11 | Not This Time

...July 15, 2080...

...Jakarta, Indonesia...

.........

Sepasang iris hijau gelap menatap fokus pada hembusan angin yang meliuk di depan matanya. Memandangi benda-benda yang tersapu dan menjadikannya sebagai bahan pengamatan.

Josh melempar beberapa helai rumput ke udara, mengamati bagaimana rumput itu terjatuh, menelitinya dengan seksama.

Sejujurnya, ia benci ketika waktu berjalan melambat, menghentikan momentum, menghambat lajur pergerakkan, membuat segala sesuatu menjadi bisu serta menjemukan. Seakan-akan waktu memang diciptakan untuk menjadi penghalang hidup seseorang. Dan menggunakannya adalah sebuah kesia-siaan semata.

Tapi Puja tampak menyukainya. Ia menikmati tiap nanodetik yang dilewatkannya bersama Joshua Miller, mendambakan hal-hal tak terduga yang barangkali bisa membuat mereka semakin lama terjebak dalam kebersamaan. Puja sadar bahwa ia mulai banyak memerhatikan laki-laki itu ketimbang mengingat apa tujuan utamanya.

Dan hal yang dilakukan Josh saat ini begitu menarik perhatian Puja, terutama ketika laki-laki itu terdiam sembari mengamati rumput-rumput yang berterbangan di hadapannya.

"Apa yang kau lakukan?"

Tak cepat membalas, Josh masih diam, menyaksikan helaian rumput yang tertiup ke arah timur, menunjukkan bahwa gelombang udara semakin mendekat.

Cara itu dilakukan Josh atas didikan Samuel. Dulu, Josh sempat tak mempercayainya. Ia berkata kalau Samuel terlalu teoritis dan paranoid. Tapi kemudian, sore itu badai melanda Cambridge dengan begitu hebat. Hal itu membuat Josh memutuskan untuk mempelajari semua hal tentang alam dari Samuel Hall.

"Angin yang kencang menunjukkan perbedaan tekanan yang besar, di mana hal tersebut bisa menjadi tanda gelombang badai yang datangnya lebih awal," balas Josh setelah yakin kalau dugaannya bukan sekedar paranoianya semata.

Hujan benar-benar akan datang. Badai angin bisa saja terjadi melebihi apa yang ia perkirakan. Tapi celakanya, mereka berdua bahkan belum menemukan tempat yang aman untuk berlindung.

Daerah yang mereka lewati saat ini adalah sebuah kota mati yang sudah ditumbuhi pepohonan rindang. Mereka tidak mungkin berlindung di antara pohon-pohon itu, mengingat badai besar bisa saja menumbangkannya.

"Kita belum menemukan tempat bermalam, Josh," peringat Puja dengan nada gusar.

Waktu menunjukkan pukul lima sore, sebentar lagi petang datang, malam akan segera menyambut kedatangan mereka. Perjalanan yang mereka lewati terasa semakin berat. Angin berhembus begitu kencang, bercampur dengan debu dan menerbangkan dedaunan kering. Beberapa di antaranya menerpa wajah mereka.

"Aku tahu," balas Josh singkat. Ia mengencangkan tali ranselnya dan kembali berjalan.

Langit masih tampak normal. Tidak gelap, tapi juga tidak terlalu terang. Penampakannya benar-benar menunjukkan kestabilan, cukup normal untuk cuaca sore hari di Benua Asia. Meski begitu, Josh masih memiliki keyakinan akan datangnya hujan.

Plang berwarna hijau yang berdiri di sisi jalan itu bertuliskan 'Jalan Pasir Putih I'. Sebuah jalan beraspal yang cukup lebar dan ramai oleh bangunan-bangunan bertingkat. Josh mengira kalau jalan ini menjadi salah satu jalan alternatif yang banyak digunakan masyarakat selain Jalan Tol. Terlihat dari bangkai mobil yang berserakan memenuhi jalan.

"Josh..."

Panggilan itu membuat si pemilik nama menoleh, memutar separuh tubuhnya dan hanya membalas dengan dagu yang dinaikkan.

"Aku mendengar seseorang mendekat ke arah kita," ucap Puja tiba-tiba dan terdengar aneh. Ia memegangi kepalanya, seperti terserang pening secara mendadak.

Josh tak menghentikan langkahnya, ia masih memimpin perjalanan. "Maksudmu?"

Puja bersikeras menaikkan tempo langkahnya agar sejajar dengan pemuda itu. Dan meski dengan tertatih-tatih, Puja berhasil berada di sebelah Josh dalam waktu kurang dari satu menit. "Mungkinkah Freya kembali mencari kita?"

Nama itu membuat Josh memperlambat langkahnya, ia melirik Puja, menelaah mata madunya, berharap menemukan alasan mengapa dia menyebutkan nama gadis itu. "Atas dasar apa? Mengasihani kita?"

"Aku tidak tahu, tapi aku yakin, seseorang tengah bergerak ke arah kita."

"Apakah malam itu kau juga meramal kedatanganku bersama Freya?"

"Tidak. Aku hanya mendengar suara pesawat dan yakin kalau yang menerbangkannya bukan alien."

"Lantas, apa yang membuatmu berkata kalau ada seseorang yang mendekat ke arah kita?"

Tak ada jawaban, yang dilihat Josh justru sebuah ekspresi menyebalkan, yakni menaikkan ujung bibirnya dan menatap jalanan. Puja pasti sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Josh yakin, tapi ia juga tidak bisa membuat gadis itu menceritakan semua hal yang dia ketahui.

Tahu kalau Puja tidak akan memberikan jawaban, Josh kembali bertanya, "Kau memiliki kemampuan aneh?"

Pertanyaan yang diajukan Josh membuat Puja mendengus geli. "Aku tidak pernah menyebutnya sebagai kemampuan, tapi aku bisa merasakan makhluk hidup yang bergerak hingga 50 kilometer."

"Kau bercanda?"

"Kalau kau tak percaya, anggap saja begitu."

Josh memandangi wajah eksotis itu. Mengamati mata madunya yang dipenuhi berbagai informasi tersirat. Melihat mata itu mengingatkan Josh pada rambut Freya yang berwarna kecokelatan.

Masih dengan irama langkah yang sama, Puja kembali berkata, "Sekitar 1 kilometer dari sini ada kawanan rusa, ada juga kucing hutan yang berkeliaran di kilometer 6. Tapi kau tak perlu khawatir, tidak ada singa atau hewan buas di sekitar kita. Daerah ini aman."

Jika yang dilakukan Puja hanya sebuah lelucon, ini sama sekali tidak menggelikan. Gadis itu melakukannya dengan wajah serius dan tatapan kosong--seperti menyaksikan sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang lain.

Apakah gadis India itu memiliki kemampuan supranatural?

Atau, lebih parah lagi, apakah dia benar-benar manusia?

"Anggap saja aku mempercayaimu, lalu menurutmu apa alasan Freya kembali?" Josh sebenarnya tidak ingin bertanya dengan nada sarkastis, tapi ia harus melakukannya agar Puja sadar kalau mereka masih dua orang asing yang harus saling mengawasi satu sama lain.

"Yang jelas bukan untuk menemuiku."

...*...

Kurang dari lima belas menit, Freya berhasil menemukan dua piston dengan fisik yang masih utuh. Ia sengaja mengambil dua karena tidak ingin melakukan kesalahan dengan membawa piston rusak. Tidak boleh ada celah bagi Gara untuk mengomelinya. Entah mengapa, Freya ingin terlihat benar di mata pemuda itu.

"Piston mana yang kau ambil?" tanya Gara saat berjongkok untuk melihat dua benda yang ia butuhkan di hadapannya.

Dua meter di sampingnya, Freya membalas, "Truk sampah dan Sedan model lama."

Gara berdiri, ia menatap Freya dan menunjukkan ekspresi tak terbaca. Ia melirik telapak tangan Freya yang kotor dan kemerahan. Gadis itu pasti melakukannya dengan susah payah. Gara menghadiahinya dengan mengulurkan sebuah sapu tangan dan menepuk puncak kepala gadis itu dua kali. "Good job!" pujinya.

"I'm not your pet. Singkirkan tangan kasarmu dari kepala indahku," balas Freya ketus.

"Gadis lain akan suka diperlakukan seperti itu." Gara menurunkan tangannya dengan perlahan.

"Tapi aku bukan gadis lain. Kau tidak akan menemukan gadis sepertiku di mana pun."

"Ya, aku tahu, tidak ada gadis seegois dirimu," jawab Gara sebelum akhirnya membawa piston-piston itu ke dalam ruang mesin.

Sejujurnya, Freya ingin sekali membalas ucapan itu, ia masih ingin berdebat. Tapi kemudian ia sadar bahwa hal itu akan memperlambat pekerjaan dan hanya membuang-buang waktu.

Jadi, Freya memutuskan untuk berjalan ke tepi, menuju sebuah bak mobil dan duduk di sana untuk membersihkan tangannya.

...*...

Sekitar 200 meter dari tempat terakhir ia berpisah dengan dua rekannya, Benz tengah mengisikan bahan bakar pada sebuah drigen besar. Setidaknya cukup untuk membuat mini bus itu hidup dan bergerak.

Benz mengembalikan slang ke tempat semula, lalu menutup drigen itu dan mengangkatnya ke sudut bangunan.

Warna merah dan putih sangat dominan pada bangunan itu. Logo "Pertamina" dan SPBU tertulis jelas di atas tembok berbentuk tabung yang bagian-bagiannya mulai runtuh. Benz berjalan hingga ke ujung tempat itu dan mengamati sekitar. Ia melihat ada sebuah mini market di dalam area SPBU itu dan memutuskan untuk pergi ke sana demi menghilangkan dahaganya.

Membiarkan drigennya di tepi jalan, Benz melangkah ringan melewati beberapa runtuhan bangunan hasil dari gempa-gempa yang terjadi beberapa pekan terakhir. Cuaca akhir-akhir ini memang aneh. Secara Sains, bencana alam bisa diprediksi meski dengan tingkat akurasi yang rendah. Tapi sekarang, Bumi benar-benar sulit ditebak. Benz sedikit kewalahan dalam mengamati perubahan iklim di pertengahan bulan ini. Meski begitu, Benz selalu berusaha untuk meminimalisir kemungkinan buruk dan meningkatkan kewaspadaannya dengan ilmu yang ia kuasai.

Dari luar mini market itu tampak bersih. Halamannya bebas dari runtuhan dan daun-daun kering. Kaca-kacanya juga mengkilap. Benz sedikit heran dengan hal itu. Tapi ia tetap berjalan mendekati bangunan itu, bergerak membuka pintu, lalu matanya membelalak melihat pemandangan mengejutkan di hadapannya.

Bagian dalam mini market begitu tertata. Ada satu rak berisi minuman, rak makanan, juga rak alat-alat kesehatan. Benz juga menemukan sebuah kasur yang terlentang di atas lantai, kompor dan gas yang terpasang di sudut ruangan, serta baju-baju yang digantung di samping kasur. Benz yakin, pasti ada seseorang yang tinggal di sini.

"Excuse me, anybody here?"

Suaranya menggema. Benz bergerak semakin dalam. Ia menyentuh sebuah bra yang terlipat bersama ****** ***** dan satu set baju di atas lemari kayu, lalu melihat-lihatnya sejenak.

Siapa pun yang menghuni tempat ini pasti seseorang berjenis kelamin perempuan.

Perlahan, Benz berjalan menuju ruangan lain di dalam sana. Sayup-sayup ia mendengar sebuah senandung yang bercampur dengan suara air kran. Kakinya melangkah semakin jauh. Ia mendekati sebuah pintu dan mempertajam pendengarannya. Tapi, senandung dan suara air kran itu berhenti. Benz mengernyit. Apakah semua ini hanya halusinasi? Apakah ia mulai tidak waras?

Tahu-tahu saja, pintu itu terbuka. Di saat yang bersamaan, seorang perempuan tanpa busana menjerit histeris, "AAAAAA!!!" Lalu sosok itu segera menutup kembali pintunya dengan gerakan kasar.

Benz yang bingung dengan semua ini mendadak mematung. Ia menggaruk tengkuknya, merasa aneh pada dirinya sendiri.

Siapa yang dilihatnya barusan? Hantu? Atau, tokoh imajinasinya?

Dengan susah payah, Benz mencoba sadar dan berpijak lagi pada kenyataan. Ia kemudian berkata, "Hei? Kau di sana?"

"BERANINYA KAU MENGINTIPKU!"

Teriakan itu membuat Benz akhirnya percaya kalau yang ia lihat adalah sebuah realita.

"Maaf, aku tidak bermaksud—"

"BAWAKAN PAKAIANKU!"

"Ha?" Benz kebingungan. Situasi ini membuatnya sedikit linglung.

"KAU TIDAK DENGAR?! BAWAKAN PAKAIANKU DI ATAS LEMARI!"

Oh, gadis itu menyuruhnya?

Entah apa yang ada di pikirannya, Benz berlari ke ruangan sebelumnya dan mengambil pakaian yang ada di atas lemari bersama sebuah bra yang tadi ia sentuh.

"Aku sudah mengambilnya," ucap Benz saat tiba di depan pintu itu.

Detik berikutnya, seperempat bagian pintu itu terbuka, menyembulkan sebuah tangan dan seseorang yang berada di baliknya kembali berkata, "Berikan padaku!"

Benz menyodorkannya, dan seketika pintu kembali ditutup.

Sebenarnya, Benz tidak berniat untuk menunggu, tapi entah mengapa ia masih berdiri di sana seperti orang bodoh.

Tak lama kemudian, seseorang keluar dari balik pintu itu dan memasang wajah super kesal. Gadis itu berkulit putih bersih, wajahnya oriental, matanya sipit, rambutnya cokelat terang dan tingginya setara dengan bahu Benz. Saat ini ia mengenakan kaus putih polos dan celana denim panjang.

Mereka berdua berdiri dan saling menatap, menyelami pikiran masing-masing. Sedikit canggung dengan momen awkward tadi.

"Eu..." Benz mendadak gagap. Lalu apa sekarang? Haruskah ia meminta maaf? "I'm so—"

"Are you a human?" tanya gadis itu polos. Benz mendengar Bahasa Inggrisnya yang cukup bagus, tapi ada aksen lain dalam suaranya.

"Memangnya aku terlihat seperti apa?" Benz balik bertanya dengan nada canggung.

Gadis itu mendelik. "Kau—beraninya kau mengintipku!"

"Tidak, tidak seperti itu!" Benz menggeleng tak terima. "Aku tidak sengaja datang dan mendengar ada seseorang di sini."

"Alasan!"

"Lagipula kenapa kau mandi tidak memakai handuk?"

"Memangnya aku tahu kalau ada manusia yang tidak sengaja datang ke sini?" Gadis itu kesal bukan main, tapi ia juga tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya karena bisa bertemu dengan manusia lain.

"Baiklah, aku minta maaf."

"Memang harusnya begitu," balas gadis itu sinis. Dia mengamati Benz dengan teliti, melihatnya dari ujung hingga ujung lagi. Kemudian, ia berjalan melewatinya sembari menutup badannya dengan kedua tangan--sebuah getsur menahan malu.

Benz berjalan mengikutinya ke ruangan depan. "Tidak perlu menutupinya, aku sudah lihat."

Mendengarnya, gadis itu berbalik dan menatap tajam. "Benar-benar kau ya!"

"38 A itu apa?"

"Astaga, sempat-sempatnya kau melihat ukuran bra milikku!" Gadis itu memukul tangan Benz dan menginjak kakinya di bagian tempurung.

Benz mengaduh kecil. Tapi pukulan itu tidak membuatnya kesakitan. Ia kembali mengikuti pergerakan gadis itu. Hingga akhirnya mereka tiba di ruangan pertama. Gadis itu duduk di atas kasur dan mengambil sisir di sebuah kotak kecil.

"Kau sendirian?" tanya Benz hati-hati.

"Ya." Ia melirik Benz sekilas, lalu memandang pada cermin. "Untuk apa kau datang ke sini?"

"Mengambil bahan bakar."

"Ohh."

"Berapa lama kau tinggal di sini?"

"Dua pekan," balasnya sembari mengulas lipstik ke bibirnya. "Aku tidak mendengar ada kendaraan yang datang. Untuk apa kau mengambil bahan bakar?"

"Temanku sedang memperbaiki sebuah mobil, 200 meter dari sini."

"Kau punya teman?" Dia mendongkak, memastikan apakah Benz sedang berbohong atau tidak.

"Iya. Aku punya 5 teman. Tapi setelah bertemu denganmu, sekarang menjadi 6."

Kalimat yang diucapkan Benz membuat gadis itu menghentikan aktivitasnya. Ia menatap Benz dan menghela napas panjang. Seperti ada kelegaan di sana. Tapi ia tidak bisa mengatakan apa pun sampai Benz yang lebih dulu memecah hening di antara mereka.

Benz menyodorkan sebelah tangannya. "Aku Benz Aroon. Siapa namamu?"

Meski dengan sedikit keraguan, akhirnya gadis itu menjabat tangan Benz dan membalas, "Nam Kyu."

[...]

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!