...July 15, 2080...
...Jakarta, Indonesia...
.........
"Sekarang, bagaimana?"
Eartha yakin, banjir tak akan surut dalam waktu singkat. Maka sepeninggal Gara, Eartha tidak bisa menyembunyikan perasaan paniknya. Ia menatap Benz, seolah meminta pertanggungjawaban dengan segera.
"Jika besok pagi cuaca cerah, banjir akan menyurut hingga 1 meter dalam waktu 12 jam. Jadi, butuh waktu sekitar 2 hari untuk—"
"Oh, wow! Maksudmu, kita harus seperti ini selama 2 hari, begitu?" potong Eartha dengan suara menyerbu. "Aku tak butuh teorimu. Katakan saja apa yang harus kita lakukan!" Eartha tak habis pikir, bisa-bisanya Benz masih berteori di saat-saat seperti ini.
Langit benar-benar gelap, tak ada bulan atau gemintang yang sudi menyembulkan diri untuk sekedar menghibur penderitaan mereka. Udara semakin dingin. Berlama-lama berendam di dalam air membuat seluruh tubuh mereka mati rasa. Ditambah tekanan pikiran perihal cara apa yang harus mereka lakukan untuk menyusul rekan-rekannya.
Benz bukan seseorang yang mudah memberikan ide, bukan pula pemuda yang cepat berputus asa. Ia hanya memerlukan waktu yang relatif lama untuk melakukan sesuatu. Hal-hal yang ia lakukan harus terencana dan matang. Dan itulah yang membuat Eartha sedikit kesal.
"Excuse me," Eartha menyoroti wajah Benz dengan senter, membuatnya otomatis segera mengerjap karena silau. "Kau dengar aku?"
Benz baru bisa menjawabnya setelah Eartha menurunkan senter. "Kau dan Matt naik ke atap."
"Lalu?"
"Tunggu aku."
"Maksudmu?"
"Aku akan melepaskan beberapa kursi di sini."
"Kalau begitu, mari lakukan itu sekarang."
"Tidak, kalian tunggu saja di atap."
"Bukankah bekerja sama akan lebih cepat?"
Matt mengangguk setuju. "Dia benar. Aku yang akan menunggu di atas."
Tidak ada komentar apa pun yang diberikan Benz. Ia kemudian membantu Matt untuk naik ke atap dan bergegas mengambil sebuah benda seperti tongkat baseball besi dari rak ransel.
"Kita hanya butuh 4 punggung kursi," ujar Benz menginteruksi Eartha yang masih menyenteri wajahnya.
"Aku tidak tahu apa yang akan kau buat, tapi, mari kita lakukan." Tak beda jauh dengan Freya yang memiliki ketegasan, Eartha juga tipikal perempuan dengan pendirian yang kuat. Dia tangguh, disiplin dan realistis. Sayangnya, Eartha masih belum tahu apa yang akan ia lakukan untuk masa depannya nanti. Ia hanya mengikuti alur takdir, memainkan perannya, dan bertahan hidup semampunya.
Benz mengambil alih senter dari tangan Eartha dan mencelupkan kepalanya ke air. Ia mencongkel bagian punggung kursi dengan besi baseball, berusaha membuatnya terlepas. Tapi, sepertinya ia kesulitan.
"Benz? You need help?"
...*...
"Josh, lihat itu!"
Tidak bermaksud mengabaikan, Josh hanya merasa kalau ia cukup lelah menanggapi pembicaraan-pembicaraan tidak penting yang diajukan oleh Puja. Ia ingin diam dan memikirkan rencana selepas badai reda.
Tapi sepertinya gadis itu tidak bisa membiarkannya tenang sebentar saja. Puja menyentuh bahu Josh, berusaha menarik atensinya dari langit gelap yang kelam.
"Lihat ke arah jam 10, Josh!"
Kali ini lebih antusias dan lantang. Puja berhasil membuat Josh menyerah pada egonya dan menoleh ke arah yang ia tunjukkan.
Awalnya, Josh tidak paham dengan apa yang dimaksud oleh gadis itu. Tapi setelah ia memerhatikan dengan lebih teliti, setelah matanya memicing tajam, ia menemukan secercah cahaya berkelip-kelip di antara hamparan banjir yang meluas. Cahaya itu tampak bergerak maju dan semakin membesar.
"Itu pasti Freya!" Josh tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya. Ia bahkan tidak sadar kalau ujung bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman lebar. Senyuman yang membuat Puja mengamatinya lebih dalam dan lekat.
Selama bersamanya, detik ini adalah saat paling menyebalkan bagi Puja. Di mana ia harus melihat seseorang tampak sangat bahagia karena orang lain, bukan dia penyebabnya. Puja benci perasaan seperti ini, tapi ia juga tidak ingin membiarkan Josh kembali hilang harapan. "Apakah kau yakin?" tanya Puja, setelah sekian lama menikmati wajah penuh harap itu.
Josh tercenung, ia beralih menatap Puja dan menghela napas pelan-pelan. "Aku tidak seyakin itu, tapi aku sangat berharap kalau itu adalah Freya."
"Kenapa?"
"Apa?"
"Kenapa kau sangat berharap padanya?"
"Aku belum sempat membalas kebaikannya. Setidaknya jika aku bertemu dengannya lagi, aku akan melakukan apa pun untuk membalas budi."
Itu memang jawaban yang ingin Puja dengar. Tapi kedua bola mata pemuda itu menyiratkan alasan lain. Betapa ia sangat ingin bertemu dengan gadis itu. Betapa ia menginginkan gadis itu kembali. Sebenarnya Puja tidak ingin menyebutkan hal ini, tapi, ia juga tidak dapat mencegah dirinya untuk berpikir bahwa Josh merindukan Freya.
"Oh, itu bagus. Kuharap doamu terkabul."
Josh hanya menatap Puja tanpa membalas apa-apa lagi. Ia bergerak mencari sesuatu di ranselnya dengan tergesa. Merogoh saku kanan dan kirinya, lalu menemukan sebuah kaus berwarna hijau stabilo yang kemudian digunakan sebagai pembungkus kepala senternya.
Dengan sangat hati-hati, Josh berdiri di atas genting dan mengayunkan tangannya sembari berteriak, "HEI, HERE! HERE!"
Merasa dibutuhkan, Puja ikut berdiri. "HELLO! HERE!" teriaknya dengan suara lantang dan nyaring. "Kita harus membuat tanda S.O.S, Josh!"
"Tidak, tidak perlu. Lihat itu!"
Sosok di balik cahaya itu sepertinya menemukan keberadaan mereka. Terbukti saat cahaya itu dikedip-kedipkan beberapa kali, seperti membentuk sebuah sandi morse.
Josh membelalakkan kedua bola matanya. Mencatat tiap sandi yang dikedipkan cahaya itu di dalam otaknya, menggabungkannya menjadi sebuah kata.
W-A-I-T
"Dia menyuruh kita untuk menunggu," ucap Josh setelah cahaya itu tidak berkedip lagi dan hanya selesai di huruf T.
Puja menatap cahaya itu, mengerutkan dahi, menarik napas panjang dan membalas, "Bukan 'dia', tapi mereka."
"How do you know that?"
"I can see them."
Josh tidak tahu mana yang benar; apakah Puja sedang mengada-ada, atau bahkan sedang berimajinasi.
Setelah pernyataannya tentang 'bisa mendengar makhluk hidup dari jarak jauh', kini tiba-tiba saja gadis itu mengaku kalau ia bisa melihat sosok yang mungkin berada 500 meter dari mereka. Haruskah Josh mempercayainya? Haruskah ia yakin dengan pernyataan konyol sekaligus kontroversial itu?
"Mungkin ini terdengar gila, tapi aku juga tidak tahu sejak kapan aku bisa melakukan ini. Kadang aku bisa melakukannya tanpa berusaha, terkadang juga sangat sulit untuk dilakukan. Aku tak punya definisi khusus untuk menjelaskan apa yang—"
"Aku percaya padamu. Terlepas dari betapa sulitnya kau menguraikan apa yang kau rasakan, aku mempercayainya."
Kalimat itu sukses membuat Puja menatapnya tanpa kedip. Ia sekarang lupa bahwa pemuda di hadapannya ini tengah mengharapkan orang lain yang bukan dirinya.
"Kau adalah orang pertama yang mempercayainya."
...*...
Tahu kalau ada orang lain yang masih hidup selain ia dan teman-temannya, Genta sangat senang sehingga ia mengayuh perahu karetnya dua kali lebih kuat dari sebelumnya.
"Anggap saja kita sedang bertamasya di Ancol, Ga," celetuk Genta tiba-tiba.
Tentu saja itu bukan kalimat hiburan yang ingin Gara dengar. Ia tak menyahut, apalagi menoleh. Gara hanya mengayuh dan memandangi Freya tanpa henti, sehingga Nam ikut memerhatikan keduanya.
Nam tidak tahu sejak kapan ia pandai membaca bahasa tubuh seseorang, yang jelas, ia tahu kalau ada sesuatu yang membuat Gara tampak begitu cemas pada Freya. Ia tidak ingin mencari tahu apa alasannya, Nam tahu ia tidak berhak untuk melakukannya. Dan apa pun itu, ia yakin kalau jatuh cinta bukanlah alasan yang utama.
"Nam, menurutmu, orang itu perempuan atau laki-laki?"
Terperangah, Nam sedikit salah tingkah saat perhatiannya terinterupsi. "Eu—menurutku, aku tidak tahu. Laki-laki atau perempuan, aku akan sangat bersyukur jika ada yang masih tersisa di sini."
"Hmm, okay. Kalau menurutmu, Ga? Kau pasti tahu 'kan siapa yang akan kita temui?"
Gara menoleh, mengernyit sedikit dengan pertanyaan ambigu yang diajukan oleh rekannya. Ia menaikkan sebelah alis, seolah tak suka dengan pemilihan kata dalam kalimat tanyanya.
Merasa ada yang salah dalam pertanyaannya, Genta mengalihkan pandangan ke sembarang arah kan meralat pertanyaannya. "Maksudku, kau 'kan pandai bermain tebak-tebakan, mungkin kau tahu siapa yang akan kita temui nanti."
"Banyak bicara tidak akan membuat perahunya bergerak cepat."
"Isshh!" desis Genta kesal.
Mereka terus mengayuh secepat yang mereka bisa. Tak peduli kegelapan semakin membabi-buta, tak peduli hawa dingin mencabik-cabik kulit mereka.
Nam melirik Gara dengan sangat hati-hati. Tapi, selang dua detik, si pemilik mata jernih itu memergokinya, membuat Nam bingung dan terpaksa membuang pandangannya ke arah sembarang.
"Apa yang kau lihat?" tanya Gara dengan suaranya yang lebih dingin dari angin malam.
"Tidak ada," balas Nam singkat.
Genta yang mendengar itu hanya diam. Tidak ingin ikut campur dan membuat Gara kembali menyerangnya dengan kalimat-kalimat sarkastis.
Lima belas menit kemudian, mereka akhirnya tiba di bawah cahaya berwarna hijau stabilo yang ada di atas genting.
"Hei!" Genta yang pertama kali berdiri dan memanggil dua sosok asing itu.
"Bisa tolong bantu kami?" Seorang perempuan menunduk untuk melihat mereka.
Genta menengadah, menatap perempuan yang berdiri di sebelah seorang laki-laki bule. "Kami hanya punya satu perahu karet. Tapi jika kalian—"
"Freya!" teriak laki-laki itu, sukses membuat Gara dan Nam ikut menengadah. "Apa yang terjadi padanya?" Laki-laki itu tampak cemas saat melihat Freya terbaring lemah di pangkuan Gara.
"Kau mengenalnya?" Genta merasa kalau ia menemui titik terang. "Apakah kalian temannya Freya?"
"Ya! Apa yang terjadi?"
"Kepalanya terbentur, ceritanya panjang. Dia kehilangan banyak darah. Kami sedang mencari tanaman Cordyline Fruticosa untuk menghambat pendarahannya. Seingatku, tanaman itu ada di sekitar sini," jelas Genta.
"Apa golongan darahnya?"
"AB Rh Negatif."
"Aku memilikinya. Darahku AB Rhesus Negatif. Ambil darahku untuknya."
[...]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments