Setelah pertemuan itu, Alesha merasa lega meskipun hatinya masih penuh kebimbangan. Ia berjalan kembali ke kamarnya, duduk di atas sajadah yang terbentang di sudut ruangan. Perlahan-lahan ia menarik napas panjang, menenangkan hatinya yang berkecamuk. Di hadapannya, Al-Qur'an tergeletak di atas meja kecil. Alesha meraihnya dan membuka lembar demi lembar, mencari ketenangan dalam ayat-ayat Allah.
“Aku harus mencari petunjuk dari-Mu, Ya Allah,” gumamnya dalam hati.
Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk melaksanakan shalat istikharah, memohon bimbingan dalam menentukan keputusan penting dalam hidupnya. Seusai shalat, Alesha merasa sedikit lebih tenang. Dia tahu bahwa keputusan besar seperti ini tidak bisa diambil dengan terburu-buru. Meskipun Rey terlihat baik dan memiliki niat yang tulus, dia ingin memastikan bahwa hatinya sejalan dengan pilihannya.
---
Beberapa hari berlalu setelah pertemuan itu. Alesha mulai rutin membaca Al-Qur'an dan memperdalam ibadahnya, berharap mendapatkan petunjuk lebih jelas. Ia juga mulai merasakan bahwa mungkin ini adalah cara Allah mengujinya untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya. Sementara itu, Rey juga tidak tinggal diam. Dia berusaha untuk lebih mendekatkan diri kepada keluarga Alesha, dengan mengirimkan pesan-pesan sopan dan menanyakan kabar. Tentu saja, semua dilakukan dengan penuh adab dan dalam kerangka syariah.
Di tengah kesibukannya, Rey terus merenungi hubungannya dengan Alesha. Meskipun pertemuan mereka belum banyak, Rey merasa Alesha adalah perempuan yang baik, yang menjaga adab dan hatinya. Setiap kali ia berdoa, Rey memohon agar Allah membuka jalan yang terbaik untuk mereka berdua, apa pun itu hasilnya.
Suatu hari, ketika Rey selesai mengajar di pesantren, ia dipanggil oleh ayahnya, Kyai Abdullah. Di ruang kerja yang sederhana namun dipenuhi dengan kitab-kitab kuning, Kyai Abdullah duduk sambil menyeduh teh.
“Rey,” panggil sang Kyai dengan lembut.
Rey mendekat dan duduk di depan ayahnya. “Iya, Abi.”
Kyai Abdullah menatap putranya dengan bijak. “Bagaimana perasaanmu setelah pertemuan dengan Alesha dan keluarganya?”
Rey menundukkan kepala sebentar, mencari kata-kata yang tepat. “Alhamdulillah, Abi. Mereka adalah keluarga yang baik dan saleh. Alesha juga perempuan yang santun, meskipun aku bisa merasakan ada kebimbangan di hatinya. Tapi aku memahami, ini bukan hal yang mudah baginya.”
Kyai Abdullah mengangguk pelan. “Memang benar. Pernikahan bukanlah perkara yang bisa diambil dengan ringan, Rey. Ini adalah perjanjian suci di hadapan Allah. Tapi ingat, dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk tawakal setelah ikhtiar. Jika kamu merasa sudah melakukan yang terbaik, serahkan sisanya kepada Allah.”
Rey tersenyum lembut mendengar nasihat ayahnya. “Iya, Abi. Aku hanya berharap bahwa ini adalah jalan yang diridai Allah.”
Kyai Abdullah menepuk bahu Rey dengan kasih sayang. “Yang penting, niatmu harus selalu lurus. Jika Allah menghendaki, semua akan berjalan dengan baik.”
---
Sementara itu, Alesha juga merasakan perubahan di dalam dirinya. Setelah beberapa kali shalat istikharah, hatinya mulai merasa lebih lapang. Dia mulai merasakan ketenangan ketika mengingat Rey. Meskipun masa lalunya masih menjadi beban pikiran, Alesha belajar untuk melepaskan keraguan dan lebih percaya pada takdir yang Allah siapkan untuknya.
Suatu pagi, Alesha duduk bersama Talia di ruang keluarga, meminum teh sambil berbincang ringan. Talia bisa melihat perubahan di wajah putrinya, yang tampak lebih tenang dan damai.
“Kamu terlihat lebih baik, Nak,” kata Talia dengan senyum lembut.
Alesha menatap ibunya dan mengangguk. “Aku merasa lebih tenang, Ma. Aku sudah berdoa dan meminta petunjuk dari Allah. Mungkin, aku harus lebih membuka hatiku untuk Rey.”
Talia meremas tangan Alesha dengan lembut. “Apapun keputusanmu, kami akan selalu mendukungmu. Dan ingatlah, selalu ada hikmah di balik setiap keputusan yang diambil dengan niat yang baik.”
Alesha tersenyum, meskipun hatinya masih bergetar dengan sedikit keraguan. Namun kini, dia tahu bahwa apa pun yang terjadi, semuanya adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar. Ia hanya perlu yakin dan terus berdoa.
---
Alesha melangkah ke taman, hatinya berdebar-debar. Ia tahu Aya adalah satu-satunya orang yang bisa ia percayai untuk berbagi perasaannya yang membingungkan. Begitu melihat Aya duduk di bangku taman, Alesha merasakan beban di dadanya sedikit terangkat.
“Aya!” panggilnya, berusaha menunjukkan senyum meskipun ada rasa cemas di dalamnya.
Aya menoleh, dan ekspresinya langsung berubah menjadi penuh rasa ingin tahu. “Alesha! Ada apa? Kamu terlihat serius.”
Alesha duduk di samping Aya, mengatur napas. “Aku... ada yang ingin kubicarakan. Ini tentang Rey.”
Aya mengangkat alisnya, tampak terkejut. “Rey? Yang kamu kenal dari perjodohan itu?”
“Iya,” jawab Alesha, suaranya sedikit bergetar. “Aku sudah bertemu dengannya, dan aku merasa bingung tentang perasaanku.”
Aya menatap Alesha dengan serius. “Kamu sudah berbicara dengannya? Apa yang kamu rasakan?”
Alesha menggigit bibirnya, mencari kata-kata yang tepat. “Dia baik, Aya. Dia mengerti banyak tentang agama dan berusaha menjelaskan masa lalunya. Tapi... aku masih merasa ragu. Bagaimana aku bisa mencintai seseorang yang bahkan belum aku kenal dengan baik?”
Aya mengangguk, memahami keraguan sahabatnya. “Itu wajar. Kita tidak bisa memaksakan cinta, Alesha. Tapi kamu juga harus memberi diri sendiri kesempatan. Apa yang membuatmu merasa ragu?”
Alesha memandang ke arah danau kecil di taman, merenung. “Aku takut mengikuti jejak masa lalu yang kelam. Dan aku tidak ingin membuat keputusan yang bisa merugikan diriku sendiri.”
Aya mendekat, menempatkan tangannya di atas tangan Alesha. “Dengar, kamu tidak sendirian dalam hal ini. Cinta itu butuh waktu. Dan kamu juga harus ingat bahwa semua ini adalah bagian dari rencana Allah. Jika ini yang terbaik untukmu, Allah pasti akan memudahkan jalannya.”
Alesha merasa lega mendengar kata-kata sahabatnya. “Aku tahu, tapi aku ingin memastikan bahwa aku siap. Bagaimana jika aku tidak bisa mencintainya?”
“Cinta itu tidak selalu datang dengan cepat. Kadang-kadang, kita harus memulai dengan saling mengenal dan memahami. Cobalah untuk tidak terburu-buru,” saran Aya. “Dan jika kamu merasa dia bukan orang yang tepat, itu juga tidak masalah. Yang penting, kamu sudah berusaha.”
Alesha tersenyum, merasakan dukungan dari sahabatnya. “Terima kasih, Aya. Aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkan.”
Mereka melanjutkan percakapan, saling berbagi tentang impian dan ketakutan mereka. Alesha merasa beban di hatinya semakin ringan. Aya selalu bisa membuatnya merasa lebih baik, dan hari itu, di bawah sinar matahari yang hangat, Alesha mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, dia bisa memberikan kesempatan pada Rey.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments