Aya duduk termenung di kamar setelah menerima kabar bahwa Gus Shaka telah mengundurkan diri sebagai guru privatnya. Hatinya diliputi rasa bersalah yang mendalam. Ia tahu Gus Shaka sangat berusaha membimbingnya, namun justru ia terus mempertahankan hubungan yang seharusnya tidak dilakukan. Keputusan Gus Shaka untuk mundur hanya semakin menegaskan bahwa dirinya telah melanggar batas.
Di ruang tamu, Bara—ayahnya—berdiri dengan wajah serius. Ia telah mengetahui alasan pengunduran diri Gus Shaka, dan kemarahannya tak terbendung. Bara sangat menghormati agama dan aturan, dan mengetahui anaknya menjalani hubungan yang dianggap haram, ia merasa kecewa dan terpukul.
"Masuk, Aya!" panggil Bara dengan nada tegas. Aya perlahan mendekati ayahnya, perasaan gelisah mencengkeramnya.
“Ayah…” Aya mulai berbicara, tetapi Bara segera mengangkat tangan, memberi isyarat agar Aya diam.
“Kamu tahu apa yang kamu lakukan itu salah. Gus Shaka telah mengingatkanmu, tetapi kamu tetap melanggarnya. Sekarang dia sudah mundur. Kamu sudah membuat ayah kecewa,” suara Bara tajam dan dingin.
Aya menunduk, tidak mampu membalas. Dia tahu bahwa tidak ada pembenaran untuk apa yang telah terjadi.
Bara menghela napas dalam, mencoba menahan amarahnya. "Sekarang, kamu punya dua pilihan, Aya," katanya dengan nada lebih dingin. "Pacarmu harus menikahimu, atau kalian berpisah. Aku tidak akan membiarkan hubungan ini berlanjut tanpa kejelasan."
Aya terkejut mendengar ultimatum ayahnya. Ia tak menyangka situasinya akan sejauh ini. Pacarnya mungkin belum siap untuk menikah, dan Aya sendiri belum memikirkan hal itu.
“Tapi, Ayah…” Aya mencoba berbicara.
“Tidak ada tapi!” Bara memotong dengan tegas. “Aku memberimu waktu untuk berpikir, tetapi keputusan harus diambil segera. Aku tidak akan menoleransi hubungan yang melanggar hukum agama.”
Aya merasa terjebak. Di satu sisi, ia peduli pada pacarnya, tetapi di sisi lain, tuntutan ayahnya terlalu berat untuk diabaikan. Ia merasa di ambang dilema yang besar, dan tidak tahu jalan keluar terbaik.
"Fikirkan baik-baik, Aya," ucap Bara lebih tenang namun tegas. "Ini bukan hanya tentang kamu, tapi tentang kehormatan keluarga kita."
Aya mengangguk pelan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Setelah itu, ia meninggalkan ruangan, kembali ke kamarnya dengan perasaan yang campur aduk. Perasaannya begitu kacau, dan ia tahu keputusan besar menantinya.
Aya duduk di tempat tidurnya dengan ponsel di tangan, jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Kata-kata ayahnya terus terngiang di benaknya: "Pacarmu harus menikahimu, atau kalian berpisah." Setelah beberapa saat menatap layar ponselnya, Aya akhirnya memutuskan untuk menghubungi pacarnya.
Dengan tangan gemetar, dia menekan tombol panggilan. Suara nada sambung membuatnya semakin gugup. Akhirnya, suara pacarnya terdengar di ujung sana.
"Halo, sayang? Ada apa? Suaramu terdengar berbeda," pacarnya berbicara dengan nada lembut, tetapi Aya bisa merasakan bahwa ini bukan percakapan biasa.
Aya menarik napas panjang sebelum menjawab, "Kita perlu bicara, ini penting."
Suasana menjadi tegang. Pacarnya merespons dengan sedikit cemas, "Ada apa, Aya? Apa yang terjadi?"
Aya berusaha keras menahan air mata yang mulai mengalir. "Ayahku tahu tentang kita. Gus Shaka... guru privatku, dia sudah mundur karena aku melanggar aturan dengan berpacaran. Ayah sangat marah."
Terdengar keheningan di seberang sana sebelum pacarnya menjawab dengan suara khawatir, "Oh, Tuhan... apa yang dia katakan? Apa dia akan marah besar?"
Aya menghela napas, menahan beban berat di dadanya. "Dia memberikan kita dua pilihan. Kita harus menikah... atau berpisah. Tidak ada jalan lain."
Pacarnya terdiam lama. Aya bisa mendengar napasnya yang berat, seakan mencari kata-kata yang tepat. "Menikah? Tapi... kita belum siap untuk itu, kan? Aku belum stabil secara finansial. Karierku baru saja mulai berkembang, dan aku masih belum yakin..."
Aya merasa seakan-akan dunia berputar cepat. Ia berharap pacarnya dapat memberinya jawaban yang jelas, tapi keraguan itu justru semakin memperjelas dilema yang dihadapinya.
“Aku tahu kita belum siap. Aku juga tidak berpikir akan secepat ini, tapi ini ultimatum dari Ayah. Kalau kita tidak menikah, hubungan kita harus berakhir,” suara Aya semakin lirih.
Pacarnya terdengar bingung. "Aya, aku mencintaimu. Tapi... menikah itu keputusan besar. Aku butuh waktu untuk memikirkannya."
Aya memejamkan matanya, air mata mulai mengalir. "Kita tidak punya banyak waktu. Ayah menuntut jawaban secepatnya."
Pacarnya tetap diam. Setelah beberapa saat, dia berbicara dengan suara lebih pelan, "Biarkan aku berpikir sebentar. Aku akan menemuimu besok, kita bicara lagi. Aku perlu waktu untuk merenungkan ini."
Aya merasa ada sesuatu yang hilang dalam suaranya. Harapannya mulai pupus, tetapi dia tahu tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu. Setelah percakapan selesai, Aya hanya bisa berbaring di tempat tidur, merasa sendirian dan kebingungan tentang masa depannya.
Keputusan besar sedang menantinya, dan entah itu bersama atau sendiri, jalan hidupnya tidak akan pernah sama.
*******
Alesha terbangun dengan rasa lelah yang menyelimuti tubuhnya. Dia melihat Rey masih terlelap di sampingnya, wajahnya yang tenang menciptakan suasana damai di dalam kamar. Namun, ingatan tentang kesibukan merancang gaun pengantin untuk Syakira dan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya membuatnya menghela napas berat.
Dengan pelan, Alesha bangkit dari tempat tidur, berusaha tidak membangunkan Rey. Dia berjalan menuju dapur untuk membuat secangkir teh hangat, berharap bisa menghilangkan rasa pusing yang mengganggunya. Di tengah perjalanan, dia mengingat betapa Rey selalu ada di sampingnya, tak pernah melepaskan pelukannya saat Alesha merasa lemah.
Setelah menyeduh teh, Alesha duduk di meja makan sambil menyesap minuman hangat itu. Dia teringat saat-saat menyenangkan saat merancang gaun bersama Syakira, tetapi sekarang rasa sakit dan kelelahan menghantuinya. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk adik iparnya, tetapi di sisi lain, dia juga merasa tidak enak karena tidak bisa memberikan dukungan penuh.
Ketika Rey akhirnya terbangun, dia langsung mencari Alesha. "Alesha, kamu di mana?" suaranya terdengar khawatir. Begitu dia menemukan Alesha di dapur, wajahnya sedikit mereda.
"Kamu sudah bangun? Aku hanya membuat teh," jawab Alesha dengan senyuman lemah.
Rey mendekatinya dan meraih tangan Alesha, merasakan hangatnya telapak tangan istrinya. "Kamu tidak terlihat baik. Seharusnya istirahat, bukan bekerja terus menerus."
Alesha merasa bersalah. "Aku tahu, Rey. Tapi aku ingin memastikan semuanya sempurna untuk pernikahan Syakira. Aku tidak ingin mengecewakan dia."
Rey menghela napas dan menatap Alesha dengan lembut. "Kamu tidak perlu memikul semua beban ini sendiri. Syakira pasti mengerti jika kamu tidak bisa menyelesaikan semuanya. Kesehatanmu lebih penting."
Alesha menunduk, merasa tertekan oleh tanggung jawab yang ada. "Tapi aku ingin membuatnya bahagia."
"Dan aku juga ingin membuatmu bahagia," Rey menjawab, memegang dagu Alesha agar mereka saling bertatap muka. "Jadi, apa katamu kita istirahat sejenak? Kita bisa menghabiskan waktu bersama, dan aku akan membantu dengan gaun itu."
Alesha tersenyum tipis, merasakan dukungan dan kasih sayang Rey. "Baiklah. Terima kasih, Rey. Aku sangat menghargainya."
Mereka pun kembali ke kamar, Rey menyiapkan bantal agar Alesha dapat bersandar. Di sana, Alesha merasa lebih nyaman. Rey duduk di sampingnya, menggenggam tangan Alesha dengan lembut, menciptakan kehangatan yang menyelimuti mereka.
"Kenapa kamu tidak menceritakan padaku tentang gaun pengantin yang kamu rancang untuk Syakira?" Rey bertanya sambil tersenyum.
Alesha mulai bercerita dengan antusias tentang ide-ide dan desain yang telah dia buat. Saat dia menjelaskan, Rey mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan komentar yang membuat Alesha merasa lebih bersemangat.
Setelah beberapa saat, Alesha merasa lelah dan menguap. Rey pun menyadari betapa pentingnya istirahat untuk Alesha. "Kita bisa melanjutkan besok. Sekarang, tidurlah. Aku akan di sini untuk menjagamu."
Alesha merasa tenang saat Rey menyuruhnya beristirahat. Dia membaringkan kepala di pangkuan Rey dan tertidur, merasakan pelukan hangat suaminya yang memberikan rasa aman dan nyaman. Dalam tidurnya, Alesha berdoa agar besok dia bisa lebih baik dan lebih kuat untuk menghadapi tanggung jawabnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments