Saat acara pernikahan Alesha dan Rey berlangsung, keluarga Ustadz Rayyan juga hadir untuk memberikan dukungan. Mereka datang dengan penuh rasa bahagia, membawa harapan akan hubungan yang baik antara mereka dan keluarga Alesha.
Namun, Syakira, yang seharusnya berada di samping keluarganya, memilih untuk menjauh. Ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran keluarga Ustadz Rayyan, apalagi setelah perjodohan yang ditentukan untuknya. Hatinya bergejolak antara rasa tanggung jawab dan keinginan untuk merdeka.
Saat keluarga Ustadz Rayyan berinteraksi dengan tamu lainnya, Syakira mengamati dari kejauhan, berusaha menghindari tatapan mereka. Meskipun suasana pernikahan penuh keceriaan, hatinya terasa berat.
Salah satu anggota keluarga Ustadz Rayyan, melihat Syakira, mencoba mendekatinya. “Syakira, kenapa kamu tidak ikut bergabung? Ini adalah hari bahagia, loh,” ujarnya dengan senyuman ramah.
Syakira hanya tersenyum lemah dan menggeleng. “Saya hanya ingin menjaga jarak sebentar. Terima kasih.”
Melihat ketidaknyamanan itu, Talia, ibu Alesha, merasa perlu untuk membantu. Ia menghampiri Syakira dengan lembut. “Syakira, kamu tidak perlu merasa tertekan. Mari kita nikmati hari ini bersama. Ayo, bergabunglah dengan kami.”
“Tidak, Bu, saya tidak ingin merepotkan,” jawab Syakira, berusaha tersenyum.
Talia mengerti bahwa ada lebih dari sekadar ketidaknyamanan di balik sikap Syakira. “Kamu tidak merepotkan. Ini adalah kesempatan untuk berkenalan dan menjalin hubungan yang baik. Mari kita coba.”
Syakira menatap Talia dengan penuh rasa terima kasih, namun hatinya masih ragu. “Saya akan berusaha, Bu, tapi tidak bisa menjanjikan.”
Ketika acara berlanjut, Syakira tetap berusaha untuk tidak bertemu dengan Ustadz Rayyan dan keluarganya. Namun, saat ia melintas, tatapan Ustadz Rayyan yang hangat dan penuh perhatian membuat hatinya bergetar. Ia tahu bahwa keputusan yang harus diambil tidak mudah, dan perasaannya masih campur aduk.
Di sisi lain, Ustadz Rayyan, yang mendengar kabar tentang kehadiran Syakira, merasa ingin berbicara dengannya. Namun, ia menghormati keputusannya untuk menjauh, meski hatinya berharap bisa mengenalnya lebih baik.
Acara pernikahan itu terus berlangsung, penuh dengan kebahagiaan, tetapi Syakira merasa terjebak antara harapan dan ketakutan. Ia tahu bahwa waktu akan menentukan langkah selanjutnya, dan ia berharap dapat menemukan keberanian untuk menghadapi masa depannya.
Flashback
Di sebuah sore yang tenang, keluarga Ustadz Rayyan berkumpul di rumah Kyai Abdullah untuk mengkhitbah Syakira. Suasana terasa hangat namun penuh ketegangan, terutama bagi Syakira yang duduk di sudut ruangan, tampak cemas.
Kedua kakaknya, Gus Shaka dan Gus Rey, hadir untuk memberikan dukungan. Gus Rey, yang tampak serius, mengingatkan Syakira dengan tatapan lembut. “Ini adalah kesempatan baik, Syakira. Ustadz Rayyan adalah sosok yang baik dan berpengalaman.”
Gus Shaka, meskipun lebih dingin, menatap adiknya dengan penuh perhatian. “Kamu harus mendengarkan hatimu. Jika ini yang terbaik untukmu, maka ambillah kesempatan ini.”
Ketika Ustadz Rayyan masuk, suasana mulai terasa lebih resmi. Ia menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga Syakira. “Assalamu’alaikum. Terima kasih telah mengizinkan saya hadir di sini hari ini.”
“Wa’alaikumsalam, Ustadz Rayyan. Kami menghargai kedatanganmu,” jawab Kyai Abdullah dengan tegas.
Setelah saling memberi salam, Ustadz Rayyan mengungkapkan maksud kedatangannya. “Saya datang untuk mengkhitbah Syakira, dengan harapan bisa menjadikannya pendamping hidup saya. Saya berjanji akan membimbing dan menjaga dia dengan baik.”
Syakira merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Ia menunduk, berusaha menahan air mata. Keputusan ini terasa berat baginya, tetapi ia juga tahu betapa baiknya Ustadz Rayyan.
Gus Rey mengangguk setuju. “Kami percaya pada niat baik Ustadz Rayyan. Kami ingin melihat Syakira bahagia.”
Ustadz Rayyan melanjutkan, “Saya menghormati Syakira dan keluarganya. Saya ingin memastikan bahwa hubungan ini akan berjalan dengan saling pengertian dan cinta.”
Kyai Abdullah mengangguk, memberikan restu. “Kami menerima niat baikmu, Ustadz. Namun, kami berharap kamu bisa menghargai perasaan Syakira.”
“Akan saya lakukan, Kyai. Syakira adalah prioritas saya,” jawab Ustadz Rayyan, menatap Syakira dengan penuh harapan.
Syakira merasa terharu mendengar ucapan itu. Namun, hatinya masih penuh keraguan. “Saya butuh waktu untuk berpikir, Ustadz.”
Ustadz Rayyan tersenyum lembut. “Tentu, Syakira. Saya menghargai keputusanmu. Silakan berpikir dengan tenang.”
Acara berlanjut dengan doa dan harapan dari kedua keluarga. Meski suasana terasa sakral, Syakira merasa campur aduk. Ia tahu bahwa keputusan ini akan memengaruhi masa depannya. Namun, dalam hatinya, ada rasa hormat dan rasa ingin tahu terhadap sosok Ustadz Rayyan yang baru saja memasuki hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments