...July 16, 2080...
...Jakarta, Indonesia...
.........
Nam menggantungkan kantung darah pada tiang, menyentuh dahi Freya; memastikan suhunya stabil, lalu melihat laki-laki yang terbaring di sampingnya; pucat dan penuh kekhawatiran.
"Ambil darahku sebanyak yang dia butuhkan," ucap laki-laki itu.
Saat ini, mereka semua tengah berada di lantai dua sebuah bangunan bekas Gereja. Genta yang memberikan ide untuk menyusun kursi-kursi menjadi sebuah tempat berbaring. Ia juga menyuruh Nam untuk menggantungkan kantung darah pada pengait jubah Pendeta yang ada di sisi tembok, lalu memulai proses transfusi darah itu dengan segera.
"Dia hanya butuh satu kantung, tak perlu berlebihan," balas Nam, menatap sepasang mata hijau yang lebih gelap dari permata zamrud.
Genta berdiri di samping laki-laki itu, memandanginya sejenak, lalu berkata, "Freya memiliki takdir yang bagus sehingga kita dipertemukan untuk menyelamatkannya."
"Jika kau berpikir bahwa aku menyelamatkannya, kau salah. Freya yang sudah lebih dulu menyelamatkanku. Jadi, ini adalah bayaran atas hutangku."
Genta hanya mendesah kecil, melirik Gara yang berdiri kaku di samping Freya, lalu kembali mendalami wajah laki-laki asing di hadapannya―yang ia harap bisa mendapatkan banyak informasi dari ekspresi cemasnya saat ini. "Omong-omong, siapa namamu?"
"Josh. Joshua Miller," balas si empunya.
Saat itu, hal yang pertama kali Genta lakukan adalah membulatkan kedua bola matanya lebar-lebar. Ia mengerutkan kening selama beberapa saat, lalu berkata, "Lalu, perempuan itu?" Genta menggerakkan dagunya ke arah barat, pada perempuan yang berdiri memunggungi mereka di kusen jendela.
"Puja Gupta."
"Wow!" Genta spontan berdecak. Entah ekspresi apa yang ia buat saat ini. Ada terkejut, bingung, dan juga takjub. "Kau pernah dengar nama itu sebelumnya, Ga?"
Cepat, Gara menoleh. Ia menaikkan sebelah alisnya, menatap tajam pada Genta dan Josh secara bergantian seperti seorang penyidik.
"Kau tak ingat poster Bollywood yang sering kita lihat di depan base camp? Astaga, nama aktrisnya itu Puja Gupta Nandhini, Ga! Haduh, kau ini pelupa."
Mendengar itu, Gara hanya memutarkan bola matanya malas. Genta selalu saja melontarkan kalimat-kalimat tidak penting yang selalu membuang energinya.
"Kau lihat, dia yang paling tidak asik itu adalah Sagara Danuja. Aku Gentala Dierja, dan dokter cantik ini namanya Nam Kyu," jelas Genta pada Josh yang hanya menatap Gara dengan sudut matanya. "Dari mana asal--"
"Waktu perkenalan habis," potong Gara. "Sebaiknya kau siapkan tempat untuk beristirahat. Malam sudah larut. Jangan lupa tanyakan keadaan Benz dan yang lainnya. Pastikan mereka baik-baik saja."
...*...
Tepat pukul dua belas malam, portofon milik Benz berbunyi; memecah hening yang semula mencekamnya, membuat Matt yang tengah meringkuk di atas ranjang reyot tiba-tiba menggeliat dan berpindah posisi.
"Hallo, how are you, Guys? Everything alright? Kalian di mana?"
Suara Genta mengisi ruangan bertembok merah muda yang kini menjadi tempat peristirahatan sementara untuk mereka. Eartha yang sebelumnya tengah duduk menatap langit di ujung balkon, akhirnya menoleh, menemukan Benz yang sedang mengirimkan pesan suara melalui portofonnya.
"Kami baik-baik saja. Sekarang kami bertiga bermalam di sebuah rumah loteng, sekitar satu kilometer dari bus. Bagaimana keadaan Freya? Apakah kalian sudah mendapatkan tanamannya?"
Piip!
Selang dua menit, Benz sudah mendapatkan balasan dari seberang sana. Kali ini Benz memilih untuk menghampiri Eartha agar suaranya tidak mengganggu Matt yang tengah tertidur.
"Kami tidak menemukan tanaman itu. Sebagai gantinya, kami bertemu dengan dua orang lain."
"Tunggu, are you sure? Siapa mereka?"
Piip!
"Mereka temannya Freya. Salah satu dari mereka memiliki golongan darah yang sama dengan Freya. Sekarang gadis jutek itu sedang ditangani oleh Nam."
"Syukurlah. Tunggu kami besok pagi. Eartha sudah merindukanmu."
Piip!
"Apa kau bilang?!" Si pemilik nama membelalak, kesal karena kejahilan Benz.
Melihat itu, Benz hanya menyeringai lebar, lalu membenamkan portofonnya di saku celana.
Benz akhirnya memilih bergabung bersama Eartha untuk memandangi hamparan banjir yang memenuhi kota. Malam kian gelap, seakan air dan langit tak memiliki pembatas, seakan keduanya memang berada dalam satu garis semu.
"Aku tak pandai memulai percakapan," ucap Benz tiba-tiba sembari menarik kamera yang selalu menggantung di lehernya.
Bersama hembusan angin malam yang kejam, Eartha menoleh, menemukan sepasang mata terang yang dibingkai oleh sepasang alis indah. Tak tahan menatap lelaki itu lebih lama lagi, Eartha mengalihkan pandangan ke arah sembarang. "Aku tidak sedang memikirkan apapun, jika itu yang ingin kau tanyakan."
"Bohong. Sejak kapan kau pandai melakonkan drama? Seingatku, Eartha O Kanda tak pernah bertingkah seperempuan ini."
Balasan Benz membuat Eartha mendengus geli. "Menurutmu, aku tak pantas bertingkah seperti perempuan pada normalnya, begitu?"
Benz mengangguk. "Ya. Kau terlalu keren untuk bersikap kekanak-kanakkan, manja, sentimentil, penuh drama, dan..."
"Dan apa?"
"Dan menyembunyikan sesuatu dariku."
Dibanding Matt dan Genta, mungkin Benz memang tidak sedekat itu dengan Eartha. Meski begitu, Benz tahu betul seperti apa sebenarnya Eartha O Kanda yang ia kenal. Dia tidak akan melakukan apa yang saat ini dia lakukan; melamun di balkon, menolak untuk tidur lebih dulu, dan berpaling ketika beradu tatap.
"Apa yang tidak aku ketahui?" tanya Benz lagi. Sekarang ia yakin kalau Eartha tengah menyembunyikan sesuatu darinya. Mulut boleh saja pandai berdusta, tapi mata memang tidak bisa berbohong. "Apakah kau masih menganggapku teman?" imbuhnya.
Tapi Eartha masih diam seribu bahasa. Ia tampak bingung, sekaligus cemas di waktu yang bersamaan.
"Selain tentang teori-teori alam, kenapa tidak ada orang yang mau berbagi pikirannya denganku? Apakah aku--"
"Gara," potong Eartha, lalu menatap Benz tepat di irisnya yang melebar. "Gara yang menyembunyikan sesuatu dari kita."
Benz mengernyit. "Maksudmu?"
Yakin sekali, jika Genta ada di sini, dia pasti tidak akan membiarkan Eartha memberitahu Benz mengenai kecurigaan mereka terhadap Sagara Danuja. Genta pasti akan melarangnya untuk membagi tuduhan-tuduhan ini. Genta pasti tak suka jika Eartha membeberkan hal-hal yang membuat teman setanah airnya itu terdakwa.
Tapi, di sini tidak ada Genta. Dan Eartha memilih untuk menceritakan hal tersebut pada Benz, dimulai dari buku jurnal sampul merah yang dilihat Matt. Lalu berlanjut pada segala kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa Gara lakukan pada mereka di kemudian hari. Eartha juga berpendapat bahwa bencana yang mereka hadapi saat ini tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang direncanakan Gara.
Sejujurnya, Eartha juga tidak berhak menuding Gara atas tuduhan-tuduhan tidak mendasar yang ia pikirkan. Tapi jika melihat dari tingkah Gara yang selalu misterius, Eartha yakin kalau mereka semua berada dalam permainan laki-laki itu.
"Mungkin saja dia memang bisa memprediksi masa depan, lalu dia menuliskannya di jurnal untuk membuktikan apa yang ia lihat secara supranatural." Itulah pendapat pertama yang Benz lontarkan setelah mengetahui keresahan Eartha belakangan ini.
Dan, tentu saja Eartha tidak setuju dengan pendapat itu. "Lalu apa arti dari kode-kode yang ia tulis?"
"Bisa saja itu bahasa pemprograman yang ia pelajari untuk mengetahui karakter-karakter kita, sehingga ketika dia bertemu dengan kita, dia bisa memperlakukan kita sesuai dengan seharusnya."
"Kenapa kau sangat berpikiran positif?"
"Kenapa kalian sangat berpikiran negatif?" Benz justru membalikkan pertanyaan. Seperti yang sudah-sudah, tiba-tiba saja Benz mengangkat kameranya, lalu memotret Eartha yang tengah membelalakkan mata dan membuka separuh mulutnya.
"Berhenti memotretku!"
"Aku hanya ingin mengabadikan momen, Earth. Jarang-jarang melihatmu sedekat ini tanpa gangguan Genta," balas Benz dengan seringai pebar dan kedipan mata jahilnya.
Eartha mendengus keras karenanya. "Back to the topic. Kenapa kau berpikiran positif tentang hal itu?"
"Ada tiga orang yang berpikiran negatif tentangnya, dan hanya ada satu orang yang berpikiran positif. Tidakkah kau merasa kalau itu tidak cukup adil untuk Gara?" Benz mengembalikan kameranya seperti semula, lalu menyentuh pundak Eartha pelan-pelan. "Jangan overthinking, itu akan membuatmu bertambah kurus," imbuhnya kemudian.
Eartha menatap tangan Benz yang berada di pundaknya, ada hangat di sana. "Tapi sepertinya Matt sangat mencurigai Gara."
"Dia hanya anak kecil. Dia belum berhak memikirkan hal yang berat. Kau tahu, dia hanya mencari perhatian."
"Kau lupa? Matt anak yang cerdas. Dia juga tidak mungkin melakukan hal itu untuk mencari perhatian saja. Matt bukan anak yang seperti itu."
Benz tersenyum, ia memegang pagar balkon dan sedikit menunduk untuk menatap permukaan air di bawahnya. Ia kemudian menatap langit, merasakan angin yang menampari wajahnya tanpa henti. "Sudah larut, sebaiknya kau pergi tidur. Aku jaga pertama."
"Kita belum selesai bicara, Benz!"
"Aku sudah selesai." Benz menatapnya sekilas, kemudian menarik kameranya dan memandangi layar yang menampilkan sebuah potret kebahagiaan. "Kau lihat ini?" Tunjuknya pada layar yang kini diarahkan pada Eartha untuk melihat hasil jepretannya beberapa bulan yang lalu.
Dalam foto itu, Eartha melihat potret dirinya yang sedang menyiapkan makanan, lalu ada Genta di sampingnya yang tengah mencari obeng di rak, Gara yang sibuk membongkar mesin ketik bersama Matt yang asik memerhatikannya.
"Aku tidak ingin menghancurkan pertemanan kita dengan tuduhan-tuduhan kita terhadap Gara. Sejauh ini, dia baik kepada kita semua. Dan meskipun dia sangat otoriter, dia adalah pemimpin yang cerdas. Dia tahu semua yang terbaik untuk kita. Maka dari itu, berhentilah berpikiran yang tidak-tidak tentangnya," jelas Benz dengan suara yang lebih hangat dari sebelumnya.
"Seandainya dia memang berniat jahat pada kita, apakah kita harus diam saja?" Eartha masih tidak rela kalau dirinya harus biasa saja setelah mengetahui fakta tentang jurnal aneh milik Gara. Jikapun ia harus mengubur pikiran-pikiran buruknya, ia akan lebih dulu memastikan isi jurnal itu untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Curiga, boleh. Tapi jangan sampai kecurigaanmu membuat Gara tak memiliki hak untuk tidak bersalah di matamu."
Lagi, kesekian kalinya, Eartha memandangi Benz seakan tak ingin menurutinya.
Meski begitu, Eartha akhirnya mengalah. "Aku akan pergi tidur. Kau jaga lebih dulu."
"Omong-omong, aku sudah berkata seperti itu sejak satu jam yang lalu."
"Jangan berisik, aku lelah. Aku harus mimpi indah malam ini."
"As you want, Eartha."
...*...
Tidak ada kokokkan ayam, tidak ada suara alarm yang berdering, tidak ada juga teriakan "CEPAT BANGUN!" yang menggema di seluruh ruangan.
Mereka tidak pernah mengalami pagi yang seindah itu.
Pagi yang mereka dapatkan selalu penuh oleh ketiba-tibaan, oleh segala hal ketegangan yang mengharuskan mereka untuk tetap terjaga setiap saat.
Pukul empat, semua orang sudah terbangun, kecuali Freya yang masih tak sadarkan diri meskipun keadaannya semakin membaik.
"Butuh waktu berapa lama agar ia sadar?" Gara menyambut Nam yang baru saja keluar dari pintu kamar mandi setelah berganti pakaian. Gadis itu duduk di samping Freya yang masih memejamkan mata dan bersikap seolah pertanyaan Gara barusan adalah suara burung yang bersiul terlalu nyaring untuk waktu sepagi ini.
Nam masih diam saja. Ia tak yakin dengan dugaannya sendiri, sehingga memberikan spekulasi kepada Gara membuatnya tak nyaman. "Otak manusia sangat kompleks dan rumit. Aku tidak bisa menebak-nebak, kita tunggu saja," balas Nam akhirnya.
"Jaga dia. Aku akan segera kembali." Gara beranjak dan menyampirkan tas di punggungnya. Ia menatap Freya sejenak, lalu berjalan meninggalkankan mereka semua.
Melihat itu, Genta berteriak, "Hei, kau mau kemana?"
"Pastikan kalian tetap di sini selama aku pergi. Jika terjadi apa-apa, kau adalah orang yang akan kumintai pertanggung jawaban," sahut Gara yang sudah berada di tangga.
Menghela napas panjang, Genta hanya membalasnya dengan gumaman, "Kebiasaan."
Gara sudah benar-benar lenyap dari pandangan. Menyisakan orang-orang kelelahan yang tidak tahu harus berbuat apa di waktu sepagi ini selain menatap seorang gadis yang masih terbaring lemas.
"Apakah ada yang tahu apa menu sarapan kita pagi ini?" Celetuk Genta saat mendapati rekan-rekannya hanya bengong dengan wajah kantuk.
Nam mengedikkan bahu, Puja hanya diam saja karena ia memang tidak memiliki perbekalan apapun. Sementara itu, Josh membongkar ranselnya dan berharap tangannya bisa menemukan sesuatu untuk mengisi perut mereka semua.
"Bukankah ini terlalu awal untuk sarapan?" Nam menyandarkan tubuhnya di tembok, tepat di sebelah kiri Freya yang masih memejamkan mata.
"Apakah ada aturan kapan kita harus sarapan?" Genta tidak terima kalau urusan perutnya harus diatur-atur. "Kau lupa kalau dari kemarin kita sudah melewati berbagai macam bencana? Apa kau sama sekali tidak merasa lapar?"
"Aku sudah tidak bisa membedakan rasa apapun sejak Bumi ini hancur." Jawaban Nam membuat semua orang memberikan atensi padanya. Ia sendiri menatap langit-langit ruangan yang sangat tinggi dan berkabut.
Puja menaikkan ujung bibirnya, seperti melecehkan kalimat menyedihkan yang baru saja ia dengar. "Dasar cengeng," gumamnya, disambut tatapan tak nyaman dari Nam Kyu yang sejujurnya belum berkenalan dengannya secara resmi.
"Dapat! Aku punya beberapa roti kering dan―"
"Gara..."
"Freya!"
[...]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments