Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Aya, Alesha mulai merenungkan kata-kata sahabatnya. Ia menyadari bahwa meski hatinya dipenuhi keraguan, memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri dan Rey mungkin bukan ide yang buruk. Perlahan, ia merasa lebih tenang, seolah Allah sedang memberikan bimbingan dalam keputusan besar ini.
Suatu sore, Alesha menerima pesan dari Rey yang mengundangnya untuk bertemu di sebuah acara pengajian keluarga. Awalnya, Alesha ragu, tapi kemudian ia teringat nasihat Aya: "Kita harus memulai dengan saling mengenal dan memahami." Akhirnya, ia setuju untuk datang.
Hari itu, suasana pengajian terasa khusyuk. Alesha duduk di samping ibunya, sesekali melirik Rey yang berada di barisan pria. Rey tampak tenang, penuh dengan wibawa. Sepanjang acara, Alesha memperhatikan cara Rey berbicara dengan orang-orang di sekitarnya. Ada ketenangan dalam setiap ucapannya, dan ia terlihat sangat dihormati. Alesha mulai melihat sisi lain dari Rey—bukan hanya sebagai pria yang dijodohkan dengannya, tetapi juga sebagai sosok yang memiliki tanggung jawab besar dalam hidupnya.
Setelah acara selesai, Rey mendekati Alesha dengan senyum hangat. "Alesha, terima kasih sudah datang. Bagaimana menurutmu tentang acara hari ini?"
Alesha tersenyum kecil. "Acara ini sangat bagus. Aku suka suasananya yang damai. Terima kasih sudah mengundangku."
Rey mengangguk, tampak senang dengan jawabannya. "Aku berharap kamu merasa nyaman di sini. Aku tahu pertemuan kita tidak biasa, tapi aku ingin kita bisa saling mengenal lebih baik. Bagaimana kalau kita ngobrol sebentar di halaman?"
Alesha merasa sedikit gugup, tapi ia setuju. Di luar, angin sore bertiup lembut, menciptakan suasana yang nyaman untuk berbicara. Rey duduk di bangku taman kecil yang menghadap kebun bunga.
"Aku ingin jujur denganmu, Alesha," Rey memulai. "Aku paham bahwa ini bukan situasi yang mudah bagimu. Aku juga punya keraguan, terutama karena masa laluku. Tapi aku berjanji, jika kamu memberikan kesempatan ini, aku akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi suami yang baik. Aku sudah belajar dari kesalahan masa lalu, dan aku ingin membangun hubungan yang didasari cinta, pengertian, dan keikhlasan."
Alesha mendengarkan dengan seksama, merasakan ketulusan dalam suara Rey. "Aku mengerti, Rey. Aku hanya butuh waktu. Aku masih belajar untuk menerima semua ini, dan aku ingin memastikan bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuk kita berdua."
Rey tersenyum, memahami. "Tentu, Alesha. Aku tidak akan memaksakan apa pun. Aku ingin kita melangkah perlahan, dengan niat baik dan ridho Allah."
Mereka berbicara lebih lama, saling bertukar cerita tentang kehidupan, harapan, dan masa depan. Meski masih ada rasa canggung, Alesha mulai merasa bahwa Rey adalah sosok yang bisa dia percayai. Bukan hanya karena latar belakangnya yang baik, tetapi juga karena kesediaannya untuk membuka hati dan memperbaiki diri. Mereka bukan hanya berdua, tapi Talia juga ada mendengarkan percakapan putrinya itu.
Ketika mereka berpisah malam itu, Alesha merasakan perasaan baru yang tumbuh dalam dirinya—bukan cinta yang tiba-tiba, tapi sebuah keyakinan bahwa mungkin, dengan waktu dan doa, perasaan itu akan datang. Ia memutuskan untuk tetap bersabar, menyerahkan segalanya kepada Allah, dan berjalan perlahan dalam perjalanan hidup yang baru ini.
*********
Hari fitting baju tiba, dan Alesha merasa gugup. Ia berdiri di depan cermin besar, mengenakan gamis anggun berwarna pastel yang dipilihkan oleh desainer keluarga Rey. Di ruangan itu, kehangatan keluarga terasa begitu nyata.
Talia, yang berdiri di samping Alesha, mengamati putrinya dengan penuh kebanggaan. "Kamu terlihat sangat cantik, Nak. Ini sangat cocok denganmu," katanya sambil merapikan sedikit bagian lengan gamis Alesha.
Di sisi lain, Waiz mengobrol ringan dengan Kyai Abdullah, membahas persiapan acara besar itu. "Kami sangat berterima kasih atas kerjasamanya, Kyai," ujar Waiz dengan senyuman. Kyai Abdullah mengangguk. "Alhamdulillah, Waiz. Semua ini untuk kebaikan bersama."
Umi Annisa duduk dengan tenang, sesekali memberikan arahan kepada penjahit yang menyesuaikan detail baju. "Pastikan ukuran lengannya pas, tidak terlalu ketat," ucapnya lembut, namun tegas.
Gus Rey, yang berdiri di sudut ruangan, sesekali mencuri pandang ke arah Alesha. Dalam hatinya, ia bersyukur atas jalan yang telah ditempuh mereka berdua. Dia mengenakan baju koko berwarna senada dengan gamis Alesha, memberikan kesan harmoni antara mereka. “Alesha, apa kamu nyaman dengan pilihan ini?” tanya Rey lembut, ingin memastikan.
Alesha tersenyum tipis, masih merasa sedikit canggung berada di tengah keluarga besar ini. "Iya, ini sangat nyaman. Terima kasih sudah memperhatikan detailnya," jawabnya.
Tak jauh dari sana, Ning Syakira, adik perempuan Rey, mencoba busana tradisional yang didesain khusus untuk acara keluarga besar nanti. "Kak Shaka, lihat, bagaimana menurutmu?" tanyanya kepada Gus Shaka, yang berdiri sambil memeriksa bajunya sendiri.
Gus Shaka, dengan senyumnya yang tenang, mengangguk. "Kamu terlihat anggun, Ning. Semua cocok, hanya mungkin bagian kerudungnya perlu sedikit diatur agar lebih rapi."
Syakira tersenyum puas. "Terima kasih, Kak. Aku juga merasa nyaman dengan ini."
Suasana menjadi lebih hidup ketika desainer datang untuk memeriksa setiap orang, memastikan semuanya berjalan lancar. "Gus Rey, Ning Syakira, ayo berdiri di sini sebentar. Kita lihat keseluruhan tampilannya," seru desainer, meminta keluarga besar Rey untuk berkumpul.
Mereka semua berdiri berdampingan—Talia dan Waiz di satu sisi, Umi Annisa dan Kyai Abdullah di sisi lain, dengan Alesha dan Gus Rey di tengahnya. Ning Syakira berdiri di samping Gus Shaka, membentuk komposisi keluarga yang hangat dan penuh kebersamaan.
“Semua terlihat sempurna. Insya Allah acara nanti akan berjalan lancar dan penuh berkah,” ujar Talia sambil menatap keluarga besar di cermin besar itu.
"Alhamdulillah," jawab Kyai Abdullah. "Semoga semua ini menjadi awal yang baik untuk keluarga kita."
Alesha mengangguk dalam hati. Meski awalnya ragu, ia mulai merasakan bahwa bersama dengan keluarga besar ini, ia bisa menemukan tempat yang nyaman untuk memulai babak baru dalam hidupnya
.Setelah semua orang berkumpul di depan cermin besar untuk memeriksa hasil fitting baju, Ning Syakira tampak tersenyum lebar. Meskipun ia masih muda, dalam hati kecilnya ada perasaan campur aduk tentang masa depannya yang dipenuhi oleh harapan dan tanggung jawab besar sebagai Ning dalam keluarga pesantren.
Syakira, yang selalu berada di bawah perhatian keluarganya, belum menikah, tetapi ia tahu bahwa saat itu akan tiba cepat atau lambat. Sesekali, ibunya Umi Annisa berbicara kepadanya tentang pernikahan, tetapi Syakira masih merasa belum siap sepenuhnya. Meskipun lingkungan pesantren membuatnya terbiasa dengan aturan dan tradisi, ia merasa masih ada banyak hal dalam hidup yang ingin ia capai sebelum terikat dalam sebuah pernikahan.
Saat Syakira sedang mematut diri di depan cermin, Talia mendekatinya. "Syakira, kamu terlihat begitu anggun. Bagaimana perasaanmu mengenakan baju ini?"
Syakira tersenyum kecil, namun ada kekhawatiran yang tersirat di matanya. "Terima kasih, Tante Talia. Aku suka bajunya, tapi..." suaranya terdengar ragu-ragu. Ia tidak melanjutkan kalimatnya, namun Talia tahu bahwa di dalam hati gadis muda ini sedang ada banyak pemikiran.
"Apakah kamu sedang memikirkan masa depanmu?" Talia menatapnya lembut. "Aku bisa merasakan kegelisahan di hatimu, Nak. Tidak apa-apa jika kamu belum siap."
Syakira mengangguk pelan. "Aku... hanya merasa bahwa ada banyak hal yang belum kutemukan tentang diriku sendiri. Terkadang, aku bertanya-tanya apakah aku benar-benar siap untuk semua tanggung jawab ini."
Talia tersenyum, mencoba memberikan dukungan. "Semua orang memiliki waktu mereka sendiri, Syakira. Jangan terburu-buru. Jalan hidupmu tidak harus sama dengan orang lain. Kamu punya hak untuk menemukan dirimu sendiri."
Umi Annisa, yang mendengar percakapan itu dari kejauhan, hanya mengangguk. Sebagai seorang ibu, ia tahu bahwa putrinya memiliki banyak hal yang masih ingin ia capai, dan meskipun tradisi mengharuskan pernikahan di usia yang muda, Umi Annisa ingin Syakira menemukan kebahagiaannya sendiri.
Di sudut lain, Gus Shaka memperhatikan adiknya dengan tatapan penuh kasih. Ia selalu melindungi Syakira, memahami bahwa sebagai satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, Syakira menghadapi tekanan yang tidak mudah. "Jika Syakira merasa belum siap, kita semua akan mendukung keputusannya," kata Shaka dengan tegas, meski suaranya lembut, memberikan dukungan penuh pada adik kesayangannya.
Kyai Abdullah, yang selama ini diam, mengamati keluarganya dengan penuh bijaksana. Ia tahu bahwa setiap anaknya memiliki jalan hidup yang berbeda, dan sebagai ayah, tugasnya adalah membimbing mereka dengan penuh cinta dan pengertian. "Syakira, kamu akan selalu memiliki waktu untuk menemukan dirimu. Jangan pernah merasa terburu-buru hanya karena tekanan dari sekitarmu. Kami semua ada di sini untuk mendukungmu," ucap Kyai Abdullah, memberikan wejangan yang menenangkan.
Suasana di ruang fitting baju itu perlahan mencair. Meski banyak hal yang masih menjadi tanda tanya di benak Syakira, ia merasa dikelilingi oleh cinta dan dukungan dari keluarga besarnya. Hari itu menjadi salah satu momen di mana ia menyadari bahwa meskipun ada tanggung jawab besar di pundaknya, ia tidak perlu menghadapinya sendirian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
shanti rahayu
hahahahhaha
2022-06-26
0