Happy Reading
Di ruang tamu yang hangat meski penuh kecemasan, Waiz dan Talia duduk saling berhadapan, wajah mereka penuh keraguan. Malam itu, pembicaraan yang telah ditunda selama beberapa hari akhirnya harus dibahas. Mereka harus memutuskan masa depan putri mereka, Alesha.
Waiz menghela napas berat, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas, “Aku sudah bicara dengan Rey. Dia setuju, tapi dia juga punya keraguan. Dia... sudah pernah gagal dalam pernikahannya. Aku takut ini bukan jalan yang mudah untuk Alesha.”
Talia, yang duduk dengan tangan terlipat di depan dada, menundukkan kepalanya. Ia mengerti kekhawatiran suaminya, tapi baginya, mereka tidak punya banyak pilihan. “Tapi kita harus ingat, Mas. Alesha sudah terlalu jauh tersesat. Jika kita biarkan dia begitu saja, aku khawatir masa depannya akan lebih buruk.”
Waiz menatap kosong ke luar jendela, seakan mencari jawaban di balik kegelapan malam. “Aku tahu, Lia. Tapi Rey... Dia duda dengan masa lalu yang rumit. Mantan istrinya meninggalkannya karena merasa tidak cocok, bukan karena dia melakukan kesalahan. Aku takut kalau Rey belum sembuh dari lukanya, pernikahan ini malah membawa masalah baru.”
Talia mendesah panjang. Ia juga memikirkan hal itu. “Aku sudah bicara dengan Rey beberapa kali. Dia orang baik, Mas. Meskipun dia pernah gagal, bukan berarti dia tidak bisa membangun pernikahan lagi. Lagipula, dia pria yang bertanggung jawab. Dia tahu bagaimana menata ulang hidupnya setelah kegagalan itu.”
“Memang, Rey pria baik,” sahut Waiz. “Tapi aku takut Alesha tidak bisa menerima keadaan ini. Dia masih muda, sementara Rey sudah berusia hampir sepuluh tahun lebih tua. Ditambah, apa Alesha bisa menerima Bayu yang punya bayang-bayang masa lalu?”
Talia menggigit bibirnya, memikirkan nasib putri mereka. “Mas, aku tahu kita mungkin tidak memberikan kehidupan sempurna untuk Alesha. Tapi kita lakukan ini demi masa depannya. Pergaulan bebas yang dia jalani sudah merusak banyak hal. Kalau kita tidak mengambil tindakan tegas, kita bisa kehilangan dia selamanya.”
Waiz mengangguk pelan, meski hatinya masih berat. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk dia,Bu. Aku tidak mau dia merasa terpaksa menikah dengan seseorang yang dia belum kenal baik, apalagi seseorang yang pernah gagal dalam pernikahan.”
“Rey juga memahami itu, Mas. Dia tidak ingin memaksakan apa pun. Dia setuju menikahi Alesha, tapi dia juga bilang akan memberikan Alesha waktu. Mereka bisa belajar saling mengenal lebih dalam, dan mungkin dari sana, bisa muncul rasa percaya.” Talia menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. “Aku tahu ini berat. Tapi bukankah pernikahan juga soal memberi kesempatan?”
Waiz kembali diam. “Kita harus bicara dengan Alesha. Pastikan dia tahu bahwa ini adalah kesempatan untuk memperbaiki dirinya, bukan sekadar keputusan yang kita buat karena putus asa.”
Talia menatap suaminya dengan penuh harap. “Kita harus percaya bahwa Rey bisa menjadi pendamping yang baik untuk Alesha. Dan semoga Alesha juga bisa melihat kesempatan ini sebagai langkah untuk memulai kembali hidupnya.”
Waiz akhirnya mengangguk setuju. “Baiklah, kita akan bicara dengan Alesha. Tapi aku berharap... semoga ini benar-benar jalan terbaik untuk semuanya.”
Ketika Alesha mendengar keputusan orang tuanya, ia hanya bisa terdiam. Dunia seolah runtuh di hadapannya. Perasaan kecewa, marah, dan bingung bercampur dalam dadanya. Ia menatap kedua orang tuanya dengan tatapan tidak percaya.
“Ma, Pa... apa kalian serius ingin aku menikah dengan Rey? Pria yang bahkan tidak pernah aku kenal sebelumnya, seorang duda yang pernah gagal dalam pernikahannya?” Alesha bertanya dengan nada bergetar, berusaha menahan tangis.
Waiz dan Talia saling bertukar pandang. Mereka sudah menduga Alesha tidak akan mudah menerima keputusan ini, namun tidak ada pilihan lain yang tersisa.
“Alesha, kami melakukan ini bukan karena kami ingin menyakiti kamu. Kami ingin yang terbaik untukmu,” kata Waiz dengan lembut, mencoba menenangkan putrinya.
“Terbaik? Kalian pikir menikah dengan pria yang jauh lebih tua dan pernah gagal menikah adalah yang terbaik untukku?” Alesha bangkit dari tempat duduknya, berjalan beberapa langkah menjauh, seakan ingin melarikan diri dari kenyataan yang tak bisa ia hadapi.
“Alesha, tolong dengarkan Mama,” bujuk Talia dengan suara pelan namun tegas. “Kami sudah berpikir matang-matang tentang ini. Kamu tahu bagaimana kehidupanmu selama ini, kamu tahu apa yang sudah terjadi. Rey... dia bisa memberikan kamu kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk kembali ke jalan yang benar.”
Alesha menoleh dengan wajah penuh kemarahan. “Jalan yang benar? Kalian pikir dengan menikahkan aku dengan pria yang tidak aku cintai, itu akan memperbaiki hidupku? Apa kalian pikir ini akan membuat aku bahagia? Aku masih muda, aku punya kehidupan yang harus aku jalani, bukan seperti ini!”
Waiz berdiri, menatap Alesha dengan serius namun lembut. “Alesha, kami paham bahwa kamu merasa ini tidak adil. Tapi lihat keadaanmu sekarang. Kamu terjerat dalam lingkungan yang buruk, pergaulan yang merusak. Kami tidak ingin kamu tenggelam lebih dalam. Kami ingin kamu punya kesempatan untuk memulai lagi.”
Alesha menggeleng dengan keras, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku tidak mau menikah! Aku tidak mau hidup seperti ini, Pa,Ma! Aku ingin menjalani hidupku dengan pilihanku sendiri. Aku akan berubah, aku janji, tapi bukan dengan cara ini.”
Talia berdiri mendekati Alesha, mencoba memegang tangannya, namun Alesha menarik tangannya dengan cepat. “Alesha, dengarkan Mama. Ini bukan tentang menghukummu. Kami hanya ingin kamu selamat dari jalan yang sekarang kamu tempuh. Kami tahu kamu ingin berubah, tapi bagaimana caranya? Kami takut kamu akan kembali ke kebiasaan lama. Rey... dia bisa menjadi suami yang baik, dia orang yang bertanggung jawab. Dia akan membimbingmu.”
“Orang yang bertanggung jawab?” Alesha menyeka air matanya dengan kasar. “Dia bahkan gagal dalam pernikahannya sendiri! Apa yang membuat kalian berpikir dia akan bisa membimbing aku?”
Waiz menghela napas dalam-dalam, mencoba menjaga suaranya tetap tenang. “Semua orang bisa gagal, Alesha. Tapi Bayu adalah orang yang telah belajar dari kesalahannya. Dia pria yang matang, dan dia mau memberikan kamu kesempatan untuk memulai lagi.”
Alesha mundur, tubuhnya gemetar dengan perasaan campur aduk. “Aku tidak mencintainya, Pa. Bagaimana aku bisa menjalani hidup bersama seseorang yang aku tidak kenal, tidak cinta, dan yang punya masa lalu yang kelam?”
“Cinta bisa tumbuh, Nak,” Talia menatap putrinya dengan penuh kasih sayang. “Cinta tidak selalu datang di awal. Kadang, cinta itu muncul dari kepercayaan dan rasa saling menghargai. Kami tahu ini bukan keputusan yang mudah, tapi kami yakin Rey bisa menjadi pendamping yang baik untukmu.”
Alesha terdiam sejenak, mencoba mencerna semua yang baru saja didengarnya. Hatinya berontak, namun di sisi lain, ia tahu ia telah mengecewakan orang tuanya berkali-kali. Namun, menikah dengan Rey terasa seperti hukuman yang terlalu berat baginya.
“Ma,Pa, tolong beri aku waktu,” kata Alesha akhirnya, suaranya bergetar karena isakan yang tertahan. “Aku tidak bisa langsung menerima keputusan ini. Aku butuh waktu untuk berpikir.”
Waiz dan Talia saling memandang dengan rasa bersalah yang mendalam. Mereka tahu permintaan Alesha masuk akal, tapi di balik rasa sayang itu, ada ketakutan bahwa waktu hanya akan memperburuk keadaan.
“Baik, Nak. Kami akan memberikan kamu waktu untuk berpikir,” kata Waiz dengan suara lembut. “Tapi ingat, keputusan ini bukan hanya untuk kami, ini untuk masa depanmu.”
Alesha mengangguk pelan, air matanya terus mengalir. Dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Di tengah heningnya malam, Gus Rey duduk sendiri di teras pondok pesantren Al Hikmah. Suara angin sepoi-sepoi dan bintang-bintang yang berkelip di langit menjadi teman setianya. Namun, hatinya dipenuhi keraguan. Beberapa bulan lalu, keluarganya mengumumkan bahwa mereka telah menjodohkannya dengan Alesha, gadis yang dianggap cocok untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya setelah perceraian yang menyakitkan.
“Apakah ini yang terbaik?” gumamnya, mengingat kembali masa lalu. Perceraian itu seperti bayangan gelap yang selalu mengikutinya, menimbulkan rasa takut akan kegagalan lagi. Gus Rey pernah merasakan kebahagiaan, tetapi kini ia terjebak dalam trauma, meragukan kemampuannya untuk membangun kembali sebuah hubungan.
“Dia mungkin bisa menjadi sosok yang baik untukku,” bisiknya, mencoba meyakinkan diri. Alesha dikenal sebagai gadis yang ceria, penuh semangat, dan memiliki pandangan hidup yang positif. Namun, apakah itu cukup untuk menutupi luka yang masih menganga di hatinya?
Gus Rey teringat pada adiknya, Ning Syakira, yang selalu menasihatinya untuk memberi kesempatan pada diri sendiri. “Kak, hidup harus terus berjalan. Jangan biarkan masa lalu menahanmu,” kata Syakira beberapa waktu lalu.
Namun, saat itu, Rey masih merasa terjebak dalam keraguannya. Dia ingin berusaha, tetapi rasa sakit yang tertinggal masih terlalu kuat. Dengan pikiran penuh, ia menatap langit malam, berharap menemukan jawaban atas kebingungannya. Akankah Alesha bisa menjadi cahaya dalam kegelapan yang menyelimutinya?
Hari-hari berlalu setelah pembicaraan tegang antara Alesha dan orang tuanya. Alesha merasa terjebak dalam pusaran emosi, antara harapan dan ketidakpastian. Dia sering menghabiskan waktu di kamarnya, merenungi keputusan yang diambil orang tuanya. Perasaannya campur aduk, dan setiap kali memikirkan Rey, hatinya dipenuhi keraguan.
Suatu malam, setelah sekian lama berdiam diri, Alesha memutuskan untuk keluar sejenak. Ia berjalan menyusuri taman belakang rumah, tempat di mana ia sering bermain saat kecil. Di sana, aroma bunga melati yang mekar menambah suasana nostalgia, mengingatkan pada masa-masa bahagia yang tak terganggu oleh masalah.
“Alesha!” Suara Talia memanggil dari belakang. Alesha menoleh dan melihat ibunya berjalan mendekat, wajahnya tampak lembut meski ada kecemasan di mata Talia.
“Ma,” jawab Alesha, berusaha tersenyum.
“Bagaimana perasaanmu? Sudahkah kamu memikirkan tentang Rey?” Talia bertanya pelan.
Alesha menggigit bibirnya. “Aku... aku tidak tahu, Ma. Semua ini terasa terlalu cepat. Bagaimana aku bisa mencintai seseorang yang bahkan tidak aku kenal?”
Talia menghela napas. “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Alesha. Kami percaya bahwa Rey bisa membantumu menemukan jalan kembali. Dia orang yang baik, dan dia berusaha untuk berubah.”
“Dia mungkin baik, tapi dia juga punya masa lalu yang menyakitkan. Apa yang bisa dia ajarkan padaku?” Alesha mengungkapkan kekhawatirannya.
“Cinta dan pengertian tidak selalu datang dari pengalaman yang sempurna, Nak. Kadang-kadang, kita harus memberi kesempatan pada orang lain, dan pada diri kita sendiri,” jawab Talia, menyentuh bahu Alesha.
Alesha menatap ibunya, merasakan kasih sayang yang tulus. Namun, benaknya dipenuhi dengan keraguan. “Tapi, Ma, aku ingin hidup dengan pilihanku sendiri. Aku tidak ingin merasa terpaksa.”
Talia mengangguk, memahami. “Aku mengerti, Alesha. Kami tidak ingin memaksamu, tapi ingatlah bahwa keputusan ini bisa menjadi titik balik dalam hidupmu.”
Alesha menunduk, berusaha menahan air mata. “Aku akan mencoba berpikir lebih jauh, Ma. Tapi aku butuh waktu.”
Talia memeluk Alesha erat, memberikan dukungan yang dibutuhkan. “Kami akan selalu ada di sisimu, Nak.”
Di ruang tamu yang nyaman dengan nuansa warna-warna lembut, Alesha duduk di sofa sambil mengatur napas. Di sampingnya, Talia dan Waiz duduk dengan tenang, siap menyambut tamu yang dijodohkan untuk Alesha. Ruangan itu penuh dengan ketenangan dan kesabaran menunggu kedatangan calon suami.
Pintu rumah terbuka dan Rey, pria yang dijodohkan, memasuki ruangan dengan sikap hormat. Meskipun berpakaian formal, wajahnya menunjukkan sedikit keraguan, mencerminkan masa lalunya yang penuh tantangan. Rey diikuti oleh orang tuanya, yang juga membawa aura ketenangan.
Rey tersenyum dan menunduk. “Assalamu’alaikum, Bapak, Ibu. Terima kasih telah menerima kedatangan kami.”
Waiz tersenyum dan membalas. “Wa’alaikumsalam, Gus Rey. Selamat datang. Silakan duduk.”
Rey: mendekat dan duduk dengan hati-hati.
Talia menyajikan teh hangat kepada Rey.
“Ini teh hangat. Semoga kalian menikmatinya.”
“Terima kasih, Ibu.” Rey meminumnya dengan sopan.
Suasana terasa agak tegang, namun Rey berusaha untuk mencairkan suasana dengan berbicara lebih banyak.
“Pak Waiz, saya merasa terhormat bisa bertemu dengan keluarga Bapak. Saya bekerja sebagai pengajar di pesantren milik Abi saya dan selalu berusaha untuk memperdalam ilmu agama saya.” Ujar Rey membuka pembicaraan.
Waiz mengangguk. “Kami menghargai itu, Rey. Kami tahu bahwa kamu memiliki latar belakang yang baik dalam agama. Namun, kami juga mendengar tentang pengalaman kamu sebelumnya. Apakah kamu ingin berbagi tentang hal itu?” tanya Waiz, sebelumnya ia menatap kedua orang tua Rey terlebih dahulu kemudian setelah dipersilahkan ia menanyakan tentang masa lalu Rey.
Rey menatap dengan serius “Tentu, Pak. Saya pernah menikah sebelumnya, dan sayangnya, pernikahan tersebut tidak berlanjut seperti yang kami harapkan. Banyak pelajaran berharga yang saya ambil dari pengalaman itu, dan saya telah berusaha untuk memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.”
Talia dengan perhatian menatap putra temannya itu.
“Kami memahami bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup masing-masing. Bagaimana Rey melihat pengalaman tersebut berpengaruh pada rencana masa depan?”
Rey menunduk dengan penuh penyesalan.
“Pengalaman tersebut telah mengajarkan saya banyak hal tentang pentingnya komunikasi, pengertian, dan kesabaran dalam sebuah hubungan. Saya berkomitmen untuk menerapkan semua pelajaran tersebut dalam hubungan yang akan datang, termasuk dalam rumah tangga ini.”
Alesha meremas kedua tangannya sedikit cemas. “Apakah kamu merasa sudah siap untuk memulai lembaran baru?”
Rey menatap Alesha dengan lembut.”Saya percaya bahwa dengan persiapan dan doa yang baik, serta dukungan dari keluarga, kita bisa menghadapi tantangan bersama. Saya ingin membangun hubungan yang sehat dan penuh kasih, dan saya berusaha untuk siap menghadapi segala kemungkinan.”
Waiz menarik sudut bibirnya. “Itu adalah pandangan yang matang. Kami menghargai keterbukaan Rey mengenai hal ini. Kami percaya bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Saya salut dengan putra kamu Arka.” Ujar Waiz.
“Semoga pertemuan ini bisa menjadi awal yang baik untuk semua pihak. Kami berharap agar hubungan ini bisa berjalan dengan penuh pengertian dan kasih sayang.” Sahut Kyai Abdullah yang sejak tadi hanya membiarkan putranya menjawab pertanyaan-pertanyaan keluarga calonnya.
Percakapan terus berlanjut dengan lebih banyak diskusi mengenai harapan dan impian masing-masing. Meskipun awalnya terasa canggung, suasana mulai menghangat seiring dengan saling berbagi pandangan dan pengalaman.
Ketika pertemuan itu berakhir, Rey dan orang tuanya berpamitan dengan rasa hormat.
Setelah pertemuan itu, Alesha merasa lega meskipun hatinya masih penuh kebimbangan. Ia berjalan kembali ke kamarnya, duduk di atas sajadah yang terbentang di sudut ruangan. Perlahan-lahan ia menarik napas panjang, menenangkan hatinya yang berkecamuk. Di hadapannya, Al-Qur'an tergeletak di atas meja kecil. Alesha meraihnya dan membuka lembar demi lembar, mencari ketenangan dalam ayat-ayat Allah.
“Aku harus mencari petunjuk dari-Mu, Ya Allah,” gumamnya dalam hati.
Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk melaksanakan shalat istikharah, memohon bimbingan dalam menentukan keputusan penting dalam hidupnya. Seusai shalat, Alesha merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa keputusan besar seperti ini tidak bisa diambil dengan terburu-buru. Meskipun Rey terlihat baik dan memiliki niat yang tulus, dia ingin memastikan bahwa hatinya sejalan dengan pilihannya.
---
Beberapa hari berlalu setelah pertemuan itu. Alesha mulai rutin membaca Al-Qur'an dan memperdalam ibadahnya, berharap mendapatkan petunjuk lebih jelas. Ia juga mulai merasakan bahwa mungkin ini adalah cara Allah mengujinya untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya. Sementara itu, Rey juga tidak tinggal diam. Dia berusaha untuk lebih mendekatkan diri kepada keluarga Alesha, dengan mengirimkan pesan-pesan sopan dan menanyakan kabar. Tentu saja, semua dilakukan dengan penuh adab dan dalam kerangka syariah.
Di tengah kesibukannya, Rey terus merenungi hubungannya dengan Alesha. Meskipun pertemuan mereka belum banyak, Rey merasa Alesha adalah perempuan yang baik, yang menjaga adab dan hatinya. Setiap kali ia berdoa, Rey memohon agar Allah membuka jalan yang terbaik untuk mereka berdua, apa pun itu hasilnya.
Suatu hari, ketika Rey selesai mengajar di pesantren, ia dipanggil oleh ayahnya, Kyai Abdullah. Di ruang kerja yang sederhana namun dipenuhi dengan kitab-kitab kuning, Kyai Abdullah duduk sambil menyeduh teh.
“Rey,” panggil sang Kyai dengan lembut.
Rey mendekat dan duduk di depan ayahnya. “Iya, Abi.”
Kyai Abdullah menatap putranya dengan bijak. “Bagaimana perasaanmu setelah pertemuan dengan Alesha dan keluarganya?”
Rey menundukkan kepala sebentar, mencari kata-kata yang tepat. “Alhamdulillah, Abi. Mereka adalah keluarga yang baik dan saleh. Alesha juga perempuan yang santun, meskipun aku bisa merasakan ada kebimbangan di hatinya. Tapi aku memahami, ini bukan hal yang mudah baginya.”
Kyai Abdullah mengangguk pelan. “Memang benar. Pernikahan bukanlah perkara yang bisa diambil dengan ringan, Rey. Ini adalah perjanjian suci di hadapan Allah. Tapi ingat, dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk tawakal setelah ikhtiar. Jika kamu merasa sudah melakukan yang terbaik, serahkan sisanya kepada Allah.”
Rey tersenyum lembut mendengar nasihat ayahnya. “Iya, Abi. Aku hanya berharap bahwa ini adalah jalan yang diridai Allah.”
Kyai Abdullah menepuk bahu Rey dengan kasih sayang. “Yang penting, niatmu harus selalu lurus. Jika Allah menghendaki, semua akan berjalan dengan baik.”
---
Sementara itu, Alesha juga merasakan perubahan di dalam dirinya. Setelah beberapa kali shalat istikharah, hatinya mulai merasa lebih lapang. Dia mulai merasakan ketenangan ketika mengingat Rey. Meskipun masa lalunya masih menjadi beban pikiran, Alesha belajar untuk melepaskan keraguan dan lebih percaya pada takdir yang Allah siapkan untuknya.
Suatu pagi, Alesha duduk bersama Talia di ruang keluarga, meminum teh sambil berbincang ringan. Talia bisa melihat perubahan di wajah putrinya, yang tampak lebih tenang dan damai.
“Kamu terlihat lebih baik, Nak,” kata Talia dengan senyum lembut.
Alesha menatap ibunya dan mengangguk. “Aku merasa lebih tenang, Ma. Aku sudah berdoa dan meminta petunjuk dari Allah. Mungkin, aku harus lebih membuka hatiku untuk Rey.”
Talia meremas tangan Alesha dengan lembut. “Apapun keputusanmu, kami akan selalu mendukungmu. Dan ingatlah, selalu ada hikmah di balik setiap keputusan yang diambil dengan niat yang baik.”
Alesha tersenyum, meskipun hatinya masih bergetar dengan sedikit keraguan. Namun kini, dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, semuanya adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar. Ia hanya perlu yakin dan terus berdoa.
---
Alesha melangkah ke taman, hatinya berdebar-debar. Ia tahu Aya adalah satu-satunya orang yang bisa ia percayai untuk berbagi perasaannya yang membingungkan. Begitu melihat Aya duduk di bangku taman, Alesha merasakan beban di dadanya sedikit terangkat.
“Aya!” panggilnya, berusaha menunjukkan senyum meskipun ada rasa cemas di dalamnya.
Aya menoleh, dan ekspresinya langsung berubah menjadi penuh rasa ingin tahu. “Alesha! Ada apa? Kamu terlihat serius.”
Alesha duduk di samping Aya, mengatur napas. “Aku... ada yang ingin kubicarakan. Ini tentang Rey.”
Aya mengangkat alisnya, tampak terkejut. “Rey? Yang kamu kenal dari perjodohan itu?”
“Iya,” jawab Alesha, suaranya sedikit bergetar. “Aku sudah bertemu dengannya, dan aku merasa bingung tentang perasaanku.”
Aya menatap Alesha dengan serius. “Kamu sudah berbicara dengannya? Apa yang kamu rasakan?”
Alesha menggigit bibirnya, mencari kata-kata yang tepat. “Dia baik, Aya. Dia mengerti banyak tentang agama dan berusaha menjelaskan masa lalunya. Tapi... aku masih merasa ragu. Bagaimana aku bisa mencintai seseorang yang bahkan belum aku kenal dengan baik?”
Aya mengangguk, memahami keraguan sahabatnya. “Itu wajar. Kita tidak bisa memaksakan cinta, Alesha. Tapi kamu juga harus memberi diri sendiri kesempatan. Apa yang membuatmu merasa ragu?”
Alesha memandang ke arah danau kecil di taman, merenung. “Aku takut mengikuti jejak masa lalu yang kelam. Dan aku tidak ingin membuat keputusan yang bisa merugikan diriku sendiri.”
Aya mendekat, menempatkan tangannya di atas tangan Alesha. “Dengar, kamu tidak sendirian dalam hal ini. Cinta itu butuh waktu. Dan kamu juga harus ingat bahwa semua ini adalah bagian dari rencana Allah. Jika ini yang terbaik untukmu, Allah pasti akan memudahkan jalannya.”
Alesha merasa lega mendengar kata-kata sahabatnya. “Aku tahu, tapi aku ingin memastikan bahwa aku siap. Bagaimana jika aku tidak bisa mencintainya?”
“Cinta itu tidak selalu datang dengan cepat. Kadang-kadang, kita harus memulai dengan saling mengenal dan memahami. Cobalah untuk tidak terburu-buru,” saran Aya. “Dan jika kamu merasa dia bukan orang yang tepat, itu juga tidak masalah. Yang penting, kamu sudah berusaha.”
Alesha tersenyum, merasakan dukungan dari sahabatnya. “Terima kasih, Aya. Aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkan.”
Mereka melanjutkan percakapan, saling berbagi tentang impian dan ketakutan mereka. Alesha merasa beban di hatinya semakin ringan. Aya selalu bisa membuatnya merasa lebih baik, dan hari itu, di bawah sinar matahari yang hangat, Alesha mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, dia bisa memberikan kesempatan pada Rey.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!