Gus Shaka, yang biasanya lebih suka menyendiri dan menjaga jarak, akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan teman-teman lamanya di sebuah warung kopi sederhana di dekat pesantren. Mereka adalah teman-teman yang sudah lama mengenalnya dan sering berdiskusi tentang kehidupan, agama, dan hal-hal yang membuat mereka lebih bijak menjalani hari-hari.
Di meja panjang yang sudah dipenuhi cangkir-cangkir teh hangat, duduklah Khairrazky Raffasya, teman kuliahnya dulu, dan beberapa ustadz muda lainnya yang juga mengajar di pesantren. Saat Shaka tiba, mereka menyambutnya dengan senyum hangat.
“Assalamu’alaikum, Gus Shaka! Akhirnya muncul juga, lama nggak ngopi bareng!” seru Raffa dengan nada bercanda.
“Wa'alaikumsalam,” jawab Shaka dengan senyum tipis, duduk di kursi kosong yang tersedia. “Ya, akhirnya ada waktu. Pesantren lagi sibuk belakangan ini.”
"Pesantren, atau kamu sibuk dengan urusan pribadi?" canda Ustadz Faiz, salah satu teman lama mereka, yang segera membuat beberapa orang tertawa kecil.
Shaka hanya tersenyum dingin, tak terlalu menanggapi candaan itu. “Keduanya,” jawabnya singkat. “Kalian gimana? Masih sibuk di pondok?”
Raffa mengangguk sambil menyeruput tehnya. “Sibuk sih, tapi kita juga punya waktu buat kumpul begini. Kamu udah lama nggak nongol, Gus. Mungkin kita juga bisa ngobrol tentang hal-hal yang kamu lewatin belakangan ini.”
Obrolan pun mengalir, dimulai dengan kabar masing-masing dan bergeser ke topik yang lebih serius. Mereka membahas berbagai isu terkait pesantren, bagaimana mereka mendidik para santri, dan juga pandangan mereka tentang kehidupan sehari-hari yang tak lepas dari dinamika masyarakat modern.
Setelah beberapa saat, Ustadz Faiz, yang terkenal suka menggali cerita, tiba-tiba menatap Shaka dengan penasaran. “Ngomong-ngomong, ada yang bilang kamu lagi deket sama seseorang, ya? Siapa namanya... Aya Khairunnisa?”
Shaka, yang awalnya tenang, sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu. Ia menegakkan tubuhnya dan menatap Faiz dengan tajam. “Siapa yang bilang begitu?” tanyanya, nadanya agak dingin.
Faiz tersenyum licik. “Wah, jadi benar ada sesuatu, ya? Hanya dengar dari santri-santri yang sering lihat kamu bertemu dengannya di pesantren. Nggak usah terlalu serius, Gus, kita cuma penasaran.”
Shaka menghela napas panjang dan menatap secangkir tehnya yang masih penuh. “Nggak ada yang seperti itu. Aku diminta ayahnya untuk membimbing Aya, dia sahabat kakak ipar aku. Tidak lebih dari itu.”
Raffa, yang tahu Shaka lebih baik daripada yang lain, hanya tersenyum tipis. “Kalau begitu, ya sudah. Kami tahu kamu punya prinsip kuat. Tapi hati-hati, Shaka. Kadang hubungan yang dimulai dari bimbingan bisa berujung jadi lebih dekat. Siapa tahu?”
Shaka hanya menggeleng. “Nggak ada yang seperti itu,” tegasnya. “Aya butuh bimbingan agama, dan aku cuma melaksanakan permintaan ayahnya. Kalau soal perasaan, aku nggak mau terlibat terlalu jauh.”
Mereka tertawa kecil mendengar ketegasan Shaka. Namun, di balik tawa dan candaan itu, Shaka tetap merasa ada sesuatu yang mengganggunya. Meski ia menolak keras bahwa ada keterlibatan emosional antara dirinya dan Aya, nyatanya ia mulai sering memikirkannya. Aya, dengan sifatnya yang bebas dan keras kepala, selalu berhasil membuat Shaka merasa tertantang. Tapi, dia tetap yakin pada prinsipnya—sebagai seorang ustadz dan gus, ia harus menjaga diri dan tidak membiarkan perasaan menguasai akal sehatnya.
Felly berdiri di depan Alesha, masih merasakan kelegaan setelah sampai di pesantren. Namun, rasa ingin tahunya tentang siapa pria yang menolongnya tidak bisa ditahan.
"Kak Alesha, siapa sih pria yang barusan menolongku?" tanyanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Alesha mengerutkan kening, mencoba mengingat wajah Raffa. "Aku tidak tahu pasti. Tapi sepertinya dia adalah salah satu teman suamiku. Nanti aku tanyakan ke Gus Shaka, adik iparku."
Felly mengangguk, merasa penasaran. "Dia terlihat baik sekali. Terima kasih ya, Kak, sudah mau membantuku."
Alesha tersenyum, menggenggam tangan Felly. "Tentu saja, Felly. Kamu adalah sepupuku. Kita selalu saling membantu. Ayo, masuk. Aku sudah menyiapkan makanan ringan. Kamu pasti lapar setelah perjalanan."
Mereka berdua masuk ke dalam rumah, dan Alesha menghidangkan beberapa camilan sederhana yang telah disiapkannya. Sambil makan, Felly mulai merasa lebih nyaman, dan suasana hangat di rumah Alesha mengalihkan pikirannya dari masalah di rumah.
Setelah selesai makan, Alesha memutuskan untuk mencari Gus Shaka. "Tunggu di sini sebentar ya, Felly. Aku akan mencari Shaka untuk menanyakan tentang pria itu."
Felly mengangguk, dan Alesha melangkah keluar, mencari sosok adik iparnya di sekitar kompleks pesantren. Tak lama kemudian, Alesha menemukan Gus Shaka yang sedang berbincang dengan Ustadz Faiz dan Raffa di dekat masjid.
"Shaka!" Alesha memanggilnya. "Bisa mampir sebentar? Aku butuh bantuanmu."
Gus Shaka menoleh dan melangkah mendekat, sementara Raffa dan Ustadz Faiz mengikuti di belakang. "Ada apa, Mbak Alesha?" tanyanya, menatapnya dengan serius.
"Aku baru saja kedatangan Felly, sepupuku. Dia bilang kamu yang menolongnya di jalan. Siapa pria yang bersamamu tadi?" Alesha bertanya, ingin tahu lebih banyak.
Shaka terdiam sejenak sebelum menjawab. "Oh, itu Raffa. Dia baru saja membantu Felly yang hampir tertabrak mobil. Raffa memang sosok yang perhatian."
Alesha tersenyum. "Oh, pantas saja. Terima kasih, Shaka. Felly sangat berterima kasih padanya."
"Sama-sama," jawab Shaka. "Raffa memang baik, tapi dia juga terkadang terlihat terlalu serius."
Mereka semua kemudian kembali ke rumah, dan Felly yang sedang menunggu di dalam menyambut Alesha dengan senyum. "Kak Alesha, jadi siapa pria itu?"
Alesha menjawab dengan semangat, "Itu Raffa, teman Gus Shaka. Dia yang menolongmu tadi."
Felly merasakan kegembiraan mendengar nama Raffa. "Oh, Raffa. Dia terlihat baik dan sangat perhatian. Aku beruntung dia ada di sana."
Alesha melihat Felly semakin ceria, dan itu membuatnya merasa senang. "Iya, Felly. Dan di sini, kamu bisa belajar banyak hal. Ayo, kita mulai menjelajahi pesantren."
Mereka berdua kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar pesantren. Alesha menunjukkan berbagai fasilitas, mulai dari masjid, kelas belajar, hingga area taman yang rimbun. Felly merasa betah dan sedikit demi sedikit, semua ketegangan yang ada dalam hatinya mulai mereda.
Saat mereka melanjutkan tur mereka, Alesha memutuskan untuk mengenalkan Felly kepada para santri lainnya dan beberapa pengajar di pesantren. Felly merasa senang bertemu dengan orang-orang baru dan melihat betapa hangatnya suasana di sana.
Di sisi lain, Raffa masih berdiri di dekat masjid, berbincang dengan Gus Shaka dan Ustadz Faiz. "Felly sepertinya anak yang baik," Raffa berkomentar. "Dia butuh tempat yang aman dan tenang."
Gus Shaka mengangguk, "Iya, dia terlihat butuh dukungan. Semoga di sini dia bisa menemukan ketenangan yang dia cari."
Sementara itu, Felly terus berbincang dengan Alesha dan mulai merasa seperti di rumah. Ketika malam tiba, mereka kembali ke rumah Alesha, dan Felly merasa bersyukur atas semua hal baik yang terjadi dalam sehari itu. Pesantren Al Hikmah benar-benar menjadi tempat yang tepat untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
imamah iim
kasihan safira, pdhal orangx baek
2022-11-08
0