02 | The Phosgene Tragedy

...July 13, 2080...

...New Delhi, India...

.........

Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya Josh duduk di dalam cockpit bersama seorang pilot perempuan—yang tak mengajaknya bicara sejak melakukan take off dari Yeadon.

Lima jam, mereka hanya duduk terdiam dan menikmati pemandangan dari atas awan. Menyelami pikiran masing-masing tentang ketidakberdayaan mereka terhadap alam yang semakin liar. Bumi telah berubah. Daratan bukan lagi menjadi tempat tinggal manusia. Bahkan laut pun tak ada bedanya. Banyak laut yang teracuni oleh zat kimia dan menimbulkan punahnya ekosistem air.

"Kemana kita akan pergi?"

Itu adalah pertanyaan pertama yang berani Josh lontarkan setelah sekian lama memilih diam.

Gadis itu tampak tidak tertarik dengan pertanyaannya. Ia sibuk dengan tombol-tombol tanpa memedulikan seseorang di sampingnya.

Ada begitu banyak hal misterius dalam diri gadis itu. Josh tak tahu apakah ia berada di pihak yang sama atau tidak. Yang Josh lihat, gadis itu tak butuh perlindungan. Dia benar-benar memiliki kemampuan yang tak semua perempuan bisa lakukan. Dia sangat terlatih.

Mata safirnya benar-benar memabukkan. Josh bisa saja terperdaya oleh wajah ayu itu dan lupa kalau gadis itu dapat membunuhnya kapan saja ia mau.

"Kau pernah ke India?" Gadis itu balik bertanya.

Josh menggeleng. "Tidak, kenapa?"

Tidak ada jawaban sampai mereka benar-benar tiba di negara yang terkenal dengan Taj Mahal itu.

...*...

Landing pertama dilakukan di Bandara Internasional Delhi Indira Gandhi, India.

Setelah melakukan perjalanan lebih dari 18 jam, Josh merasa seluruh tubuhnya kaku dan pegal. Ia menoleh ke samping, mendapati seorang gadis dingin yang tak mengajaknya mengobrol selama perjalanan berlangsung. Josh tahu, mereka memang tidak saling mengenal, tapi apa salahnya kalau ia mencoba untuk membaur? Lagipula, dunia ini sudah kiamat, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk menutup diri. Tak ada gunanya mempertahankan ego dan gengsi.

Josh berharap kalau ia bisa dengan mudah mengajak gadis itu berkomunikasi, tapi hasilnya nihil. Tiap kali ia mencoba bertanya dan bercerita, gadis itu tak menganggapnya ada.

"Apakah kau akan tetap diam saat kutanya mengapa kita berhenti di sini?" Josh lagi-lagi mencoba peruntungan untuk mencari tahu mengenai tujuan utama gadis itu. Terlalu muluk baginya untuk mengharapkan sesuatu yang mustahil. Padahal, seandainya mereka adalah manusia terakhir di dunia ini, harusnya mereka dapat bekerja sama dengan baik untuk bergenerasi.

Tak segera menjawab, gadis itu memilih menyiapkan ransel dan seisinya.

"Aku tidak pernah memaksamu untuk membawaku pergi. Seandainya kehadiranku hanya dianggap angin lalu, untuk apa sekarang aku ada di sini?" Josh tak tahu dari mana kalimat melankolis itu berasal, yang jelas, ia benci diacuhkan.

Mendelik, gadis itu hanya menukikkan sebelah alisnya.

"Aku bahkan tidak tahu siapa nam—"

"Freya. Sekarang kau boleh memanggilku dengan nama itu."

Untuk kesekian kali, Josh menatap kedua manik mata safir itu, mendalaminya sejenak dan memikirkan ada berapa banyak nama Freya yang pernah ia dengar. Nama itu jelas bukan sebuah nama asing di telinganya. Josh yakin, ia pernah mendengarnya. Tapi ia tidak tahu kapan, di mana, dan siapa yang memiliki nama itu.

Di luar kebingungannya, Josh tetap merasa sedikit lega akan kemanusiawian gadis itu. Setidaknya sekarang ia tahu harus memanggil gadis itu dengan sebutan apa.

"Aku, Joshua Mill—"

"Aku tidak pikun. Kau sudah mengatakan itu tadi pagi," potong Freya ketus.

"Kau bisa memanggilku Josh."

"Aku akan memanggilmu dengan apa pun yang kusuka."

"Up to you, woman always right."

Josh yakin sekali kalau Freya sangat suka pernyataan itu. Terlihat dari lengkungan di sudut bibirnya yang diam-diam bergerak naik.

Merasa dirinya begitu diperhatikan, Freya melengos. Ia merapikan isi ranselnya dan mengambil sebuah topi berwarna blue Wedgwood yang senada dengan seragamnya. "Bergegas, kita harus isi bahan bakar."

Penjelasan singkat itu cukup membuat Josh mengerti mengapa Freya tiba-tiba mendarat di negara ini.

Setelah mempersiapkan diri, Josh bergerak mengikuti Freya yang sudah lebih dulu beranjak. Ia berdiri di belakang gadis itu dan menunggunya mengatakan sesuatu.

Cukup lama berdiri di depan pintu sembari melihat keluar melalui kaca, Freya tak kunjung mengucapkan sepatah kata pun. Ia masih mematung dan menyampirkan ransel di bahu kirinya. Di sebelah tangannya, Freya memegang sebuah Respirator Gas Mask berwarna perak, sementara di sebelah yang lain masih menjadi tempat favorit Revolvernya. Ia menatap keluar dengan pandangan penuh selidik. Gelap menjadi satu-satunya hal yang bisa Josh definisikan di kota itu. Jadi, seharusnya Freya tak perlu waktu lama untuk meneliti, karena mereka memang tak bisa melihat apa pun.

"Pakai pelindungmu," ujar Freya tiba-tiba.

Di belakangnya, Josh mengernyit. "Kenapa? Ada masalah?"

"Negara ini mendapatkan serangan Phosgene pada tahun 2070."

Phosgene (Fosgen) adalah senyawa kimia berbahaya dalam wujud gas yang digunakan sebagai senjata kimia sejak Perang Dunia I. Gas ini sangat mematikan. Seseorang yang menghirupnya akan mengalami sesak napas dan meninggal dunia jika tidak cepat-cepat ditangani dalam hitungan jam.

Mendengar itu, Josh skeptis. Ia tak bicara apa-apa sampai akhirnya Freya menendang tulang keringnya.

"Pakai masker-mu!" titah Freya sembari dirinya mengenakan benda perak itu untuk menutupi kepala dan wajahnya.

"Kalau boleh jujur, aku tak memilikinya."

"Sudah kuduga."

Josh mengeluarkan sebuah sapu tangan dari saku ranselnya dan mencoba untuk menutup hidungnya dengan benda itu, saat tahu-tahu Freya menahannya. "Diam di sini."

"Siapa? Aku?"

"Kau pikir aku sedang bicara dengan siapa? Kursi?"

"Tidak, maksudku, kenapa aku yang diam di sini? Kenapa bukan kau saja yang diam di sini dan aku yang pergi untuk mengisi bahan bakar?"

Freya mendengus kecil, lalu membalas, "Karena kau adalah laki-laki. Kau lebih banyak bicara daripada bertindak."

Sejak kapan laki-laki memiliki label semenyedihkan itu? Josh tidak terima. Ia adalah pejantan yang tak boleh diremehkan, bahkan oleh seorang gadis tangguh seperti Freya sekalipun.

"Aku yang pergi," putus Josh akhirnya.

Freya melepas masker-nya dan berkata, "Kau bisa mengisi bahan bakar?"

Josh diam. Ia tahu, ia tidak pernah melakukannya, tapi bukan berarti ia tidak bisa. "Aku akan mencobanya."

"Sempurna. Pemuda asing tiba-tiba ada di dalam pesawatku dan dia tidak bisa apa-apa selain protes. Ya, ciri khas laki-laki."

Saat mengatakannya, Freya tak menunjukan apa-apa di wajahnya. Dan hal itu sukses membuat Josh menahan kesal. Sebagai laki-laki, sepertinya ia tak memiliki harga diri sama sekali di hadapan gadis itu.

Meski begitu, Josh akan berusaha agar mereka berdua bisa berteman baik, bagaimanapun caranya.

"Biarkan aku pergi." Josh kekeh akan keputusannya. Ia mengambil alih Respirator Gas Mask dalam genggaman Freya dan mengenakannya tanpa permisi.

Melihat itu, Freya hanya bisa menghambuskan napas panjang. "Lakukan dengan benar. Aku—"

"Kau tak suka kesalahan sekecil apa pun," potong Josh, tahu apa yang akan Freya katakan.

"Good boy," balas Freya sambil mengetuk kepala Josh dengan moncong Revolvernya.

Alih-alih merasa semangat, hal itu justru terasa aneh bagi Josh. Ia tak pernah menemukan spesies perempuan seperti gadis di hadapannya ini. Pasti ada banyak cerita di balik sorot mata tajamnya, ada banyak kisah di balik sikap tangguhnya, dan pasti tak akan terhitung berapa banyak tragedi yang dialami gadis itu. Josh merasakan hal yang sama. Hampir semua hal mengerikan pernah terlihat oleh mata kepalanya sendiri. Dan itu terkadang menganggu pikirannya menjelang tidur.

Meski demikian, Josh tak ingin terus-terusan berduka atas kepergian Samuel Hall. Ia harus bisa bergerak maju. Merealisasikan keinginan Samuel adalah tujuan utamanya saat ini, tak peduli berapa banyak rintangan yang sudah menunggunya di depan sana. Ia harus bisa mempertahankan hidupnya lebih lama dan melakukan sesuatu yang berguna. Begitulah pesan terakhir dari Samuel Hall.

"Berapa banyak waktu yang kau butuhkan untuk bersiap-siap?" tanya Freya, memecah lamunannya.

Spontan, Josh terkesiap. Ia mengencangkan ranselnya di punggung dan membuka pintunya. "Kalau aku tak kembali dalam satu jam, kau boleh meninggalkanku."

"Tidak perlu bertingkah sok pahlawan. Kalau bahan bakarnya masih banyak, aku tidak mungkin memilih tempat ini untuk mendarat."

Yang artinya adalah; Freya tidak akan meninggalkan Josh karena ia memang tidak bisa kemana-mana. Pesawatnya tak memiliki bahan bakar yang cukup. Josh tahu. Dan itu bukan kabar bagus.

"Aku berjanji akan kembali secepatnya dan mengisi bahan bakar malam ini juga."

"Terakhir kali seseorang berjanji padaku, dia mati sebelum menepatinya."

Bahkan hingga akhir dialog, Freya tetap sinis kepadanya.

...*...

Berbekal sebuah senter, permen karet kadaluwarsa rasa mint, serta lagu kesukaannya berjudul Over, Josh berjalan menyusuri tepian runway Delhi Indira Gandhi yang memiliki luas melebihi perkiraannya.

Josh tak takut gelap. Ia juga sudah terbiasa dengan udara dingin. Tapi tempat ini benar-benar membuat keberaniannya terganggu. Apalagi ketika ia tak sengaja menginjak tulang belulang manusia yang berserakan di sepanjang jalan. Pastilah tragedi serangan Phosgene itu sangat dahsyat hingga membuat tempat ini benar-benar bersih dari manusia.

Jujur, Josh tak pernah mendengar apa pun tentang negara ini dari Samuel. Pria itu mungkin melewatkannya, atau mungkin ia yang terlalu cepat melupakannya. Yang jelas, India adalah negara asing yang kabarnya tak pernah ia ketahui. Hanya ada beberapa berita yang tak sengaja ia lihat di internet dan televisi dulu.

Tapi, bukan berarti Josh tak memiliki kesempatan untuk memenangkan petualangan di negara ini.

Dua puluh lima tahun ia hidup dalam kesengsaraan. Harusnya ada banyak pengalaman yang bisa dijadikan landasan sebagai kekuatannya menghadapi rintangan. Tapi, tak begitu cara kerja otaknya. Josh mungkin memiliki banyak akal, tapi seandainya ia menghirup gas fosgen, semua usahanya akan sia-sia.

Josh masih berjalan dengan tempo yang sama, tidak ingin terburu-buru, juga tidak terlalu lamban. Ia menyenteri tiap sudut tempat itu, mengikuti jalan yang terjal akibat bebatuan dan runtuhan bangunan yang berserakan.

Jam canggihnya menunjukkan pukul 11 malam. Suara burung hantu dan sahutan jangkrik setia menemani perjalananya. Samar-samar, Josh mencium bau alkohol. Semakin ia berjalan menuju koridor bandara, aroma itu semakin menusuk hidungnya.

Josh melihat patung-patung besar berwarna emas yang berjajar di ruangan itu. Beberapa di antaranya sudah runtuh, hanya tersisa bagian setengah badannya saja. Ia juga menemukan jadwal penerbangan menuju beberapa negara di Asia, contohnya Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Bandara ini terakhir beroperasi 9 tahun yang lalu. Hal itu ia simpulkan dari salah satu penerbangan menuju Indonesia pada tanggal 27 Agustus 2071, setahun setelah serangan Phosgene terjadi.

Dari sekian banyak negara di Asia, mengapa India memilih Indonesia sebagai penerbangan utama mereka?

Apa pun alasannya, Josh tahu kalau negara itu memiliki sesuatu yang penting hingga India memilih untuk bermigrasi ke sana.

Josh menghela napas. Semakin ia berjalan, semakin banyak hal yang ia temukan dan kepalanya mulai pusing menebak-nebak apa saja yang sudah terjadi di tempat ini.

Kemudian, ketika Josh hendak memilih jalan ke arah kiri di sebuah persimpangan, tiba-tiba saja suara tembakan terdengar bersamaan dengan pecahnya kaca jendela di belakangnya.

JDOR! Josh mengejang, kedua bola matanya membeliak. Ia spontan mengarahkan senternya ke lantai atas, menemukan sebuah cahaya kecil dan sosok yang kini berlari menghindarinya.

"WAIT!" teriak Josh sembari bergerak mengejar orang itu melalui tangga dengan sekuat tenaga, sekuat yang ia bisa.

Suara seseorang berlari terdengar dengan jelas di ruangan yang semula hening. Gerakan sosok itu cukup gesit. Tiba di lantai dua, Josh kehilangan jejak. Ia tak melihat ada siapa-siapa. Cahaya kecil yang berasal dari senter orang itu sudah tak terlihat di mana pun. Josh diam sejenak, mengatur napasnya yang memburu dan semakin sesak akibat mengenakan masker sialan itu.

"Tak apa, keluarlah. Aku manusia. Kalau kau juga manusia, mungkin kita bisa berteman," ucap Josh mencoba membujuk sosok itu untuk menunjukkan dirinya.

Berjalan lagi, Josh mengarahkan senternya ke setiap ruangan yang pintunya terbuka. Ia tak menemukan apa pun selain udara hampa.

Dan saat Josh tengah mengamati sebuah ruangan administrasi, tahu-tahu suara gaduh terdengar dari lantai satu beserta cahaya senter itu lagi.

"Oh, ****!" Josh hanya bisa mengumpat ketika sosok itu berhasil kabur darinya. Dengan setengah kesal, ia kembali berlari menuruni tangga dan berharap bisa menangkap sosok itu meskipun nantinya yang ia temukan bukan manusia.

Jujur saja, Josh tak pernah suka adegan kejar-kejaran. Di mana pada akhirnya dialah yang selalu kalah dan gagal. Josh selalu terlambat. Ia sudah berusaha semampunya, tapi pada kenyataannya, ia tak pernah berhasil untuk mencegah hal-hal buruk itu terjadi. Momen ini mengingatkannya pada Samuel Hall. Ketika Josh gagal menyelamatkan pria itu dan berakhir dengan penyesalan.

Josh sukses mendarat di lantai dasar, tapi lagi-lagi, ia tidak menemukan apa pun. Cahaya itu kembali hilang. Ia memaku di tempatnya. Berdiri dengan napas terengah. Sampai akhirnya, seseorang menepuk bahunya dari belakang.

Spontan, Josh mengambil pistol dari sakunya dan berbalik.

"Wow, antisipasi yang cukup bagus."

Itu Freya. Dia mengenakan sebuah kain biru untuk menutupi setengah wajahnya.

Josh menurunkan pistolnya dan mengernyit bingung. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku mendengar suara tembakan. Kupikir kau sudah mati," balas Freya, masih dengan mata sinisnya.

"Apa kau mencemaskanku?"

"Tidak. Aku hanya ingin memastikan seperti apa kondisi jasadmu."

"Sayang sekali, aku masih hidup."

Josh mendengar Freya mendengus kecil. Gadis itu mengarahkan senter ke sekeliling ruangan.

"Tembakannya meleset. Orang itu hanya berhasil memecahkan kaca jendela," jelas Josh sembari mengarahkan pandangannya ke jendela paling timur, tepat di belakang mereka.

Freya mengamati jendela itu sejenak, lalu berkata, "Aku tak yakin dia manusia. Tidak akan ada manusia yang hidup setelah tragedi Phosgene itu, kecuali..." Kalimatnya menggantung. Freya menatap Josh sekilas, sebelum akhirnya melepaskan kain di wajahnya dan hal itu sontak membuat Josh panik.

"Hei, kau sudah gila?" Josh memaksa Freya untuk mengenakannya kembali, tapi gadis itu justru membuang kainnya ke lantai.

"Kau mencium sesuatu?" Freya balik bertanya.

"Alkohol?"

"Selain itu." Freya sedikit berjinjit untuk melepas Respirator Gas Mask dari kepala Josh.

Meski sedikit paranoid, Josh tetap menghirup udara dengan bebas dan mengedikkan bahu setelah yakin tak menemukan aroma apa pun. "Aku tak mencium apa pun."

"Ya, itu artinya gasnya sudah tidak ada," simpul Freya akhirnya.

Untuk saat ini, mereka bisa bernapas lega. Tapi ketika keduanya baru menyadari kebebasan itu beberapa detik yang lalu, tiba-tiba kesulitan lain datang. Mereka mendengar ada deru mobil dari arah selatan.

Cepat, Freya berlari keluar ruangan, disusul Josh yang sama paniknya.

Tiba di luar, mereka menemukan sebuah mobil truk berbentuk tabung mulai bergerak dan berbelok ke arah barat. Truk itu adalah benda yang mereka cari.

Menyadari kalau mereka tengah dijebak, Freya mengumpat kesal, "****!"

Tak ingin berlama-lama, Freya dan Josh berlari kencang menyusul truk itu sebelum sosok di balik kemudi berhasil membajak pesawatnya.

[...]

Terpopuler

Comments

Kustri

Kustri

Menegangkan😷

2022-05-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!