul rasa percaya.” Talia menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. “Aku tahu ini berat. Tapi bukankah pernikahan juga soal memberi kesempatan?”
Waiz kembali diam. “Kita harus bicara dengan Alesha. Pastikan dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memperbaiki dirinya, bukan sekadar keputusan yang kita buat karena putus asa.”
Talia menatap suaminya dengan penuh harap. “Kita harus percaya bahwa Rey bisa menjadi pendamping yang baik untuk Alesha. Dan semoga Alesha juga bisa melihat kesempatan ini sebagai langkah untuk memulai kembali hidupnya.”
Waiz akhirnya mengangguk setuju. “Baiklah, kita akan bicara dengan Alesha. Tapi aku berharap... semoga ini benar-benar jalan terbaik untuk semuanya.”
Ketika Alesha mendengar keputusan orang tuanya, ia hanya bisa terdiam. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Perasaan kecewa, marah, dan bingung bercampur dalam dadanya. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan tidak percaya.
“Ma, Pa... apa kalian serius ingin aku menikah dengan Rey? Pria yang bahkan tidak pernah aku kenal sebelumnya, seorang duda yang pernah gagal dalam pernikahannya?” Alesha bertanya dengan nada bergetar, berusaha menahan tangis.
Waiz dan Talia saling bertukar pandang. Mereka sudah menduga Alesha tidak akan mudah menerima keputusan ini, namun tidak ada pilihan lain yang tersisa.
“Alesha, kami melakukan ini bukan karena kami ingin menyakiti kamu. Kami ingin yang terbaik untukmu,” kata Waiz dengan lembut, mencoba menenangkan putrinya.
“Terbaik? Kalian pikir menikah dengan pria yang jauh lebih tua dan pernah gagal menikah adalah yang terbaik untukku?” Alesha bangkit dari tempat duduknya, berjalan beberapa langkah menjauh, seakan ingin melarikan diri dari kenyataan yang tak bisa ia hadapi.
“Alesha, tolong dengarkan Mama,” bujuk Talia dengan suara pelan namun tegas. “Kami sudah berpikir matang-matang tentang ini. Kamu tahu bagaimana kehidupanmu selama ini, kamu tahu apa yang sudah terjadi. Rey... dia bisa memberikan kamu kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk kembali ke jalan yang benar.”
Alesha menoleh dengan wajah penuh kemarahan. “Jalan yang benar? Kalian pikir dengan menikahkan aku dengan pria yang tidak aku cintai, itu akan memperbaiki hidupku? Apa kalian pikir ini akan membuat aku bahagia? Aku masih muda, aku punya kehidupan yang harus aku jalani, bukan seperti ini!”
Waiz berdiri, menatap Alesha dengan serius namun lembut. “Alesha, kami paham bahwa kamu merasa ini tidak adil. Tapi lihat keadaanmu sekarang. Kamu terjerat dalam lingkungan yang buruk, pergaulan yang merusak. Kami tidak ingin kamu tenggelam lebih dalam. Kami ingin kamu punya kesempatan untuk memulai lagi.”
Alesha menggeleng dengan keras, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku tidak mau menikah! Aku tidak mau hidup seperti ini, Pa,Ma! Aku ingin menjalani hidupku dengan pilihanku sendiri. Aku akan berubah, aku janji, tapi bukan dengan cara ini.”
Talia berdiri mendekati Alesha, mencoba memegang tangannya, namun Alesha menarik tangannya dengan cepat. “Alesha, dengarkan Mama. Ini bukan tentang menghukummu. Kami hanya ingin kamu selamat dari jalan yang sekarang kamu tempuh. Kami tahu kamu ingin berubah, tapi bagaimana caranya? Kami takut kamu akan kembali ke kebiasaan lama. Rey... dia bisa menjadi suami yang baik, dia orang yang bertanggung jawab. Dia akan membimbingmu.”
“Orang yang bertanggung jawab?” Alesha menyeka air matanya dengan kasar. “Dia bahkan gagal dalam pernikahannya sendiri! Apa yang membuat kalian berpikir dia akan bisa membimbing aku?”
Waiz menghela napas dalam-dalam, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. “Semua orang bisa gagal, Alesha. Tapi Bayu adalah orang yang telah belajar dari kesalahannya. Dia pria yang matang, dan dia mau memberikan kamu kesempatan untuk memulai lagi.”
Alesha mundur, tubuhnya gemetar dengan perasaan campur aduk. “Aku tidak mencintainya, Pa. Bagaimana aku bisa menjalani hidup bersama seseorang yang aku tidak kenal, tidak cinta, dan yang punya masa lalu yang kelam?”
“Cinta bisa tumbuh, Nak,” Talia menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. “Cinta tidak selalu datang di awal. Kadang, cinta itu muncul dari kepercayaan dan rasa saling menghargai. Kami tahu ini bukan keputusan yang mudah, tapi kami yakin Rey bisa menjadi pendamping yang baik untukmu.”
Alesha terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang baru saja didengarnya. Hatinya berontak, namun di sisi lain, ia tahu ia telah mengecewakan orang tuanya berkali-kali. Namun, menikah dengan Rey terasa seperti hukuman yang terlalu berat baginya.
“Ma,Pa, tolong beri aku waktu,” kata Alesha akhirnya, suaranya bergetar karena isakan yang tertahan. “Aku tidak bisa langsung menerima keputusan ini. Aku butuh waktu untuk berpikir.”
Waiz dan Talia saling memandang dengan rasa bersalah yang mendalam. Mereka tahu permintaan Alesha masuk akal, tapi di balik rasa sayang itu, ada ketakutan bahwa waktu hanya akan memperburuk keadaan.
“Baik, Nak. Kami akan memberikan kamu waktu untuk berpikir,” kata Waiz dengan suara lembut. “Tapi ingat, keputusan ini bukan hanya untuk kami, ini untuk masa depanmu.”
Alesha mengangguk pelan, air matanya terus mengalir. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Di tengah heningnya malam, Gus Rey duduk sendiri di teras pondok pesantren Al Hikmah. Suara angin sepoi-sepoi dan bintang-bintang yang berkelip di langit menjadi teman setianya. Namun, hatinya dipenuhi keraguan. Beberapa bulan lalu, keluarganya mengumumkan bahwa mereka telah menjodohkannya dengan Alesha, gadis yang dianggap cocok untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya setelah perceraian yang menyakitkan.
“Apakah ini yang terbaik?” gumamnya, mengingat kembali masa lalu. Perceraian itu seperti bayangan gelap yang selalu mengikutinya, menimbulkan rasa takut akan kegagalan lagi. Gus Rey pernah merasakan kebahagiaan, tetapi kini ia terjebak dalam trauma, meragukan kemampuannya untuk membangun kembali sebuah hubungan.
“Dia mungkin bisa menjadi sosok yang baik untukku,” bisiknya, mencoba meyakinkan diri. Alesha dikenal sebagai gadis yang ceria, penuh semangat, dan memiliki pandangan hidup yang positif. Namun, apakah itu cukup untuk menutupi luka yang masih menganga di hatinya?
Gus Rey teringat pada adiknya, Ning Syakira, yang selalu menasihatinya untuk memberi kesempatan pada diri sendiri. “Kak, hidup harus terus berjalan. Jangan biarkan masa lalu menahanmu,” kata Syakira beberapa waktu lalu.
Namun, saat itu, Rey masih merasa terjebak dalam keraguannya. Dia ingin berusaha, tetapi rasa sakit yang tertinggal masih terlalu kuat. Dengan pikiran penuh, ia menatap langit malam, berharap menemukan jawaban atas kebingungannya. Akankah Alesha bisa menjadi cahaya dalam kegelapan yang menyelimutinya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
YuWie
btw, Rey guru mapel apa ya? Agamakah
2023-08-04
0
Yani Suharyani
siapa Mega?
siapa Ira?
apa itu hanya kesalahan menulis?
2022-11-03
1