Setelah urusan Felly selesai, Alesha kembali ke rutinitasnya di pesantren dan butik. Pagi hari biasanya dimulai dengan membantu Rey menyiapkan sarapan sederhana sebelum ia pergi ke masjid untuk mengajar dan memimpin sholat. Setelah Rey berangkat, Alesha menyesuaikan waktunya antara mengurus rumah dan menjalankan bisnis butik yang sudah mulai ia bangun kembali dengan izin dari suaminya.
Butik yang dikelola Alesha mulai menarik perhatian, terutama di kalangan santri dan ibu-ibu pengajian di sekitar pesantren. Banyak dari mereka yang tertarik pada desain busana muslimah modern namun tetap syar'i, yang merupakan spesialisasi Alesha. Setiap hari, butik kecil yang awalnya hanya untuk mengisi waktu luang Alesha, kini berkembang pesat, menjadi tempat berkumpulnya para wanita di pesantren untuk berdiskusi tentang busana dan juga berbagai acara keagamaan.
Suatu sore, setelah butik tutup, Alesha bersiap untuk menghadiri pengajian mingguan yang diadakan di pesantren. Ia memutuskan untuk mengajak Felly dan Syakira, adik iparnya, agar mereka bisa menghabiskan waktu bersama. Saat di perjalanan menuju pengajian, Felly berkomentar, "Kak, butikmu semakin ramai ya? Aku dengar banyak yang pesan baju di sana."
Alesha tersenyum bangga, "Iya, Alhamdulillah. Semua ini berkat dukungan Mas Rey dan kalian semua. Tapi, tetap saja aku harus membagi waktu dengan baik antara butik dan rumah."
Syakira yang lembut juga ikut menimpali, "Kak Alesha memang hebat. Bisa mengurus butik, rumah, dan masih bisa aktif di pengajian. Aku kadang merasa harus belajar banyak dari kakak."
Alesha menatap Syakira dan tersenyum penuh kasih. "Syakira, kamu juga hebat. Menjalani hidup di pesantren dengan segala aturan dan tanggung jawabmu sebagai Ning bukanlah hal mudah. Kita semua punya jalan masing-masing untuk bermanfaat."
Setelah pengajian selesai, Alesha pulang ke rumah bersama Rey. Di malam hari, mereka sering menghabiskan waktu dengan berbicara tentang aktivitas sehari-hari. Rey selalu mendukung Alesha dalam bisnisnya, meskipun ia sesekali mengingatkan agar Alesha tidak terlalu lelah. Malam itu, Rey dengan lembut berkata, "Alesha, aku bangga dengan apa yang kamu capai di butik. Tapi jangan lupa untuk menjaga kesehatanmu. Kalau kamu butuh bantuan, katakan saja, ya."
Alesha mengangguk, merasa dihargai dan didukung oleh suaminya. "Aku akan, Rey. Terima kasih selalu mendukungku."
Dalam kebersamaan yang hangat itu, Alesha merasa semakin yakin bahwa ia bisa menjalani kehidupannya dengan seimbang antara menjadi istri yang taat, pemilik butik yang sukses, dan tetap terlibat dalam kegiatan keagamaan di pesantren.
******
Syakira merasa bimbang tentang pernikahannya dengan Ustadz Rayyan. Meskipun ia menghormati keputusan abinya, ada keinginan yang mendalam untuk terus belajar dan menikmati kebebasan masa mudanya sebelum terikat dalam pernikahan. Dalam kesunyian kamar, ia memutuskan untuk menemui Umi, sosok yang selalu bisa memberi nasihat bijak.
Saat Syakira memasuki ruangan, Umi Annisa tengah duduk di kursi dengan Al-Qur'an di tangannya. Syakira duduk di sampingnya, menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya berbicara.
"Umi..." panggilnya pelan, suaranya bergetar.
Umi meletakkan Al-Qur'an dan menatap putrinya dengan penuh kasih. "Ada apa, Sayang?"
"Aku... butuh nasihat, Umi. Tentang masa depanku..." Syakira menarik napas dalam. "Aku tahu Abi sudah menerima lamaran Ustadz Rayyan, tapi aku masih merasa belum siap. Aku ingin terus belajar, memperdalam ilmu. Tapi sepertinya, waktu untuk itu semakin sempit."
Umi tersenyum lembut. "Nak, tidak ada yang salah dengan keinginanmu untuk terus belajar. Tapi ingat, dalam pernikahan, belajar tidak berhenti. Justru dalam berumah tangga, banyak hal yang bisa kita pelajari dan ajarkan, terutama dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah."
"Tapi, Umi... aku takut belum bisa menjadi istri yang baik, belum siap menghadapi semua tanggung jawab itu," keluh Syakira dengan suara penuh kekhawatiran.
Umi mengangguk, memahami perasaan putrinya. "Setiap perempuan pasti merasakan hal yang sama, Syakira. Tapi dengan iman, kesabaran, dan usaha yang tulus, insya Allah kamu akan mampu menjalani semuanya. Ustadz Rayyan adalah pria yang baik, Umi yakin dia akan membimbingmu dengan penuh kasih."
Syakira terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Aku akan berusaha, Umi. Tapi... bisakah aku masih memiliki waktu untuk belajar lebih dalam sebelum pernikahan itu?"
"Umi akan berbicara dengan Abi. Jika itu yang kamu inginkan, Umi akan mendukungmu, Sayang." Umi menepuk tangan Syakira dengan lembut.
Perlahan, perasaan Syakira mulai terasa lebih ringan. Meski jalan di depannya terasa berat, ia tahu bahwa Umi dan keluarganya selalu ada di sisinya, siap mendukung apa pun keputusannya.
*****
Gus Shaka duduk di beranda pesantren, memikirkan kejadian yang baru saja dilaluinya. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan kecewa dan frustrasi tidak bisa disembunyikannya. Aya, gadis yang seharusnya ia bimbing secara agama, ketahuan sedang berpacaran. Bagi Shaka, ini adalah pelanggaran besar terhadap nasihat yang sudah ia sampaikan berkali-kali.
Ia sudah berusaha sebaik mungkin menjadi guru privat yang tegas namun penuh pengertian, mengajak Aya untuk memahami pentingnya menjalani kehidupan sesuai ajaran agama. Namun, nyatanya, Aya tak mengindahkan nasihatnya.
Tidak lama kemudian, Bara, ayah Aya, tiba di pesantren sesuai jadwal pertemuan yang diminta Shaka. Dengan hormat, Shaka mempersilakan Bara duduk di ruang tamu pesantren.
“Assalamu’alaikum, Gus Shaka,” Bara memulai dengan senyuman di wajahnya. “Apa kabar? Bagaimana perkembangan Aya?”
Shaka membalas salam dengan tenang, tapi wajahnya tetap menunjukkan keprihatinan. “Wa’alaikumsalam, Pak Bara. Ada hal yang ingin saya bicarakan terkait Aya.”
Bara terkejut melihat raut wajah serius Shaka. “Ada apa, Gus? Apakah ada masalah dengan Aya?”
Shaka terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat sebelum melanjutkan. “Beberapa hari lalu, saya memergoki Aya sedang berpacaran. Sebagai gurunya, saya sudah berusaha mengarahkan agar ia tidak melanggar ajaran agama, tapi tampaknya nasihat saya tidak didengar.”
Bara tampak terkejut, matanya membesar. "Berpacaran? Aya?" Nada suaranya jelas menunjukkan kekecewaan.
Shaka mengangguk dengan tenang. “Saya sangat menyesal, Pak Bara. Saya merasa telah gagal dalam membimbingnya. Karena itu, saya ingin mengundurkan diri sebagai guru privat Aya.”
Bara terdiam, mencoba mencerna perkataan Shaka. Ia tahu putrinya keras kepala dan sulit diatur, tapi mendengar hal ini langsung dari Gus Shaka, seseorang yang sangat dihormatinya, tentu saja mengecewakan. Ia juga memahami bahwa Gus Shaka tidak main-main dalam mendidik, apalagi terkait agama.
“Tapi Gus, kalau kamu berhenti, siapa lagi yang akan bisa membimbing Aya? Saya tahu dia keras kepala, tapi dia butuh bimbingan dari orang yang sabar sepertimu,” Bara mencoba memohon dengan suara yang lebih lembut.
Shaka menatap Bara dengan penuh hormat. “Saya mengerti, Pak Bara. Namun, saya khawatir jika saya terus menjadi gurunya, saya tidak bisa menjaga niat dan tanggung jawab saya dengan baik. Pergaulan bebas seperti ini adalah hal yang sangat saya khawatirkan, dan sebagai gurunya, saya merasa tanggung jawab moral saya sudah tidak dapat lagi dipenuhi.”
Bara menarik napas panjang, memahami posisi Shaka. “Saya tidak bisa memaksamu, Gus. Tapi, saya tetap berharap kamu bisa membimbing Aya meski tidak secara langsung. Dia memerlukan contoh yang baik, dan saya yakin kamu bisa menjadi sosok yang dia hormati.”
Shaka terdiam sejenak sebelum menjawab, “Insya Allah, Pak Bara. Saya akan selalu mendoakan yang terbaik untuk Aya. Namun, untuk saat ini, saya rasa keputusan terbaik adalah mengundurkan diri sebagai gurunya. Semoga Allah membimbing kita semua.”
Setelah percakapan itu, Shaka merasa lega meskipun perasaan bersalah masih menyelimuti dirinya. Di satu sisi, ia tahu bahwa mengundurkan diri adalah keputusan yang tepat, tapi di sisi lain, ia tak bisa menghilangkan rasa kecewanya terhadap Aya.
Sementara itu, Bara pulang dengan hati yang berat. Ia tahu, keputusannya mempercayakan Aya kepada Gus Shaka mungkin tidak semulus yang diharapkannya. Tapi satu hal yang pasti, ia harus segera berbicara dengan Aya dan mencari solusi agar putrinya tidak semakin terjerumus dalam kehidupan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan keluarganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments