Gus Rey, dengan sorotan matanya yang tajam dan postur tegas, memasuki ruang kelas utama di pesantren Al Hikmah. Sebagai putra tertua Kyai Abdullah, ia dikenal sebagai pengajar yang disiplin, tidak hanya dalam ilmu agama, tetapi juga dalam etika dan tanggung jawab. Aura wibawa yang dimilikinya membuat para santri selalu menghormati dan segan setiap kali ia memulai pengajaran.
“Baik, sebelum kita mulai,” suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan, “kita akan meluruskan niat. Apa tujuan kalian belajar di sini?” tanyanya dengan tegas, menatap para santri yang duduk berbaris rapi.
Salah satu santri berani menjawab, “Untuk mencari ilmu dan mendekatkan diri kepada Allah, Gus.”
Gus Rey mengangguk, senang dengan jawaban tersebut. “Benar. Tapi ingat, ilmu yang kalian pelajari tidak akan ada artinya tanpa akhlak yang baik. Maka, pelajari bukan hanya apa yang ada di buku, tapi juga apa yang ada di hati kalian.”
Suasana hening sejenak, penuh perhatian. Para santri tampak lebih fokus, mengetahui bahwa Gus Rey tidak pernah main-main dalam mengajarkan nilai-nilai yang ia anggap fundamental.
Selama mengajar, Gus Rey tidak hanya menekankan hafalan dan pengetahuan, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai disiplin yang ketat. "Kalian boleh menjadi ahli dalam kitab, tapi jika kalian tidak disiplin dan tidak punya rasa tanggung jawab, itu sia-sia. Ingat, Allah mencintai orang yang sungguh-sungguh dalam setiap urusannya.”
Beberapa santri yang biasanya agak malas-malasan terlihat lebih serius di bawah pengawasan Gus Rey. Ia tidak segan memberikan teguran kepada mereka yang melanggar aturan, namun selalu dengan tujuan untuk mendidik, bukan untuk menghukum.
Dalam pengajarannya, Gus Rey sering membawa contoh-contoh nyata dari kehidupan sehari-hari, mengaitkan pelajaran agama dengan realitas yang dihadapi para santri. “Dunia di luar sana penuh tantangan,” katanya. “Jika kalian tidak memiliki fondasi iman yang kuat, kalian akan mudah goyah. Kalian di sini untuk membangun fondasi itu.”
Pada akhir setiap sesi, Gus Rey selalu memberikan kesempatan untuk bertanya, mendorong para santri agar tidak hanya menjadi pendengar pasif. “Jika kalian punya pertanyaan, jangan ragu. Menuntut ilmu adalah hak setiap insan, dan tidak ada yang salah dalam bertanya.”
Ketegasan Gus Rey, meskipun terkadang dianggap keras oleh beberapa santri, justru menjadi teladan bagi banyak lainnya. Santri-santri yang dekat dengannya tahu bahwa di balik sikap tegas itu, Gus Rey memiliki hati yang peduli dan keinginan besar untuk membentuk generasi yang tangguh dalam ilmu dan akhlak.
Setelah kelas selesai, beberapa santri mendekat untuk berbicara lebih lanjut dengan Gus Rey. Ia melayani setiap pertanyaan dengan sabar, menunjukkan bahwa meskipun tegas, ia selalu terbuka untuk membantu dan membimbing. Inilah yang membuatnya dihormati tidak hanya sebagai seorang guru, tetapi juga sebagai sosok panutan di pesantren.
Berbeda dengan Gus Rey yang tegas namun terbuka, Gus Shaka, adik keduanya, memiliki sifat yang jauh lebih dingin dan pendiam. Meski usianya masih muda, 25 tahun, Gus Shaka dikenal sebagai sosok yang serius dan cenderung tertutup. Aura ketenangan yang dia bawa sering membuat orang lain merasa sulit mendekatinya.
Gus Rey selesai mengajar langsung pulang ke rumah. Ia masih tidak bisa meninggalkan Alesha sendirian di rumah. karena memang istrinya itu belum terbiasa dengan lingkungan pesantren.
*****
Saat Gus Shaka memasuki pesantren, tidak ada satu santri pun yang berani melonggarkan sikap mereka. Dengan postur tubuh yang tegap dan wajah tanpa ekspresi, Shaka lebih jarang berbicara kecuali jika benar-benar diperlukan. Metode pengajarannya sangat berbeda dengan Gus Rey; dia lebih banyak memfokuskan pada penguasaan materi secara mendalam dan lebih mengutamakan hafalan serta penalaran kritis dalam memahami kitab-kitab.
Di dalam kelas, Gus Shaka sering menghabiskan waktu untuk merenung sebelum menjawab pertanyaan santri, membuat suasana kelas terasa tegang. Meskipun demikian, santri-santri yang diajarnya menghormatinya, karena mereka tahu bahwa di balik sikap dinginnya, Shaka memiliki pemahaman yang sangat mendalam tentang agama.
“Tidak semua hal bisa dijawab dengan cepat. Berpikir sebelum bertindak adalah salah satu adab yang harus kalian biasakan,” katanya suatu hari di tengah pelajaran tafsir. Suaranya datar, namun penuh makna.
Santri-santri sering menganggap Gus Shaka sebagai figur yang sulit didekati. Dia jarang terlibat dalam obrolan santai seperti Gus Rey, dan lebih sering terlihat sendirian di perpustakaan atau di masjid saat waktu senggang. Ketika santri lain mencoba bertanya lebih lanjut tentang materi yang rumit, Shaka menjawab dengan singkat dan langsung pada intinya, tanpa banyak basa-basi.
Kehadirannya yang penuh wibawa dan cenderung dingin ini membuatnya tampak tak tergoyahkan oleh suasana sekitar. Ia bukan tipe yang mudah berinteraksi secara personal dengan para santri, bahkan dengan rekan-rekannya di pesantren. Jika Gus Rey adalah sosok yang mendidik dengan pendekatan hati dan kedisiplinan, Gus Shaka lebih dikenal sebagai pengajar yang fokus pada aturan dan kedalaman ilmu tanpa banyak melibatkan emosi.
Namun, meskipun sifatnya dingin, Shaka tetap menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan. Bagi mereka yang mengenalnya lebih dalam, Shaka adalah sosok yang memiliki hati yang tulus, hanya saja tidak mudah untuk melihatnya.
Saat berinteraksi dengan keluarganya, Gus Shaka juga menunjukkan sikap yang sama. Ia lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, dan bahkan dengan keluarganya, ia cenderung menjaga jarak emosional. Namun, meskipun sikapnya dingin, keluarganya tahu bahwa Shaka adalah sosok yang sangat bertanggung jawab dan setia terhadap nilai-nilai pesantren.
Bagi Alesha, istri Gus Rey, Shaka selalu bersikap hormat dan menjaga jarak. Dan ketika Alesha mencoba memperkenalkan sahabatnya, Aya Khairunnisa, kepadanya, sikap dingin Shaka sempat membuat suasana menjadi canggung. Shaka tidak menunjukkan ketertarikan yang jelas, membuat Aya merasa terintimidasi pada pertemuan pertama mereka.
Di pesantren, Shaka seringkali menjadi simbol ketenangan yang tak tergoyahkan, meskipun dinginnya kadang menciptakan jarak dengan orang-orang di sekitarnya.
Ning Syakira, adik bungsu Gus Rey dan Gus Shaka, memiliki sifat yang sangat berbeda dari kedua kakaknya. Berusia 21 tahun, Syakira dikenal sebagai gadis yang lemah lembut, penyabar, dan penuh perhatian. Dalam lingkungan pesantren, ia adalah sosok yang dihormati dan disayangi oleh para santri, terutama karena pembawaannya yang ramah dan selalu tersenyum. Berbeda dengan Gus Shaka yang dingin dan Gus Rey yang tegas, Syakira hadir dengan kelembutan yang menenangkan.
Setiap kali mengajar, Syakira selalu melibatkan pendekatan hati dan empati, membuat para santri perempuan merasa nyaman berada di dekatnya. Ia tidak pernah berbicara dengan nada keras dan selalu memastikan bahwa setiap santrinya merasa didengar dan dimengerti. Ketika ada santri yang melakukan kesalahan, alih-alih memberikan teguran keras, Syakira lebih memilih untuk menasihati dengan bijaksana dan memberikan kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki diri.
“Aku percaya, kalian bisa lebih baik. Setiap kesalahan adalah pelajaran, dan kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki diri di hadapan Allah,” ujarnya suatu hari saat mendapati seorang santri yang kurang disiplin.
Di luar pengajarannya, Syakira juga sering membantu di dapur pesantren atau mengorganisir kegiatan sosial. Ia pandai membina hubungan baik dengan semua orang, termasuk keluarga besar pesantren dan masyarakat sekitar. Ketulusan hatinya terlihat dalam segala hal yang ia lakukan, membuat semua orang yang berinteraksi dengannya merasa dihargai.
Sebagai calon istri Ustadz Rayyan, Syakira merasa sedikit canggung, terutama karena dia belum sepenuhnya siap menjalani kehidupan pernikahan. Meskipun Ustadz Rayyan adalah sosok yang dihormati dan Syakira menghargainya, ia masih merasa terjebak antara tanggung jawab sebagai Ning dan impian masa mudanya yang belum sepenuhnya tercapai.
Namun, Syakira selalu menyikapi segala hal dengan sabar. Ketika orang tuanya membicarakan pernikahannya dengan Ustadz Rayyan, ia hanya tersenyum lembut dan mengangguk meski ada kekhawatiran di hatinya. Sikap patuh dan rasa hormat terhadap keluarganya selalu menjadi prioritas bagi Syakira, meskipun terkadang ia mengorbankan perasaannya sendiri.
Kelembutan Ning Syakira sering kali menjadi penyeimbang di dalam keluarga mereka. Ketika Gus Shaka dan Gus Rey sibuk dengan tanggung jawab mereka masing-masing, Syakira adalah yang selalu memastikan bahwa semua orang di keluarga tetap terhubung satu sama lain. Ia sering berusaha mencairkan suasana ketika kedua kakaknya berdebat atau ketika ada ketegangan di pesantren.
Walaupun banyak yang memujinya karena kelembutan dan kesabarannya, Syakira kadang merasa sendirian dalam menghadapi segala tuntutan yang ada. Namun, ia tetap menjalani perannya dengan penuh keikhlasan, percaya bahwa setiap hal yang dilakukannya adalah bentuk ibadah dan tanggung jawab yang harus dijalani dengan hati yang lapang.
Ustadz Rayyan adalah salah satu pengajar terkemuka di pesantren Al Hikmah, tempat keluarga Gus Rey dan Gus Shaka juga memiliki peran penting. Sebagai seorang guru muda yang berusia 24 tahun, Ustadz Rayyan dikenal karena sikapnya yang tegas, berwibawa, dan disiplin. Meskipun usianya relatif muda, ia telah mendapatkan kepercayaan dari Kyai Abdullah, ayah Gus Rey dan Gus Shaka, untuk membantu mengelola kegiatan akademik dan keagamaan di pesantren tersebut.
Salah satu keistimewaan Ustadz Rayyan adalah kemampuannya menyampaikan pelajaran dengan sangat jelas dan mendalam. Dalam setiap kelas yang dia ajarkan, baik itu tentang tafsir Al-Qur'an, hadis, atau fiqh, santri-santri selalu terpukau dengan pengetahuan luasnya. Selain pengajaran, ia juga sering menjadi rujukan para santri untuk meminta nasihat tentang kehidupan sehari-hari, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan spiritual dan moral.
Meskipun tegas, Ustadz Rayyan memiliki hati yang lembut dan penuh kasih sayang terhadap para santri. Ia tidak pernah menunjukkan kekerasan dalam mendidik, namun pendekatannya yang penuh disiplin membuat para santri menghormatinya tanpa perlu ditegur keras. Dalam kesehariannya, ia juga sering terlibat dalam kegiatan sosial di pesantren, memastikan bahwa para santri merasa terlayani dengan baik.
Hubungannya dengan Syakira, putri Kyai Abdullah dan calon istrinya, juga menjadi perhatian di lingkungan pesantren. Meskipun pernikahan mereka sudah direncanakan, Ustadz Rayyan menghormati Syakira dan keluarganya dengan menjaga jarak dan menunggu waktu yang tepat untuk mempererat hubungan. Sebagai calon suami, Rayyan ingin membimbing Syakira dengan lembut dan membangun rumah tangga yang kokoh berdasarkan nilai-nilai agama.
Di mata keluarga Kyai Abdullah, Ustadz Rayyan adalah pilihan yang tepat untuk Syakira. Ia dikenal sebagai sosok yang penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Kyai Abdullah percaya bahwa Rayyan, dengan sifatnya yang bijaksana dan dedikasi terhadap agama, akan menjadi pasangan yang sempurna bagi Syakira, yang juga dikenal karena kelembutannya.
bersambung........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments