Sepulang dari pesantren, Bara menghela napas berat sepanjang perjalanan. Hatinya diliputi kekecewaan yang mendalam. Ia tak pernah menyangka putrinya, Aya, gadis yang selalu ia banggakan karena bakatnya sebagai desainer, ternyata memilih jalan yang jauh dari harapan. Kabar bahwa Aya ketahuan berpacaran menghancurkan keyakinannya, terlebih setelah mendengar langsung dari Gus Shaka, orang yang ia percayai untuk membimbing Aya dalam agama.
Sesampainya di rumah, Bara berjalan pelan menuju ruang tamu. Pandangannya kosong, pikirannya masih terganggu oleh pertemuannya dengan Gus Shaka. Istrinya, Sinta, yang sedang duduk sambil memeriksa berkas-berkas pekerjaan, melihat suaminya masuk dengan wajah muram.
“Ada apa, Pak?” tanya Sinta penuh perhatian. “Kenapa wajahmu tampak sangat kecewa?”
Bara terdiam sejenak, lalu duduk di sofa. “Aku baru saja bertemu Gus Shaka di pesantren. Dia bilang, Aya ketahuan berpacaran.”
Sinta terdiam, matanya membesar mendengar berita itu. “Berpacaran? Aya?” Suaranya hampir tak percaya. “Bukankah selama ini dia bilang tidak tertarik dengan hubungan seperti itu?”
“Begitulah yang kita pikirkan,” jawab Bara dengan nada lelah. “Tapi ternyata, selama ini dia menyembunyikan sesuatu dari kita. Gus Shaka sudah mencoba menasihatinya, tapi Aya tidak mendengarkan. Bahkan Gus Shaka merasa gagal dan ingin mengundurkan diri sebagai gurunya.”
Sinta menundukkan kepala, mencoba mencerna informasi tersebut. Hatinya terasa sakit membayangkan putrinya melanggar aturan yang sudah lama mereka tanamkan. Aya selalu dikenal sebagai gadis yang penuh kebebasan, namun mereka tak pernah menduga kebebasannya akan melampaui batas-batas yang mereka anggap penting.
“Kita sudah memberikan kepercayaan padanya,” lanjut Bara, “memberinya kebebasan untuk menjalani kariernya sebagai desainer. Tapi sekarang, kita harus sadar bahwa mungkin kebebasan itu terlalu jauh. Dia perlu bimbingan, dan kita tak bisa lagi mengabaikan hal ini.”
Sinta mengangguk pelan, menyadari bahwa situasi ini lebih serius dari yang mereka duga. “Kita harus bicara dengan Aya. Tapi, aku khawatir bagaimana reaksinya.”
Bara menarik napas panjang, lalu berkata dengan tegas, “Kita harus bicara dengannya malam ini. Sudah saatnya dia memahami bahwa ada konsekuensi dari setiap pilihan yang dia buat. Sebagai orang tua, kita tak boleh membiarkan dia terus berjalan di jalur yang salah.”
Dengan tekad yang semakin kuat, Bara tahu bahwa perbincangan dengan Aya nanti mungkin tidak akan mudah. Namun, sebagai ayah, dia merasa berkewajiban untuk membawa putrinya kembali ke jalan yang benar, meskipun itu berarti harus mengambil langkah tegas yang mungkin tidak disukai Aya.
******
Suatu sore di rumah pesantren, Umi Annisa memanggil Alesha untuk duduk bersamanya di ruang tamu yang tenang. Di luar, udara sejuk mengalir membawa kesejukan pesantren, namun suasana di dalam rumah terasa hangat dengan kebersamaan mereka.
“Alesha,” Umi memulai dengan lembut, “Pernikahan Syakira semakin dekat. Aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu yang sangat penting.”
Alesha menatap mertuanya dengan penuh perhatian. Ia selalu merasa nyaman berada di dekat Umi Annisa, yang terkenal bijaksana dan penyayang. “Tentu, Umi. Apa yang bisa saya bantu?”
Umi tersenyum lembut. “Aku ingin kamu yang merancang gaun pengantin Islami untuk Syakira. Pernikahan ini akan berlangsung dalam tradisi pesantren, dan aku tahu kamu sangat berbakat dalam merancang busana yang sesuai dengan nilai-nilai kita.”
Alesha merasa terharu mendengar kepercayaan yang diberikan Umi padanya. Ia memang sudah sering mendesain pakaian untuk butik, tetapi merancang gaun pengantin untuk Syakira, adik iparnya, merupakan sebuah kehormatan dan tanggung jawab besar.
“Saya sangat tersanjung, Umi,” kata Alesha. “Tentu saja saya akan dengan senang hati merancang gaun itu. Apa Umi memiliki permintaan khusus untuk desainnya?”
Umi Annisa mengangguk pelan, matanya bersinar penuh harapan. “Aku ingin gaun itu mencerminkan kesederhanaan dan keanggunan yang selaras dengan nilai-nilai pesantren. Gaun yang tertutup, namun tetap indah, sehingga Syakira bisa merasa istimewa pada hari pernikahannya. Sesuatu yang tidak terlalu mencolok, tetapi tetap anggun di mata tamu dan keluarga.”
Alesha tersenyum, membayangkan bagaimana gaun itu akan terlihat. “Saya akan pastikan gaunnya sesuai dengan harapan Umi. Sesuatu yang nyaman dan anggun, tapi tetap syar'i.”
Umi memegang tangan Alesha dengan lembut. “Aku tahu Syakira sangat mempercayaimu, Alesha. Dan aku yakin, dengan tanganmu yang berbakat, kamu bisa memberikan yang terbaik untuk hari istimewanya.”
Alesha mengangguk dengan mantap. “Insya Allah, Umi. Saya akan mulai mendiskusikan dengan Syakira apa yang ia inginkan, dan saya akan memastikan semuanya siap tepat waktu.”
Dengan semangat baru, Alesha pun bersiap untuk menjalankan tugas istimewa ini. Baginya, ini bukan hanya tentang mendesain gaun, tetapi juga tentang memberikan cinta dan dukungan kepada keluarganya dalam momen penting Syakira.
Di sebuah ruang yang sejuk di pesantren Al Hikmah, Kyai Abdullah duduk di kursi kayu besar yang biasa dipakai untuk menerima tamu. Di hadapannya, Ustadz Rayyan, calon menantunya, duduk dengan tenang. Suasana di antara mereka terasa penuh rasa hormat, seperti biasanya ketika dua sosok yang dihormati bertemu.
Kyai Abdullah memulai percakapan dengan nada yang penuh kehangatan, “Rayyan, sebentar lagi pernikahanmu dengan Syakira tiba. Aku ingin bicara sedikit tentang rencana setelah kalian menikah.”
Ustadz Rayyan, yang selalu tenang dan patuh, menunduk sedikit sebagai tanda hormat. “Tentu, Kyai. Silakan.”
Kyai Abdullah tersenyum kecil, sorot matanya penuh kebapakan. “Kamu tahu, setelah menikah, aku berharap kalian tetap tinggal di pesantren. Tempat ini tidak hanya menjadi bagian dari tradisi keluarga, tapi juga pusat pendidikan agama yang membutuhkan orang-orang seperti kamu.”
Rayyan mendengarkan dengan seksama. Meskipun ia sudah menduga hal ini, mendengarnya langsung dari Kyai Abdullah membuat semuanya lebih jelas. Ia tidak punya keberatan, karena baginya, melanjutkan tugas di pesantren bersama Syakira adalah bagian dari panggilan hidupnya.
“Aku sudah menyiapkan rumah kecil untuk kalian di dekat sini,” lanjut Kyai Abdullah. “Sederhana, tapi cukup nyaman untuk kalian memulai kehidupan baru. Dekat dengan pesantren, agar kalian bisa lebih mudah menjalani aktivitas dan ibadah di sini.”
Rayyan tersenyum sopan. “Terima kasih banyak, Kyai. Saya merasa terhormat dan berterima kasih atas kepercayaan ini. Kami berdua, Insya Allah, akan menjalani tugas dengan sebaik-baiknya.”
Kyai Abdullah mengangguk pelan. “Aku percaya padamu, Rayyan. Kamu telah menunjukkan dedikasi dan kepemimpinan yang baik. Tinggal di pesantren akan membantu kalian berdua membangun fondasi yang kuat, bukan hanya untuk keluarga kalian, tapi juga untuk pesantren ini.”
Rayyan menjawab dengan penuh rasa hormat, “Saya akan berusaha keras menjaga amanah ini, Kyai. Dan saya juga yakin, dengan dukungan dari Syakira, kami bisa menjalankan tanggung jawab ini dengan baik.”
Kyai Abdullah tersenyum lega, “Aku yakin kalian berdua akan menjadi pasangan yang kuat, saling mendukung dalam menjalankan dakwah. Tetaplah sederhana dan rendah hati, Rayyan. Itu yang paling penting.”
Rayyan mengangguk, merasa semakin mantap dengan keputusan ini. Ia tahu, hidup di pesantren bersama Syakira adalah perjalanan yang penuh berkah, dan ia siap menjalani peran barunya sebagai suami sekaligus ustadz yang diandalkan pesantren.
bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments