Hari yang dinanti tiba. Gedung megah milik Waiz telah dihias dengan nuansa Islami yang indah, menyelimuti setiap sudut dengan kesan sakral. Dekorasi bernuansa putih dan emas, dengan kaligrafi bertuliskan ayat-ayat Al-Qur’an menghiasi dinding, memberikan kesan ketenangan dan kebesaran. Lampu-lampu kristal menerangi ruangan dengan lembut, menambah suasana yang penuh keagungan.
Tamu-tamu mulai berdatangan, mengenakan pakaian syar’i yang anggun dan sopan. Di pintu masuk, keluarga besar Waiz menyambut dengan ramah. Talia berdiri di samping suaminya, senyum keibuan tak lepas dari wajahnya saat menerima ucapan selamat dari tamu-tamu yang datang. Umi Annisa, dengan jilbab panjangnya yang elegan, juga tampak anggun, menemani Kyai Abdullah yang duduk di kursi kehormatan.
Alesha, mengenakan gaun pernikahan putih yang sederhana namun penuh keanggunan, duduk di ruang tunggu pengantin. Hatinya berdebar-debar, penuh campuran perasaan antara harapan, ketenangan, dan kegelisahan. Ia menghela napas panjang, menenangkan dirinya sebelum menuju ke aula utama. Sebagai calon pengantin wanita, hari ini merupakan momen besar baginya.
Di ruang akad, Gus Rey duduk tenang dengan wajah penuh khidmat. Peci hitam bertengger di kepalanya, dan baju koko putih yang ia kenakan memancarkan keanggunan kesederhanaan seorang pemuda yang siap menjalani tanggung jawab baru sebagai suami. Di hadapannya, duduk Waiz yang bersiap menjadi wali Alesha, dan seorang penghulu dari KUA yang akan memimpin prosesi akad nikah.
Setelah para tamu berkumpul, prosesi dimulai dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh salah satu sahabat Gus Rey. Suaranya mengalun indah, memenuhi ruangan dengan ketenangan yang menenangkan hati setiap orang. Semua tamu terdiam, meresapi setiap ayat yang mengajarkan tentang cinta, kesabaran, dan keimanan dalam sebuah rumah tangga.
Kemudian, penghulu mengambil alih acara. "Bismillahirrahmanirrahim. Hari ini, kita berkumpul dalam sebuah acara yang penuh berkah, yaitu akad nikah antara Reyndra Taqqi Kautar bin Kyai Abdullah dan Alesha Sheza Afsheena binti Waiz Hediansyah. Semoga pernikahan ini menjadi jalan untuk meraih ridha Allah dan kehidupan yang sakinah, mawaddah, warahmah."
Saat momen sakral itu tiba, Waiz menatap Rey dengan tenang. "Saya nikahkan anak saya, Alesha binti Waiz Hediansyah, dengan engkau, Reyndra Taqqi Kautar bin Kyai Abdullah, dengan mas kawin berupa seperangkat alat shalat dan emas seberat 50 gram, tunai."
Tanpa ragu, Rey menjawab dengan lantang, “Saya terima nikahnya Alesha binti Waiz Hediansyah dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Suara Rey terdengar tegas dan penuh keyakinan, menandakan pernikahan mereka kini resmi. Semua tamu menahan napas sejenak, sebelum akhirnya terdengar ucapan “Alhamdulillah” serentak dari seluruh ruangan. Waiz menghela napas lega, sementara Talia meneteskan air mata haru di sampingnya.
Setelah akad selesai, doa dipanjatkan oleh Kyai Abdullah, memohon agar rumah tangga Rey dan Alesha selalu dilimpahi keberkahan dan kekuatan iman. Suaranya khusyuk, penuh harapan dan kasih sayang sebagai seorang ayah yang melihat putranya memasuki babak baru kehidupan.
Alesha kemudian dibawa masuk ke ruangan oleh ibu dan adik-adik perempuannya. Saat Rey menatap Alesha yang berjalan mendekat, matanya memancarkan rasa syukur. Alesha menundukkan pandangannya, masih merasa gugup namun juga penuh kebahagiaan.
Prosesi adat dilanjutkan dengan sungkeman kepada orang tua. Alesha dan Rey sujud di hadapan Waiz dan Talia, memohon restu untuk memulai kehidupan rumah tangga. Talia membelai lembut kepala putrinya, memberikan doa-doa penuh kasih sayang. "Semoga Allah senantiasa melindungi kalian, memberi kekuatan untuk saling mencintai dan menghormati, dalam keadaan suka maupun duka."
Acara pernikahan tersebut diakhiri dengan resepsi yang tetap penuh nuansa Islami. Para tamu duduk di meja-meja bundar yang telah dihiasi bunga melati, menikmati hidangan khas yang disajikan dengan sopan dan teratur. Suasana terasa hangat dan penuh dengan keberkahan, seolah-olah setiap orang yang hadir merasakan keagungan momen pernikahan itu.
Alesha, meskipun masih ada sedikit kegugupan di hatinya, merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai, namun dengan dukungan dari Rey dan keluarganya, ia merasa siap menghadapi apa pun yang datang di masa depan.
Setelah resepsi selesai dan tamu-tamu mulai meninggalkan gedung, suasana yang sebelumnya ramai perlahan menjadi lebih tenang. Alesha dan Rey akhirnya memiliki momen bersama, duduk bersebelahan di sebuah meja kecil yang masih dihiasi dengan bunga-bunga melati. Mata mereka sesekali bertemu, ada rasa haru yang mendalam, tetapi juga ketegangan yang masih terasa dari permulaan hubungan baru ini.
“Alesha…” Rey memecah kesunyian, suaranya lembut dan tenang. “Aku tahu semua ini terjadi begitu cepat, dan mungkin kamu merasa tertekan. Tapi aku ingin kamu tahu, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami yang bisa kamu andalkan.”
Alesha menatap Rey, sedikit terkejut mendengar kejujuran yang ia ungkapkan. “Aku juga, Rey. Aku belum sepenuhnya yakin dengan semua ini, tapi aku akan mencoba.”
Rey mengangguk dengan penuh pengertian. “Kita bisa mulai perlahan, saling belajar, dan membangun ini bersama. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani.”
Alesha tersenyum samar, sedikit merasa lega dengan kata-kata Rey yang penuh empati. Meskipun perjalanan ini terasa baru dan menantang, Alesha mulai merasakan adanya titik harapan dari kejujuran Rey.
Sementara itu, di sudut ruangan, Talia dan Umi Annisa sedang berbincang santai, saling berbagi cerita tentang masa lalu pernikahan mereka. Kyai Abdullah dan Waiz duduk tidak jauh dari mereka, membicarakan rencana masa depan pesantren dan berbagai proyek sosial yang mungkin akan melibatkan keluarga baru ini. Suasana antara kedua keluarga tampak akrab dan harmonis, meski sebelumnya ada kekhawatiran tentang bagaimana dua keluarga ini akan menyatu.
Di sisi lain, Ning Syakira dan Gus Shaka tampak berdiri di dekat pintu keluar, berbincang dengan para santri yang hadir sebagai tamu. Syakira mengenakan pakaian sederhana namun anggun, dengan jilbab yang mengalir rapi di punggungnya. Wajahnya tampak bahagia, meskipun dalam benaknya ia sadar bahwa waktunya akan segera tiba—pernikahannya dengan Ustadz Rayyan tinggal menghitung minggu.
Setelah beberapa saat, Waiz mengajak Rey dan Alesha untuk memberikan sedikit nasihat sebelum mereka meninggalkan gedung.
“Alesha, Rey,” ujar Waiz lembut, “pernikahan itu bukan hanya tentang cinta, tapi juga tentang komitmen, pengorbanan, dan kesabaran. Jangan pernah menyerah saat menghadapi ujian, karena itulah yang akan menguatkan kalian sebagai pasangan. Selalu ingat bahwa Allah bersama kalian, dan berdoalah di setiap langkah yang kalian ambil.”
Rey menunduk hormat, sementara Alesha mendengarkan dengan saksama, meresapi setiap kata yang diucapkan ayahnya.
Kyai Abdullah juga menambahkan, “Kalian sekarang adalah satu, berjalan bersama di jalan yang Allah ridhoi. Jaga komunikasi, dan jangan pernah berhenti saling menghormati satu sama lain. Allah telah merencanakan pertemuan kalian, dan semoga Dia selalu memberkahi perjalanan hidup kalian ke depan.”
Malam itu, ketika Rey dan Alesha akhirnya menuju rumah baru mereka, hati Alesha terasa sedikit lebih ringan. Masih ada rasa cemas, tetapi ada juga semacam keyakinan bahwa, dengan doa dan usaha, perjalanan pernikahannya bisa membawa kebahagiaan yang sesungguhnya. Rey, dengan segala ketenangannya, tampak bertekad untuk memulai hidup baru ini dengan sebaik-baiknya.
Dalam keheningan malam, mereka melangkah bersama, memasuki babak baru dalam hidup mereka yang penuh harapan dan doa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Zeni Supriyadi
ini ceritanya persis ttangga aq. istrinya 2 tp bedanya yg gk punya anak istri ke 2. dan istri pertama lebih sk bekerja diluar kota jd jarang plg. alhasil istri ke2 yg dirumah ngurus suami dan anak satu²nya dr istri pertama. mereka jg akur klo dirumah bareng², semoga Asha dan Fira jg akur😁🤭
2022-05-27
2