Hari-hari berlalu setelah pembicaraan tegang antara Alesha dan orang tuanya. Alesha merasa terjebak dalam pusaran emosi, antara harapan dan ketidakpastian. Dia sering menghabiskan waktu di kamarnya, merenungi keputusan yang diambil orang tuanya. Perasaannya campur aduk, dan setiap kali memikirkan Rey, hatinya dipenuhi keraguan.
Suatu malam, setelah sekian lama berdiam diri, Alesha memutuskan untuk keluar sejenak. Ia berjalan menyusuri taman belakang rumah, tempat di mana ia sering bermain saat kecil. Di sana, aroma bunga melati yang mekar menambah suasana nostalgia, mengingatkan pada masa-masa bahagia yang tak terganggu oleh masalah.
“Alesha!” Suara Talia memanggil dari belakang. Alesha menoleh dan melihat ibunya berjalan mendekat, wajahnya tampak lembut meski ada kecemasan di mata Talia.
“Ma,” jawab Alesha, berusaha tersenyum.
“Bagaimana perasaanmu? Sudahkah kamu memikirkan tentang Rey?” Talia bertanya pelan.
Alesha menggigit bibirnya. “Aku... aku tidak tahu, Ma. Semua ini terasa terlalu cepat. Bagaimana aku bisa mencintai seseorang yang bahkan tidak aku kenal?”
Talia menghela napas. “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Alesha. Kami percaya bahwa Rey bisa membantumu menemukan jalan kembali. Dia orang yang baik, dan dia berusaha untuk berubah.”
“Dia mungkin baik, tapi dia juga punya masa lalu yang menyakitkan. Apa yang bisa dia ajarkan padaku?” Alesha mengungkapkan kekhawatirannya.
“Cinta dan pengertian tidak selalu datang dari pengalaman yang sempurna, Nak. Kadang-kadang, kita harus memberi kesempatan pada orang lain, dan pada diri kita sendiri,” jawab Talia, menyentuh bahu Alesha.
Alesha menatap ibunya, merasakan kasih sayang yang tulus. Namun, benaknya dipenuhi dengan keraguan. “Tapi, Ma, aku ingin hidup dengan pilihanku sendiri. Aku tidak ingin merasa terpaksa.”
Talia mengangguk, memahami. “Aku mengerti, Alesha. Kami tidak ingin memaksamu, tapi ingatlah bahwa keputusan ini bisa menjadi titik balik dalam hidupmu.”
Alesha menunduk, berusaha menahan air mata. “Aku akan mencoba berpikir lebih jauh, Ma. Tapi aku butuh waktu.”
Talia memeluk Alesha erat, memberikan dukungan yang dibutuhkan. “Kami akan selalu ada di sisimu, Nak.”
Di ruang tamu yang nyaman dengan nuansa warna-warna lembut, Alesha duduk di sofa sambil mengatur napas. Di sampingnya, Talia dan Waiz duduk dengan tenang, siap menyambut tamu yang dijodohkan untuk Alesha. Ruangan itu penuh dengan ketenangan dan kesabaran menunggu kedatangan calon suami.
Pintu rumah terbuka dan Rey, pria yang dijodohkan, memasuki ruangan dengan sikap hormat. Meskipun berpakaian formal, wajahnya menunjukkan sedikit keraguan, mencerminkan masa lalunya yang penuh tantangan. Rey diikuti oleh orang tuanya, yang juga membawa aura ketenangan.
Rey tersenyum dan menunduk. “Assalamu’alaikum, Bapak, Ibu. Terima kasih telah menerima kedatangan kami.”
Waiz tersenyum dan membalas. “Wa’alaikumsalam, Gus Rey. Selamat datang. Silakan duduk.”
Rey: mendekat dan duduk dengan hati-hati.
Talia menyajikan teh hangat kepada Rey.
“Ini teh hangat. Semoga kalian menikmatinya.”
“Terima kasih, Ibu.” Rey meminumnya dengan sopan.
Suasana terasa agak tegang, namun Rey berusaha untuk mencairkan suasana dengan berbicara lebih banyak.
“Pak Waiz, saya merasa terhormat bisa bertemu dengan keluarga Bapak. Saya bekerja sebagai pengajar di pesantren milik Abi saya dan selalu berusaha untuk memperdalam ilmu agama saya.” Ujar Rey membuka pembicaraan.
Waiz mengangguk. “Kami menghargai itu, Rey. Kami tahu bahwa kamu memiliki latar belakang yang baik dalam agama. Namun, kami juga mendengar tentang pengalaman kamu sebelumnya. Apakah kamu ingin berbagi tentang hal itu?” tanya Waiz, sebelumnya ia menatap kedua orang tua Rey terlebih dahulu kemudian setelah dipersilahkan ia menanyakan tentang masa lalu Rey.
Rey menatap dengan serius “Tentu, Pak. Saya pernah menikah sebelumnya, dan sayangnya, pernikahan tersebut tidak berlanjut seperti yang kami harapkan. Banyak pelajaran berharga yang saya ambil dari pengalaman itu, dan saya telah berusaha untuk memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan-kesalahan tersebut.”
Talia dengan perhatian menatap putra temannya itu.
“Kami memahami bahwa setiap orang memiliki perjalanan hidup masing-masing. Bagaimana Rey melihat pengalaman tersebut berpengaruh pada rencana masa depan?”
Rey menunduk dengan penuh penyesalan.
“Pengalaman tersebut telah mengajarkan saya banyak hal tentang pentingnya komunikasi, pengertian, dan kesabaran dalam sebuah hubungan. Saya berkomitmen untuk menerapkan semua pelajaran tersebut dalam hubungan yang akan datang, termasuk dalam rumah tangga ini.”
Alesha meremas kedua tangannya sedikit cemas. “Apakah kamu merasa sudah siap untuk memulai lembaran baru?”
Rey menatap Alesha dengan lembut.”Saya percaya bahwa dengan persiapan dan doa yang baik, serta dukungan dari keluarga, kita bisa menghadapi tantangan bersama. Saya ingin membangun hubungan yang sehat dan penuh kasih, dan saya berusaha untuk siap menghadapi segala kemungkinan.”
Waiz menarik sudut bibirnya. “Itu adalah pandangan yang matang. Kami menghargai keterbukaan Rey mengenai hal ini. Kami percaya bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Saya salut dengan putra kamu Arka.” Ujar Waiz.
“Semoga pertemuan ini bisa menjadi awal yang baik untuk semua pihak. Kami berharap agar hubungan ini bisa berjalan dengan penuh pengertian dan kasih sayang.” Sahut Kyai Abdullah yang sejak tadi hanya membiarkan putranya menjawab pertanyaan-pertanyaan keluarga calonnya.
Percakapan terus berlanjut dengan lebih banyak diskusi mengenai harapan dan impian masing-masing. Meskipun awalnya terasa canggung, suasana mulai menghangat seiring dengan saling berbagi pandangan dan pengalaman.
Ketika pertemuan itu berakhir, Rey dan orang tuanya berpamitan dengan rasa hormat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
N Wage
kalau dibaca2 sptnya rey ini guru agama Islam.
seharusnya dia sholat istikharah dulu,bukannya langsung emosi dan ambil keputusan dalam keadaan emosi krn permintaan istrinya safira dan bu ira.
2023-07-09
1