06 | The Prince of Evil

...July 14, 2080...

...Jakarta, Indonesia...

.........

Lampu yang ada di bangunan itu merupakan satu-satunya penerangan di kota ini. Bagai seekor kunang-kunang di tengah sabana yang gulita. Tak ada yang lebih menyenangkan dari melihat cahaya setelah bertahun-tahun hidup dalam kegelapan Bumi.

Meski takjup, Freya tidak ingin terlihat kampungan. Ia tetap menegakkan tubuhnya, menaikkan sedikit dagunya dan berjalan mengikuti kedua pemuda itu dengan langkah tegas. Matanya mengamati sekitar. Ia menemukan tiga manusia asing di hadapannya yang menatap dengan penuh penasaran. Satu di antaranya adalah seorang anak laki-laki, usianya kira-kira di bawah lima belas tahun. Kedua pipinya merah jambu, matanya biru dan tubuhnya sedikit gempal. Sisanya adalah dua orang yang tadi membuka pintu gerbang.

"Hai, rakyatku! Lihat makhluk apa yang kubawa!" seru Genta sembari melirik Freya dengan tatapan jenaka, tapi Freya benci itu.

Bangunan yang ia masuki adalah sebuah gedung tua dengan arsitektur klasik. Model seperti ini pernah berjaya pada tahun 2020-an. Dalamnya tak begitu luas, tapi cukup untuk menampung setidaknya sepuluh orang dewasa. Gedung itu tampak lebih utuh dari bangunan lain, meski komposisinya sedikit rusak, Freya cukup yakin kalau isinya aman untuk dihuni.

"Finally, your dream come true," sahut anak laki-laki itu, yang kemudian disambut dengan high five oleh Genta.

Setelah mendalami gedung itu, Freya melihat lampu-lampu yang redup dan berwarna kekuningan. Lantainya banyak yang retak, sepertinya itu dari pergerakan Bumi yang membuat tanah bergeser. Meski begitu, bagian atapnya masih aman, tidak ada yang runtuh dan cukup untuk melindungi mereka dari hujan.

"Omong-omong, namanya Freya. Dia seperti ranjau. Kalian harus berhati-hati," kata Genta lagi.

Dengan mulut bungkam, Freya masih mengamati tiga orang yang berdiri di hadapannya. Satu pemuda berwajah Asia; kulitnya kuning langsat, tingginya mungkin sama seperti Gara dan Josh, tapi matanya sedikit lebih terang dari yang ia duga. Di sampingnya adalah seorang perempuan berkulit gelap, rambutnya pendek di atas bahu. Ia memiliki mata hitam pekat, bibir tipis dan tingginya hampir sama dengan Freya.

"Freya, ini adalah Benz, Eartha, dan Matt," jelas Genta seperti tour guide yang sedang memperkenalkan barang-barang antik di museum.

Pemuda di hadapannya menyahut, "Aku dari Manila. Eartha dari Johannesburg, dan Matt dari New York."

Mendengar itu, Freya menaikkan kedua alisnya. Itu adalah reaksi yang menunjukkan sebuah keterkejutan. Ia lalu berkata, "Aku juga dari New York."

Melakukan ekspresi yang sama, Matt membalas, "Benarkah?" Matanya yang biru dan jernih itu penuh binar. Pipinya semakin mengembang dengan bibir yang melengkung ke atas. "Kalau begitu, kau tahu Joseph Smith?"

Freya mengerutkan dahi, tak yakin apakah Joseph Smith yang ada diingatannya adalah orang yang sama atau bukan. Tapi, ia tetap mengangguk. "Ya. Menteri Kelautan."

"Aku Matthew Smith, cucu bungsunya."

Awalnya, Freya tak percaya. Tapi, melihat mata biru dan bentuk wajahnya, ia akhirnya sadar bahwa Matt memiliki kemiripan dengan Joseph—kakeknya. Freya akhirnya berjalan mendekati anak itu dan menepuk kepalanya beberapa kali. Rambut pirangnya bersih dan halus. "Aku pernah melihatmu saat masih bayi. Kau tahu, Mr. Smith sangat dermawan. Kakekmu itu pernah memberikan sumbangan untuk desaku saat kebakaran hebat itu terjadi."

"Oh, itu sebuah kebanggaan. Aku tak ingat seperti apa kakekku, tapi aku yakin kalau kakek adalah orang yang baik."

"Tentu saja. Keluarga Smith sangat terpandang dan disegani banyak orang."

Genta yang menyaksikan itu tampak tak percaya. Ia seperti melihat singa betina yang tiba-tiba berubah menjadi kucing anggora yang menggemaskan. Freya bahkan menyunggingkan sebuah senyuman, meski sangat singkat dan tipis.

Sejujurnya, Genta masih ingin melihat momen hangat seperti itu. Tapi, ia juga tidak bisa membiarkan Freya memberikan kesan yang baik pada Matt—sehingga ia menganggap Freya sebagai gadis yang baik. Sebab, seperti apa yang ia katakan, Freya serupa ranjau; ia bisa meledak kapan saja ia mau. Dan tentunya Genta tak ingin melihat Matt terluka sedikitpun.

"Kalian bisa melanjutkan nostalgianya nanti," potong Genta. "Sekarang lebih baik kau mandi. Baumu bisa membuatku pingsan," imbuhnya sembari tertawa mengejek.

Freya menendang lutut pemuda itu pelan. "Tutup mulutmu!"

Belum sempat Genta melontarkan ejekan lagi, tiba-tiba perempuan bernama Eartha itu menarik tangan Freya dan berkata, "Ikut aku. Simpan dendammu untuk nanti. Aku juga ingin sekali menendang selangkangannya, omong-omong."

Mendengar itu, Genta membalas, "Ingat, sesuatu yang ada di selangkanganku adalah masa depanmu. Jadi, jangan main-main dengannya."

...*...

Api berkobar di tengah ruangan dengan sebagian tembok yang catnya sudah mengelupas. Hawa dingin mulai tidak bisa bersahabat. Josh harus mengenakan jaketnya untuk menghalau angin yang berhembus terlalu kencang. Ia juga memberikan baju hangat untuk Puja dan menyuruhnya untuk membersihkan diri setelah seharian berkeringat.

"Hanya itu yang kau ambil?" tanya Josh saat melihat kantung belanja berisi parfum dan hal-hal tidak penting lainnya tergeletak di atas meja. "Kenapa kau tak mengambil makanan?"

Setelah memasang rol rambutnya, Puja meluruskan kaki ke kursi dan bersandar di tembok. "Untuk apa aku mengambilnya jika kau sudah punya banyak bekal? Lagipula, aku yakin, kau tak akan membiarkanku kelaparan."

Jika Freya mendengarnya, Josh yakin, gadis itu akan segera menembak kaki Puja yang lain dan memaki-makinya.

"Itu egois," balas Josh sembari merebahkan diri di atas lantai yang sebelumnya sudah ia bersihkan. "Jangan membuatku menyesal telah pergi bersamamu."

Cepat, Puja kembali menurunkan kakinya dan duduk tegak menatap pemuda yang tengah berbaring di hadapannya. Tak ada lagi simpati di kedua mata pemuda itu. "Aku pernah memberimu pilihan, dan kau memutuskan untuk pergi bersamaku. Apa itu termasuk kesalahanku?"

Josh melirik. Malam ini harusnya mereka beristirahat dengan tenang, mengumpulkan kembali energi yang seharian sudah terkuras, alih-alih berdebat hingga urat menyembul tapi tak menghasilkan apa-apa. "Ini bukan perihal salah atau benar. Tapi coba sedikit saja kau membuktikan padaku kalau tempat yang kau bicarakan itu memang benar adanya."

"Kau sama seperti Freya. Orang barat selalu setidaksabaran itu, ya?"

"Bisakah kita bicara serius?" Josh bangkit. Ia duduk menghadap gadis itu. "Sejujurnya, aku tidak suka mengasihani seseorang. Maka, jangan salah artikan keputusanku. Aku tidak mengikuti Freya karena aku tahu dia akan menyuruhku pergi denganmu. Kau tahu kenapa? Karena dia yakin, dia mampu berjalan sendirian. Sedangkan kau, sekarang kakimu masih terluka, kau bahkan tidak bisa menghindari singa yang mengejarmu."

"Aku tidak suka dianggap lemah."

"Puja, dengarkan aku. Aku percaya, semua orang baik. Hanya saja, tidak semua orang bisa mengendalikan egonya. Justru terkadang egolah yang mengendalikan mereka. Jangan sampai kau seperti itu."

Puja diam. Kalimat itu terasa menohok dadanya. Ia tidak berani membalas dengan sanggahan apa pun. Karena sebetulnya, Puja takut ditinggalkan. Ia tidak ingin sendirian lagi. Ia butuh teman. Dan untuk mempertahankan Josh, gadis itu memilih untuk tak menjawabnya.

Kemudian, Josh bergerak meninggalkannya sendirian di tengah ruangan. Ia pergi keluar untuk menikmati langit malam. Satu-satunya hal yang tak pernah berubah dari dunia ini adalah indahnya gemintang. Maka, ia memutuskan untuk berdiam diri di luar sembari menyalakan sebatang rokok.

Nikotin selalu berhasil membuat Josh lelap dalam pikirannya. Ia menghisap tembakau itu dengan pelan dan menikmati setiap rasa manisnya dengan mata terpejam.

Tiupan angin menerpa kulit wajahnya. Dingin dan sepi bagai teman setia. Josh tak pernah bosan memandangi langit malam yang bertabur bintang. Betapa pun Bumi ini sudah rusak, bintang tak pernah berhenti bersinar. Bulan separuh di atas sana tampak gemilang. Cuaca cerah membuat semua benda-benda di langit dapat terlihat dengan jelas.

Jika Samuel masih ada, pria itu pasti akan menegurnya dan menyuruhnya untuk cepat beristirahat. Samuel tak mengizinkannya untuk berlama-lama memandangi langit. Karena baginya, melamun sembari menatap angkasa hanya akan membuat seseorang semakin merasa kerdil namun penuh fantasi. Samuel tak suka drama, ia lebih memilih melanjutkan hidup dan menerima semua yang sudah terjadi dengan terus berjuang. Dia tak pernah mengeluh. Satu-satunya hal yang membuatnya lemah adalah melihat Josh murung—seperti apa yang sedang ia lakukan sekarang.

"Laki-laki tak boleh banyak merokok sambil melamun. Kau justru akan semakin lemah karena terlalu memikirkan hal yang sebetulnya tak perlu kau pikirkan," ucap Samuel kala itu. Ketika Josh tengah memikirkan tentang keluarganya dan mengapa mereka pergi tanpa dirinya.

Menyadari betapa Samuel sangat tulus—merawatnya sedari kecil—membuat Josh malu. Ia benar-benar merasa tak berguna ketika melihat tubuh Samuel dicabik-cabik oleh seekor singa.

Harusnya ia tak mengizinkan Samuel berburu sendirian. Harusnya mereka tak boleh berpencar. Harusnya Josh mampu menyelamatkan pria itu, alih-alih berlari dan meninggalkan jazadnya di sana karena Josh kehabisan peluru untuk membunuh singa itu.

Kini, yang tersisa hanya penyesalan; yang setiap detik mencekiknya secara perlahan.

"Aku tak bermaksud membuatmu seperti ini."

Tiba-tiba sebuah suara berhasil mendistraksi lamunannya. Josh mendongkak, menemukan Puja yang sudah berdiri di ambang pintu dan menatapnya nanar.

Josh berdiri, dilihatnya wajah itu dengan sebuah kerut di dahi. Ia tak benar-benar berniat menghakimi Puja dengan ucapannya, hanya saja, ia perlu waktu beberapa saat untuk menyadari bahwa gadis itu memang belum bisa dipercaya sepenuhnya. Josh tahu, Bumi sudah hancur, ia tak bisa semudah itu mempercayai seseorang. "Aku yakin, aku sudah bersikap cukup baik padamu," katanya.

Puja mengangguk kecil. "Ya, tentu saja kau baik."

"Aku hanya tidak ingin sikap baikku berujung sia-sia. Aku minta maaf kalau kalimatku membuatmu tersinggung."

"Tidak perlu meminta maaf, ucapanmu sepenuhnya benar. Karena itulah aku berada di sini sekarang untuk menunjukkan sesuatu padamu." Puja menghampiri Josh dan duduk di pelataran rumah itu. Josh mengikuti hal yang sama. Lalu gadis itu membuka tas kecil yang selalu ia bawa kemana pun, dan mengeluarkan sebuah chip berwarna perak yang memiliki gantungan kunci di ujungnya. "Aku mencari seseorang yang bisa menggunakan ini."

"Apa itu?" tanya Josh benar-benar penasaran.

"Aku belum tahu, seorang pria memberikanku benda ini sebelum dia pergi."

"Kau mengenal pria itu?"

Puja diam sejenak. Entah sedang menimbang apakah ia harus menjawab, atau sedang mengingat-ingat sosok yang disebutkannya itu. Setelah cukup lama, akhirnya ia membalas, "Tidak secara personal. Tapi aku tahu kalau dia sangat berjasa untuk negaraku. Maka dari itu, aku mempercayainya."

Jujur, Josh masih belum mengerti. "Apa yang dia janjikan sampai kau rela melakukan apa pun untuk menemukan orang yang bisa menggunakannya?"

"Tempat yang paling aman."

...*...

Pukul satu pagi.

Freya masih terjaga. Ia duduk di sebuah kursi kayu yang menghadap ke arah jendela. Dilihatnya langit yang begitu cerah dengan gemerlapnya gemintang. Ia usai menuliskan sesuatu pada jurnalnya, memilih untuk diam menikmati malam sampai kantuknya benar-benar tiba.

Kemudian ia melirik ke tengah ruangan. Di sana ia menemukan Genta dan Matt yang tidur di sudut kiri, sementara Eartha tidur di sudut kanannya. Mereka hanya menggunakan kasur lantai sebagai alas. Tidak ada bantal dan selimut. Meski begitu, Freya bisa melihat kalau ketiga orang itu tidur dengan nyaman.

Soal dua pemuda lainnya, terakhir kali Freya melihat Gara pergi keluar untuk berjaga dan menikmati secangkir jahe hangat yang tadi dibuatkan oleh Eartha. Sedangkan Benz, Freya masih belum tahu dia di mana.

"Belum tidur?"

Oh, rupanya pemuda itu ada di belakangnya.

Sedikit terkejut dengan kedatangan pemuda itu, Freya menutup jurnalnya dan mendongkak. Ia menemukan sepasang mata cokelat yang begitu terang, seperti tak ada kelelahan dalam dirinya. "Aku tidak mudah mengantuk," balasnya dingin.

Tanpa meminta izin, Benz duduk di sampingnya. Ia mengenakan kaus putih dan celana kolor dengan motif kotak-kotak. "Kau hanya makan sedikit, itu sebabnya kau tak cepat mengantuk."

Celetukan itu tak membuat Freya ingin menjawabnya. Jadi ia memilih diam dan memperhatikan lelaki di hadapannya itu. Ia memiliki suara bass yang renyah, dengan pengucapan Bahasa Inggris yang bersih. Dia tak memiliki aksen. Itu sebabnya Freya sedikit heran mengapa Benz terdengar seperti orang barat daripada Asia.

Belum sempat membuka percakapan lagi, tiba-tiba Gara muncul dengan membawa cangkir jahenya dan sebatang rokok yang tinggal separuh. Lelaki itu berjalan lenggang, melirik mereka sekilas dengan mata tajamnya, namun tak berkata apa-apa sampai ia benar-benar lenyap di pintu dapur.

Tahu kalau Freya memerhatikan lelaki itu, Benz berkata, "He's the prince of evil."

Dengan alis menukik, Freya beralih menatapnya. "Maksudmu?"

"Sagara Danuja adalah gerbang antara surga dan neraka. Seperti kesatuan antara malaikat dan iblis. Kau tak akan pernah tahu seperti apa sebenarnya dia, karena dia terkadang terasa tak benar-benar nyata. Gara pecinta buku, suka melukis, dan pintar memasak. Tapi dia juga sangat mahir memanah, bisa memperbaiki alat-alat, juga seorang pecandu heroin," jelas Benz yang lebih terdengar seperti sebuah penggambaran dua orang yang berbeda.

Freya tidak berniat untuk membalas penjelasan itu, atau lebih tepatnya, ia tak mampu berkata-kata. Apa pun penjelasan Benz tentang Gara, itu sebenarnya bukan hal yang harus ia pikirkan dalam-dalam. Tidak ada untungnya memikirkan pemuda itu. Tapi ia juga tidak dapat memungkiri kalau Gara telah sedikit mengalihkan fokusnya.

Benz menepuk meja di sebelahnya pelan, membuat Freya sedikit mengejang. "Jangan melamun."

"Aku hanya merasa kalau pendeskripsianmu sedikit rancu," katanya.

"Tidak perlu dipikirkan." Benz mengibaskan sebelah tangannya. "Omong-omong, dari mana kau mendapatkan itu?" tanya Benz sembari mengarahkan dagunya pada seragam RAF yang terlipat di atas ransel—Freya lupa belum memasukannya karena tadi ia mengeluarkan jurnalnya lebih dulu.

Mendengar itu, Freya memasukan seragam dan jurnalnya ke dalam ransel dengan getsur posesif. Ia bahkan melirik Benz dengan tatapan tak suka. "Bukan urusanmu."

"Aku seperti pernah mendengar namanya."

Freya hanya melirik, tak membalas apa pun.

Lalu, Benz kembali berkata, "Daniel S. Pachara. Aku yakin pernah mendengarnya."

"Apa yang kau dengar tentangnya?"

Benz mengedikkan bahunya. "Aku bukan pengingat yang baik."

Keduanya tak tahu kalau Gara sudah berdiri di belakang mereka sejak tadi, sampai akhirnya mereka sadar saat tahu-tahu pemuda itu berkata, "Cepat putuskan siapa yang akan tidur dan berjaga."

Benz menoleh dengan sedikit keterkejutan yang kentara. Ia berdiri, "Aku ikut berjaga."

"Aku belum beradaptasi dengan tempat ini, aku tidak mengantuk," sahut Freya.

Gara menimbang, mana di antara mereka yang sekiranya sanggup untuk berjaga bersamanya. Lalu pilihannya jatuh kepada gadis muda itu. "Ikut aku. Bawa senter dan gunakan jaketmu. Di luar dingin."

Benz membelalak, tak percaya kalau Gara membiarkan seorang gadis ikut berjaga dengannya. "Hei, dia pasti lelah, dia butuh tidur. Kau tidak bisa mengajaknya unt—"

"Kurasa dia tak keberatan."

"Ya, aku ikut berjaga."

[...]

Terpopuler

Comments

Re Faria

Re Faria

makasihhh

2022-06-20

0

Ogeg iraeinn

Ogeg iraeinn

2 kopi
5 bunga
1 vote


done...

2022-06-20

1

Ogeg iraeinn

Ogeg iraeinn

semangat thor...

2022-06-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!