18 | The Past 2

...July 16, 2080...

...Jakarta, Indonesia...

.........

Pria itu tidak menyadari kalau dua anak di belakangnya telah menghilang.

Mereka berdua mengendap-endap keluar ruangan melewati lorong panjang dengan pintu-pintu besar dan tinggi. Di setiap pintu terdapat satu penjaga bertubuh tegap dengan pakaian serba putih dan menggunakan helmet kaca transparan.

"Ayo, jangan lambat!"

Seorang anak laki-laki menarik tangan anak perempuan sebayanya dengan tergesa.

"Kita mau kemana?"

"Bersembunyi dari Dr. Sam. Kita harus pergi darinya."

"Tapi, kenapa? Aku baru saja mendapat pengobatan. Prosedurnya belum selesai."

"Dr. Sam sudah melakukannya?"

"Iya. Dan kenapa kita harus pergi?"

Anak laki-laki itu tidak menjawab.

"Aku tidak akan pergi jika kau tidak bisa memberikan alasan yang masuk akal," ujar si anak perempuan itu dengan kedua tangan menyilang di depan dada.

"Untuk ukuran anak perempuan berusia 7 tahun, kau terlalu rewel," balas anak laki-laki itu dengan nada ketus. "Ini semua demi keselamatan kita. Kau harus dengar kata-kataku."

"Jangan mentang-mentang usiamu empat tahun lebih tua dariku, kau bisa menyuruhku seenaknya."

"Ini bukan waktunya berdebat, Freya. Kita harus pergi dari sini! Sekarang atau tidak sama sekali."

Anak laki-laki itu menarik tangan Freya yang lunglai dan rapuh. Dia membawa Freya kecil ke sebuah ruangan terbuka tanpa penjaga dan menutup pintunya dari dalam.

"Sekarang kau bisa melompat lewat jendela," titah anak laki-laki itu.

"Bagaimana dengan yang lainnya? Kita tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja."

"Aku akan cari cara untuk membebaskan mereka setelah kita keluar dari sini."

Meski sedikit ragu, akhirnya Freya kecil mengangguk patuh. Dia berlari dan membuka daun jendela dengan cepat. Sementara anak laki-laki di sebelahnya mengawasi dari belakang.

Freya kecil berdiri di bibir jendela, menatap keluar dengan sedikit bimbang. "Ini lebih tinggi dari yang aku bayangkan," gumamnya saat melihat tempat pendaratannya yang jauh di bawah sana; sekitar dua meter dari tempatnya berdiri.

Saat hendak melompat, tahu-tahu saja suara sirine berbunyi nyaring dan sontak membuat anak laki-laki itu lebih panik dari sebelumnya. "Cepat lompat!" teriaknya.

"Tidak perlu meneriakiku!"

Freya melompat keluar tanpa aba-aba. Ia berhasil mendarat di atas tanah yang lembab dan licin sisa hujan semalam.

Belum sempat menyusul, tiba-tiba saja anak laki-laki itu mendengar suara langkah-langkah kaki yang bergegas berlarian di koridor.

"Freya, lari!" teriak anak laki-laki itu ketika pintu berhasil didobrak dan masuklah beberapa penjaga. "Pergi, Freya! Cepat lari!"

"Tapi, kau..."

"Kubilang lari, Freya!" perintah anak laki-laki itu saat para penjaga berhasil menangkapnya secara paksa.

"GARA!"

"LARI!!"

"Gara..."

"Freya!"

Hal pertama yang dia rasakan adalah pening. Kepalanya berdenyut nyeri, matanya terasa berat dan seluruh tubuhnya seperti kaku. Freya melihat beberapa siluet manusia yang tengah mengelilinginya. Di antara siluet-siluet itu, Freya tidak dapat menemukan sosok yang ia cari. Hingga dengan suara yang masih serak dan pelan, ia menyebutkan satu nama yang begitu menggaung di dalam tempurung kepalanya. "Gara... Di mana Gara?"

"Freya, tenang," sahut salah satu suara yang dikenalnya sebagai Nam Kyu.

Freya melirik sosok di sampingnya, yang menggenggam tangannya begitu erat dan hangat; seakan-akan begitu takut kehilangannya. Ia menatap sepasang mata zamrud itu, menelaahnya dalam-dalam. "Josh..." gumamnya, nyaris tanpa suara. Tapi bukan dia yang Freya inginkan.

Dadanya bergemuruh begitu hebat. Entah perasaan macam apa yang tengah melandanya saat ini. Yang jelas, Freya hanya ingin memastikan kalau Gara baik-baik saja.

"Sagara Danuja. Dia ada di mana?" tanya Freya sekali lagi.

Orang-orang di sekelilingnya tampak lega, sekaligus cemas di waktu yang bersamaan.

"Tadi Gara bilang kalau dia pergi sebentar. Tapi aku tidak tahu dia kema―"

"Freya!"

Di luar dugaan, sosok yang dinanti-nantikan pun hadir tanpa basa-basi. Kalimat Genta bahkan harus terputus tepat ketika Gara berlari dengan napas terengah dan segera menghambur memeluk Freya yang juga tengah menunggunya.

Freya dapat merasakan kedua bola matanya memanas, jantungnya begitu cepat memompa, juga sebuah tanda tanya besar di dalam kepalanya yang perlahan membuatnya sadar betapa hangat dan nyamannya berada dalam pelukan Sagara Danuja. Mendengar detak jantungnya, merasakan dada bidang itu naik dan turun seirama dengan nafasnya yang memburu. Dan ketika Freya mendongkak, ia menemukan kedamaian dalam wajah malaikat itu; seakan kematian begitu dekat dengannya―atau justru ia baru saja lepas dari maut.

"Kau baik-baik saja?" tanya Freya setelah Gara melepaskan pelukannya.

"Kau bisa melihatnya sendiri. Kau yang tidak baik-baik saja," balas Gara dengan suara dingin khasnya.

Freya menatap Gara sangat lama, mencoba memahami tiap garis di wajahnya, mencoba mencari jawaban atas teka-teki yang selama ini membentuknya menjadi pribadi yang misterius. Dan Freya gagal di percobaan pertama. Ia tak yakin apakah serpihan kenangan di dalam kepalanya hanya mimpi semata, atau justru merupakan kepingan puzzle yang akan mengantarkannya pada sebuah kenyataan.

"Gara, apakah kita saling mengenal di kehidupan sebelumnya?"

Mendengar pertanyaan itu, Gara tidak memberikan ekspresi apapun selain diam dan menoleh pada lelaki di sebelahnya; yang tak lain adalah Joshua Miller. Satu-satunya orang di tempat ini yang terlihat sangat cemas pada Freya selain dirinya.

Berdiri dengan gerakan tenang, Gara akhirnya membuang pandangan ke sembarang arah dan berjalan meninggalkan Freya bersama segala teka-tekinya.

"Gara!" panggil Freya, kesal karena pemuda itu sangat mudah memunggungi orang lain.

Tanpa menoleh, Gara berkata untuk semua orang, "Aku sudah dapat perahu karet lagi. Kita bisa pergi dari tempat ini saat matahari terbit. Tapi sebelum itu, kita tunggu Benz dan yang lainnya datang."

Dan ia pun melenggang pergi.

Tanpa pamit.

...*...

Dua hal yang dibenci Eartha adalah Genta dan bau busuk babi hutan. Tapi kali ini, kebenciannya bertambah satu. Yaitu; mendayung.

"Tanganku mau putus, Benz," keluh Eartha dengan wajah masam dan kedua mata menyipit akibat cahaya matahari yang berpendar begitu terik.

Di depannya, Benz dan Matt melirik dengan wajah keki. "Apakah hanya kau saja yang merasa demikian, Nona O Kanda?" balas Benz sarkastis.

"Kenapa orang dewasa suka mengeluh?" Matt bersuara dengan nada penuh cemooh, seolah ia akan menjadi remaja selamanya. "Kita akan tiba setengah jam lagi. Bisakah kau lebih berusaha, Earth?"

Eartha berdecak. Ia kadang tak suka dengan gaya slengean anak laki-laki itu. Matt selalu menganggap orang dewasa adalah titik kejenuhan, masa di mana manusia tidak lagi memiliki empati dan simpati, fase di mana manusia hanya mementingkan apa yang ada dalam otaknya saja, mengesampingkan etika dan menciptakan berbagai drama. Eartha tahu betul seperti apa isi kepala Matthew Smith.

"Aku tak suka anak ini, Benz."

Matt tertawa mendengar pernyataan itu. "Oh, haha, kedengarannya menarik."

...*...

Menahan tubuhnya dengan bersandar di anak tangga, kini Freya bisa merasakan persendiannya mulai berfungsi. Ada hangat di kepalanya yang terluka, seperti denyut-denyut kecil dan gigitan semut rang-rang. Setelah merasa cukup baik, Freya sedang belajar untuk mengontrol tubuhnya agar tetap bisa digunakan sebagaimana mestinya. Ia berjalan menuju sebuah jendela besar tanpa daun dan dipenuhi oleh sarang laba-laba di setiap sudutnya.

Semua orang tengah bersiap untuk melanjutkan perjalanan, menunggu Eartha dan yang lainnya datang, serta menguatkan diri masing-masing untuk segala marabahaya yang akan mereka hadapi di depan nanti.

Freya menatap langit yang lebih cerah, lebih biru, dan lebih segar daripada hari kemarin. Ia mencintai suara burung pipit di pagi hari, kepakan sayap burung gereja di antara pohon-pohon yang hampir tumbang, dan hembusan karbondioksida yang keluar dari sistem pernapasannya sendiri.

"Are you feel better?"

Suara Josh memecah lamunannya. Freya spontan menoleh, menemukan pemuda itu tengah berdiri sembari memegang sebuah apel merah dan menyodorkannya disertai seulas senyum tipis. "Aku tahu kau merindukan ini," katanya.

Freya menerima apel itu tanpa kalimat apapun dan menggingitnya sambil memandangi Josh yang tampak canggung.

"Aku―"

"Nam bilang padaku kalau kau yang mendonorkan darah untukku," potong Freya setelah selesai dengan gigitan keduanya. "Terima kasih. Tapi tidak seharusnya kau melakukan itu" imbuhnya, telah berhenti mengunyah dan lebih tertarik untuk melihat perubahan ekspresi di wajah sempurna itu.

"Aku hanya melakukan apa yang aku bisa."

"Yep, hutangmu lunas."

Josh menggeleng kecil. "Bukan hanya itu. Sebenarnya aku.. a-ku sangat mencemaskanmu." Suaranya sedikit terbata. Josh mendekat, menipiskan jarak dan mati-matian menahan diri agar tidak menarik Freya ke dalam pelukannya.

"Aku baik-baik saja. Aku tidak ingin selamat dengan mengorbankan orang lain. Jangan lakukan hal itu lagi," balas Freya dingin.

Sesaat kemudian, ia melangkah dari tempatnya, memperlebar jarak, memutus dialog yang semula akan menjadi awal yang baik bagi Josh. Rupanya yang terjadi adalah sebaliknya.

"Thanks untuk apelnya," ujar Freya sebelum akhirnya benar-benar pergi dengan langkah perlahan dan penuh kehati-hatian. Ia meninggalkan Josh berdiri di sana, menikmati kerinduannya sendirian, atau―bersama segala kebimbangannya.

Resmi meninggalkan pemuda itu, tanpa disangka Freya berpapasan dengan Puja yang semula hendak menemui Josh. Tapi ketika ia melihat ada Freya di sana, Puja urung. Ia hanya memerhatikan dari kejauhan dan menunggu percakapan itu selesai.

Freya yang menyadari keberadaan Puja sejak tadi pun memilih untuk segera pergi, tak ingin membuat kepalanya semakin nyeri jika berhadapan dengan dua orang itu.

Saat tubuh mereka bersimpangan, Puja menahan bahu Freya dan berkata, "Kuharap kau cepat pulih. Aku tidak ingin melawan seseorang yang lemah."

Kalimat itu sama sekali tidak mampu membuat Freya terguncang. Bahkan dalam keadaan sekacau ini pun, Freya yakin bisa mengalahkan gadis menyebalkan itu. Jadi, alih-alih membalas ucapan itu, Freya memilih untuk segera menyingkirkan tangan Puja dari bahunya dan kembali melenggang pergi tanpa memberikan sepatah kata pun.

...*...

"Setahuku, secara umum, iklim di Asia Tenggara khususnya di Indonesia dipengaruhi oleh tiga jenis iklim, yaitu iklim muson, iklim tropis, dan iklim laut. Iklim muson sendiri dipengaruhi angin musim yang berubah-ubah setiap periode waktu tertentu, satu periode perubahan adalah 6 bulan. Sedangkan iklim tropis terjadi karena Indonesia berada di daerah tropis, suhu tinggi mengakibatkan penguapan tinggi dan berpotensi terjadinya hujan. Dan terakhir, iklim laut terjadi karena Indonesia memiliki wilayah laut luas, sehingga banyak penguapan dan mengakibatkan hujan."

Lelah mendengar Benz berceramah sepanjang jalan, Eartha menguap dan meletakkan dayung di atas pahanya. Ia melirik Matt yang sama bosannya dengan perjalanan ini tapi tak berbuat apa-apa selain terus melakukan tugasnya.

Benz asik dengan dialognya mengenai kealaman. Ia bahkan bicara sukarela tanpa mengharapkan jawaban dari kedua rekannya. "Nah, tiga jenis iklim di Indonesia tersebut berdampak pada tingginya atau besarnya curah hujan. Curah hujan antarwilayah di Indonesia harusnya bervariasi, tetapi perkiraanku curah hujan di Indonesia lebih dari 2.500 milimeter per tahun. Dan kondisi curah hujan tinggi dan penyinaran matahari yang cukup membuat Indonesia sangat cocok untuk kegiatan pertanian, sehingga dulu negara ini juga dikenal dengan sebutan "Zamrud Khatulistiwa" karena memiliki banyak pulau yang hijau."

Eartha menatap jengah pada pemuda Philiphines itu. "Benz, sekali lagi kau bicara soal iklim, aku akan memasukan moncong kameramu itu ke dalam mulutmu. Paham?"

"Benar. Kurasa aku mulai membenci pelajaran Geografi," imbuh Matt tanpa melihat objek pembicaraannya.

"Tunggu, aku belum selesai. Jadi, di Indonesia―"

"Astaga!"

"Uffftt..."

...*...

Gara kembali memasukan alat-alatnya ke dalam ransel setelah mengeringkannya dengan kain. Ia memandangi sebuah botol kecil dan alat suntik yang isinya sudah kosong. Beberapa cairan di dalam kantung plastik PVC miliknya juga sudah tidak ada yang tersisa. Ketika ia hendak mencari kantung lain di dalam ranselnya, tiba-tiba saja ada sepasang kaki yang berdiri di depannya.

Spontan, Gara mendongkak. Matanya menemukan wajah pias dengan perban mengelilingi kepala dan sebuah tatapan penuh tanda tanya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku," ujar Freya saat Gara berdiri dan menghadapinya dengan wajah dingin―yang sialnya terlihat sangat sensual dan classy.

"Berhenti bersikap bodoh dengan mengorbankan nyawamu untuk orang lain. Tidak ada yang lebih penting daripada keselamatanmu sendiri." Gara memberikan tatapan yang begitu dalam, seperti sedang menghunus lawan bicaranya, seakan-akan yang di depannya saat ini bukanlah seorang perempuan yang pernah ia peluk dengan begitu erat.

Freya mengernyit. "Begitukah caramu berterima kasih?"

"Aku tidak pernah memintamu untuk menyelamatkanku."

"Kepalaku yang terluka, tapi sekarang kau yang tak punya akal sehat." Freya tertawa getir. Ia tak mengerti mengapa manusia di hadapannya ini sangat rumit. "Menurutmu, apakah aku tipikal orang bodoh yang akan membiarkan hal buruk terjadi begitu saja di depan mataku?"

"Aku tidak akan terluka," balasnya cepat.

"Oh, ya, seharusnya aku membiarkan kayu itu membentur kepalamu hingga kau hanyut dan hilang bersama banjir bandang."

"Aku serius, aku tidak akan terluka."

Bingung, Freya tidak tahu lelucon macam apa yang sedang dibuat Gara.

"Maksudmu, tidak ada sesuatu yang bisa melukai tubuhmu yang sangat kuat itu, begitu? Oh, apakah hanya aku yang tidak tahu kalau kau kebal terhadap semua hal?" Sarkas, Freya tahu kalau kalimatnya terlalu berani untuk ukuran manusia yang baru sadar dari koma. Tapi akal sehatnya tak pernah menang dalam perdebatan macam apapun.

Gara menghela napas, lalu berkata, "Aku tidak peduli dengan apapun yang kau pikirkan mengenai itu. Aku hanya tidak ingin selamat dengan mengorbankan orang lain. Jangan lakukan hal itu lagi."

Freya tahu kalimat itu.

Apakah Gara mendengarkan percakapannya dengan Josh? Apakah dia ada di sana?

Mengabaikan hal itu, Freya hanya mampu membalas, "You're welcome, Danuja."

[...]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!