14 | Flash Floods

...July 15, 2020...

...Jakarta, Indonesia...

.........

Pohon di depan mereka roboh, menimpa sebuah rumah yang berada tepat di bawahnya. Membuat rumah itu runtuh dan puing-puing atapnya ikut terbawa oleh angin.

"Kau yakin kalau tempat ini aman?" tanya Puja yang kini memilih duduk di sebelah Josh untuk meminta perlindungan ekstra darinya. Ia memeluk lutut, menatap angin dan hujan yang berkuasa di luar sana, menontonnya seakan itu merupakan pertunjukkan paling menarik petang ini. Dan cahaya senter di hadapannya menjadi satu-satunya penerangan yang mereka miliki.

Josh menatap lurus, kedua bola matanya menyala-nyala dengan alis tegas dan bibirnya yang sedikit menggigil menahan hawa dingin. "Tidak. Tapi ini jauh lebih baik daripada kita mati tersapu angin di luar sana," balasnya datar.

Puja menatap Josh lekat-lekat, menyelami mata hijau gelapnya yang penuh bius. Seperti menemukan kedamaian hakiki di dalam sana, yang begitu indah dan penuh sensualitas. Puja mendekat, membuat Josh balas menatapnya bingung. Dan tanpa berkata apa-apa, Puja menipiskan jarak di antara mereka, ia merangkum wajah Josh dan mempertemukan bibir mereka.

Gerakan tiba-tiba itu membuat Josh terkejut. Ia berusaha mendorong tubuh Puja, tapi gadis itu memaksa untuk terus ******* bibirnya dan melingkarkan kedua tangan di tubuhnya. Puja merasakan otot bisep Josh yang kencang dan kokoh, mencecap bibir pemuda itu dan membuat tubuhnya menghangat hingga ke ubun-ubun.

Ada sensasi seperti sengatan listrik yang mengalir dalam darahnya. Bahkan, rasa panas di perut bagian bawahnya membuat Puja tidak mampu membuka mata. Ia terpejam selama beberapa detik, menikmati betapa kenyal dan manisnya bibir pemuda itu.

Josh akhirnya menyingkirkan Puja secara paksa, mendorongnya kuat-kuat dengan cara yang kasar hingga gadis itu tersentak di lantai dan punggungnya sedikit membentur tembok.

"Argh! Josh!" pekik Puja sembari mengelus punggungnya yang agak sakit. Ia menatap pemuda itu seakan tak percaya kalau dirinya diperlakukan demikian buruknya. "Apa yang kau lakukan!?"

"Harusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan?!"

"Aku hanya menciummu!"

"Untuk apa?"

Seketika, Puja terdiam. Ia tidak memiliki alasan khusus untuk melakukan hal itu. Satu-satunya hal yang membuatnya seberani itu semata-mata hanya untuk membuat Josh lebih dekat dengannya. Tapi ternyata perbuatan itu amat salah di mata Josh.

Tidak butuh jawaban apa pun dari gadis itu, Josh memilih bangkit. Ia merekatkan jaketnya dan berjalan ke sebelah kiri. Di sana, ia mendengar gemericik air. Rupanya jendela yang ditutupi gorden itu terbuka. Air mulai masuk ke dalam ruangan dan sedikit menggenang. Josh cepat-cepat mencari cara untuk membenarkan gordennya, tapi angin berhembus begitu kencang, membuat gordennya lepas dan jatuh di lantai.

Belum cukup dengan masalah itu, Puja datang ke arahnya dengan wajah panik. "Airnya masuk," ucapnya sembari menunjuk pada aliran air yang masuk melalui celah pintu dan membasahi seluruh ruangan.

Di luar sana, air meluap. Permukaan tanah tertutup oleh genangan air yang berombak tersapu angin. Jalanan tergenang. Pohon-pohon dan reruntuhan bangunan terbawa, hanyut ke arah timur beserta angin yang berputar-putar.

Air meninggi. Kaki mereka tergenang hingga di bawah lutut. Josh bergerak menggendong ranselnya, begitupun dengan Puja yang segera membawa tas kecilnya.

"Apa yang akan kita lakukan?"

Josh berpikir keras. Ia sebenarnya sedikit traumatis dengan banjir bandang. Peristiwa mengerikan ini pernah terjadi sewaktu ia kecil dan menewaskan banyak orang. Ia melihat sendiri bagaimana teman-temannya terbawa oleh air, membentur benda-benda, lalu hanyut menjauh hingga mayatnya tidak pernah ditemukan. Korban mencapai ratusan jiwa, membuat semua orang di kota itu berduka cukup lama.

Mencoba menghalau pikiran-pikiran buruk itu, Josh menarik Puja agar tetap bersamanya. Air terus naik, kedua kaki mereka mulai kesulitan untuk bergerak.

"Kakimu tak apa?" tanya Josh pada Puja yang masih memiliki bekas luka tembak di kakinya.

Gadis itu sedikit pucat. Air membuat lukanya kembali perih, juga berhasil mengoyak perbannya. "Aku kembali merasakannya," ucapnya sembari melihat ke bawah.

Mereka melihat cairan merah yang bercampur dengan air bah di bawah kaki Puja. Lukanya basah.

"Kita harus naik ke atap," ucap Josh mantap. "Kau bisa?"

"Aku tidak tahu, tapi akan aku usahakan."

Josh suka jawaban itu. Ia menarik Puja ke sudut ruangan yang terdapat lemari kayu. "Tunggu sebentar," ucapnya, kemudian menaruh ranselnya di atas lemari.

Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari benda yang cukup kuat untuk menghancurkan langit-langit. Ia menemukan sebuah catokan rambut yang terbuat dari stainlesteel, meski sedikit ragu, Josh meraihnya. Ia naik ke atas lemari dan mencoba melubangi plafon dengan memukulnya menggunakan catokan rambut itu. Karena komposisi plafon sudah rapuh, pekerjaan itu bisa dilakukan Josh dengan baik. Langit-langit mulai rusak, Josh membuat sebuah lubang cukup besar agar tubuhnya bisa masuk ke atas.

Volume air sudah benar-benar tinggi. Puja merapat pada lemari dan berusaha agar tetap berdiri tegak karena air di dalam ruangan sudah mencapai bahunya.

Lubang yang dibuat Josh sudah sempurna. Pertama-tama, ia memindahkan ranselnya ke atap, kemudian ia naik dengan perlahan dan menggeser dua genting di atasnya. Setelah itu, Josh berjongkok. Ia menatap Puja yang sudah terendam oleh air hingga ke lehernya. "Puja, pegang tanganku!" teriaknya.

Puja meronta, mencoba merengkuh tangan Josh dengan sekuat tenaga. Tapi jaraknya terlalu jauh, Puja kesulitan untuk menggapainya.

"Josh!" teriak Puja, sebelum akhirnya seluruh tubuhnya tenggelam oleh air yang berwarna kecokelatan.

Dengan cepat, Josh melompat ke atas lemari. Ia terjun dan turun untuk menyelamatkan Puja, membantunya menaiki lemari, kemudian mendorongnya agar bisa naik ke atap. Susah payah, Puja menggapai lubang plafon dan akhirnya ia tiba dengan selamat di sana. Josh bergerak menyusulnya, sukses mendarat dengan sempurna.

Kini mereka berdua tengah berjongkok di antara plafon dan genting. Keduanya menginjak kayu penyangga agar tidak salah langkah. Josh setengah berdiri untuk melihat keluar melalui lubang yang gentingnya terbuka. Hujan masih deras, langit begitu gelap dan dipenuhi oleh kilatan petir.

Dengan napas terengah, Puja terus menggenggam tangan Josh erat-erat, seakan semua ketegangan ini benar-benar membuatnya ketakutan. "Sampai kapan kita berada di sini?"

"Sampai hujannya cukup reda," balas Josh cepat. Ia mengambil satu buah kantung bening dari saku ranselnya dan menutup celah genting itu agar airnya tidak masuk, tapi mereka masih bisa melihat keadaan di luar.

Josh juga menutup lubang plafon dengan mantel plastik yang ditindihi oleh ranselnya, sehingga air di bawah mereka tidak bisa naik ke atas.

Selesai dengan tugasnya, Josh menduduki rusuk kayu penyangga plafon, lalu menatap Puja yang sudah memandanginya lebih dulu.

Gadis itu menggigil, wajahnya pucat pasi, sambut dan seluruh tubuhnya basah kuyup. Josh bergerak mendekat. Ia melingkarkan tangan di tubuh Puja yang kecil dan tampak rapuh. Lalu, Josh perlahan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Memberikannya kehangatan. Membiarkan Puja bersemayam di dadanya, mendengarkan detak jantungnya, merasakan napasnya yang naik-turun.

"Aku tidak bermaksud kasar padamu," ucap Josh tiba-tiba, sukses membuat kepala Puja sedikit menengadah dan mendapati sepasang mata yang berkilau. "Tapi aku tidak suka kau melakukan itu. Jangan mengulanginya lagi."

Puja tidak menyahut apa-apa. Ia hanya membenamkan kepalanya di dalam pelukan pemuda itu dan semakin memeluknya erat sembari menggigil kedinginan.

"Kita harus kembali pada Freya."

Tunggu,

apa?

Oh, nama itu lagi.

Ya, selalu Freya. Semua adalah tentang Freya. Bahkan ketika Puja berada dalam pelukannya, yang ada di pikiran Josh hanyalah Freya.

Hanya gadis itu, bukan siapa pun.

...*...

"Aku akan turun!"

Semua orang berpikir kalau Gara sudah sinting.

"Apa yang akan kau lakukan?" sahut Genta yang sudah resmi menghentikan mesin mobil karena air mulai menggenang di sepanjang jalan.

Gara tidak membalas. Ia hanya menaikkan resleting jaketnya, mengenakan penutup kepala, kemudian membuka pintu dari belakang. "Kalian tunggu di sini," ucapnya, sesaat sebelum akhirnya ia keluar sembari membawa beberapa tali tambang.

"Dia sudah gila," gumam Eartha, melongok melalui jendela sambil berdiri memunggungi Matt yang tampak enggan berkomentar apa pun.

"Aku akan membantunya," sahut Benz. Lagi-lagi selalu dia yang memiliki keberanian lebih selain Gara. Tanpa banyak pikir, ia segera turun meski tak memiliki tudung di jaketnya.

Sebelum Benz sempat melompat ke jalan yang digenangi air, Eartha beranjak. Ia mengambil sebuah topi baseball yang tergeletak di atas ransel Benz dan menyodorkannya pada Nam. "Berikan ini padanya," ucap Eartha.

Nam mengangguk patuh. Ia segera menyusul Benz dan berdiri di ambang pintu untuk menyerahkan topi. "Pakai ini," ucap Nam.

"Oh, ya, terima kasih." Benz menerima benda itu sembari tersenyum tipis. Nam kembali ke tempatnya. Tapi Eartha tampak memerhatikan dirinya dengan tatapan memergoki.

"I got you," sindir Eartha pelan, tapi Nam tak mengerti apa maksudnya dan memilih untuk tidak membalas apa pun.

Di luar, Gara heran mengapa Benz ikut turun. "Apa yang sedang kau lakukan?" teriak Gara, takut kalau hujan meredam suaranya.

"Aku tidak akan membiarkanmu berjuang sendirian," balas Benz. "Apa yang bisa kubantu?"

Gara memberinya sebuah tali tambang. "Pasang tali ini di ruji roda, lalu ikatkan pada tiang listrik itu. Ikatlah sekuat yang kau bisa."

Benz mengangguk. Ia menerima talinya dan berjalan ke utara untuk mengikat ban depan.

Air mulai meninggi hingga lutut. Gara bergerak ke sisi lain. Tapi kemudian ia melihat Freya turun dan melompat dari tangga mini bus. Ia menggunakan mantel plastik tipis berwarna biru. Ditatapnya Gara dengan intens. Pemuda itu semakin terlihat memikat ketika seluruh tubuhnya basah kuyup. Sosoknya menjadi amat cemerlang di tengah segala kekacauan ini. Tapi Freya tak ingin lelap dalam pikiran sintingnya. Ia menaikkan sebelah alis, seakan meminta jatah tugas pada pemimpinnya.

"Kembali ke dalam," ucap Gara tanpa basa-basi.

"Aku di sini bukan untukmu. Apa yang kulakukan adalah untuk keselamatan kita semua." Freya berharap kalau balasannya mampu membungkam Gara. Tapi ternyata ia salah.

Karena detik berikutnya, Gara kembali berkata, "Jadilah anak penurut, Freya. Kembalilah ke dal--"

"Berikan talinya!" Freya merampas satu buah tali dalam genggaman Gara dan bergerak memutar. Ia berjalan menuju sisi lain untuk mengaitkan ruji roda pada tiang atau pondasi yang lebih kuat. Kedua kakinya terasa berat untuk melangkah dalam genangan air yang mulai menyentuh pusarnya.

Gara pasrah. Gadis itu terlalu keras kepala, dan ia enggan berdebat terlalu panjang di saat-saat genting seperti ini.

Kini Gara memegang dua tali tambang yang akan dikaitkan pada ruji roda belakang. Ia membungkuk perlahan, menelusupkan tangannya ke dalam air dan mencoba memasang tambang pada rujinya. Ia menggunakan tali mati ganda, kemudian menarik-nariknya, memastikan ikatannya cukup kuat. Lalu ia berjalan setengah berenang ke arah selatan, menuju sebuah rumah mewah di sisi jalan yang memiliki tiang penyangga besar dengan diameter lebih dari satu meter. Ia mengikatnya di sana, memutar tali, menggulungnya agar lebih kuat.

"GARA! I'M DONE!" teriak Benz yang sudah berhasil menyelesaikan tugasnya.

Dengan tangan kiri, Gara memberikan kode agar Benz cepat masuk ke dalam mini bus dan menutup pintunya rapat-rapat. Pemuda itu mengangguk samar dan begitu patuh.

Sementara Gara sendiri masih memiliki kewajiban untuk mengaitkan satu tali lagi di roda yang lain. Ia berenang kembali ke arah mini bus. Beberapa benda seperti kaleng-kaleng, papan kayu, kursi, hingga kerangka sepeda motor pun hanyut terbawa arus.

Air sudah mencapai dada orang dewasa. Gara akan menyelam untuk bisa mengaitkan tali di roda belakang lainnya. Di saat yang bersamaan, Freya datang sebagai informasi bahwa ia sudah menunaikan tugasnya dengan baik. Tapi ia masih berdiri di hadapan Gara, tak ingin cepat-cepat masuk ke dalam.

"Masuk!" teriak Gara dengan setengah mata memicing akibat derasnya hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.

Freya menggeleng. "Lakukan saja tugasmu! Aku akan menunggumu di sini."

Gara tidak punya banyak waktu untuk mengomel lagi. Ia segera menyelam dan berusaha mengikat talinya pada ruji roda. Air yang kotor dan dipenuhi sampah-sampah membuat matanya perih saat mencoba melihat di dalam air. Ia mengedip-edip, menguatkan pegangannya pada roda, lalu mengaitkan talinya seperti apa yang ia lakukan sebelumnya. Dalam waktu tiga puluh detik, Gara sudah menyembulkan kepalanya ke permukaan. Ia kini berenang kembali menuju rumah mewah itu untuk mengikatnya di tiang yang lain.

Gara berenenang cukup gesit dan cepat. Ia seperti terlahir untuk melakukan ini. Tapi baru setengah jalan, Freya melihat ada sebatang pohon besar yang hanyut dari barat dan bergerak mendekati Gara.

Pemuda itu tidak menyadarinya.

Semua orang yang ada di dalam mini bus panik dan meneriakkan namanya. Tapi, teriakan itu tentu saja tidak didengar oleh pemiliknya.

Pohon besar itu ikut terbawa arus dan bergerak begitu cepat.

Freya sangat frustasi dan panik setengah mati. Dengan sisa-sisa suaranya yang teredam badai dan hujan, Freya berteriak hingga tenggorokannya terasa perih, "GARAAA!" Ia bahkan tak sadar kalau yang barusan keluar adalah suara falsetonya yang paling tinggi.

Tapi Gara terus berenang, tidak goyah sedikitpun.

"GARA! AWAS!"

[...]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!